Aro (Late) Birthday Surprise
Dengan sebelah kaki yang diketukan ke lantai berkali-kali, Jeno kembali melihat jam dinding sebelum matanya mengevaluasi seluruh karyanya di ruang tamu.
Pukul 8.30 malam.
Seharusnya saat ini Aro dan Scarlett sudah dalam perjalanan pulang dari rumah sahabatnya. Tidak ada yang dikhawatirkan tentang mereka sebab ia tau Jardin— putra sahabatnya sekaligus teman bermain kedua anaknya— akan menuruti permintaannya. Salah satunya adalah Jardin yang semestinya sudah mengembalikan kedua anaknya setengah jam yang lalu. Namun, tanpa memberi tahukan alasan, Jeno meminta tolong agar Jardin memulangkan Scarlett dan Aro setengah jam lebih terlambat dan meminta agar rencana ini dirahasiakan dari Scarlett maupun Aro yang tentunya disambut dengan girang oleh anak itu.
“Apa ngga usah pakai 'Baby' ya? Tapi Al selalu manggil dia pake itu. Tapi ngamuk ngga dia kalau bukan Al yang manggil?” Pria itu terus bergumam menimbang-nimbang dekorasi yang sejak tadi sedang ia buat.
Saat ini Jeno tengah mendekorasi ruang tengahnya untuk memberi surprise ulang tahun sang putra. Lebih tepatnya, surprise ulang tahun sekaligus permintaan maaf. Meskipun terlambat, tapi menurutnya ini lebih baik daripada ia benar-benar melewati tahun tanpa merayakan ulang tahun Aro dan tanpa permintaan maaf yang benar sama sekali.
“Udah deh. Aman. Kue udah, pizza juga, ramen — yah dia udah ngembang, kaset PS baru. Kostumnya juga ... demi anak, demi Aro, ngga boleh malu. Amankan ya?”
“Oke, aman. Aman. A—” Omongannya terhenti ketika mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Itu Aro dan Scarlett.
Dengan tergesa-gesa Jeno langsung mematikan lampu ruang tamu, mengambil kue dan korek api sebelum masuk ke tempat persembunyian yang sudah ia siapkan.
Samar-samar ia dapat mendengar suara kedua anaknya yang tengah berbincang ribut.
Cklek
“KENAPA KITA PULANG LAMPUNYA MALAH DIMATIIIIIIIIIIIN!” Pekik Aro sesaat masuk ke dalam rumah yang berhasil membuat Jeno berjengit kaget.
“Adek, ih! Jangan teriak. Nyalain lampunya,” pinta Scarlett yang langsung dituruti.
Sesaat lampu menyala, keduanya langsung terdiam dengan mulut yang terbuka.
HBD AND SORRY ARO BABY
“WHAT'S WITH THE ARO BABY?!” Pekik anak 15 tahun itu setelah membaca balon huruf yang tersusun di tembok rumah membuat sang ayah keluar dari persembunyiannya secara perlahan dengan tawa yang canggung.
“Surprise?“
“And ... what's with your costume ....” Sambung Scarlett sesaat melihat penampilan ayahnya.
“I know it's too late. But, better late than never ... kan? Happy Birthday yang ke-15 anak ayah. Maaf udah ngecewain Aro karena dua hari yang lalu ayah lupa ulang tahun Aro dan janji untuk hadir ke penampilan teater perdana Aro as a main character when you are all excited about it. Kemarin itu Ayah—”
“OMG COOKIES AND CREAM CAKE ARO MAU!” Aro berteriak memotong kalimat sang ayah. Tangannya langsung merebut kue itu dengan cepat sebelum memberikan gigitan besar di sisinya membuat kini mulutnya kotor akan whip cream.
“Adek kok kuenya udah dimakan sih? Lilinnya kan belum Ayah nyalain, kamu belum tiup liliin.” Jeno menarik kembali kue Aro, menghindari kehancuran kue itu lebih lanjut.
“ARO LAPEEEEER.”
“Emang kalian ngga makan tadi?”
“Makan, sama Aunty Natta dibikinin ayam lada garam tadi. Aro aja yang cacingan. Adek stop messing up with the cake! Ayo tiup lilin, kakak videoin.”
Dengan kue yang sudah cukup hancur di sisinya, Jeno mulai menyalakan lilin dan Scarlett yang mulai mendokumentasikan.
“Di usia yang ke-15 ini, Ayah harap Aro bahagia selalu, sehat selalu, bisa jadi pribadi yang lebih baik, bisa jadi anak yang sukses di masa depan yang bisa bikin kita semua bangga sama Aro. Semoga main sama junk food-nya dikurangin. Trus juga semoga Aro bisa semakin banyak dapat cinta dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar Aro, dari orang-orang yang Aro sayang. Now, make a wish, Dek,” ucap Jeno sembari mendekatkan kembali kue tersebut membuat Aro juga mulai memejamkan mata.
Entah apa yang Aro doakan, namun baik Scarlett maupun Jeno dapat melihat keseriusan anak itu ketika berdoa. Sedikit lama membuat Scarlett dan Jeno saling melempar tatap.
Mata anak itu mulai terbuka sebelum tiupan halusnya mulai terdengar.
“Sekarang Aro udah bisa makan kuenya kan?” Tanyanya dengan cengiran lebar membuat sang ayah dan kakak tertawa.
“Foto dulu sini, baru Aro makan. Ayah udah ganteng gini masa Aro ngga foto sama ayah,” goda Jeno membuat Aro mengerlingkan matanya.
“Tapi baguskan kostum ayah? Jarang-jarang loh kalian liat ayah begini. Special buat surprise-in Aro.”
“Bagusan Aro kemaren sih. Aro kemarin kayak peterpan beneran. Ayah kayak dadar gulung.”
“Enak aja!”
“I wish people could stop giving Bunda a hard time so she can enjoy her life and come back to us. Two weeks is too long for us to be separated.
These days, Ayah looks so tired. Please grant him the healthiest health and a long life. Also, please lighten all the burden he has. It hurt me a lot when I heard his sorry that day.
Kakak. She deserves to live her happiest and lovely life. I wish she could have someone who could protect and respect her someday. Someone like Ayah who can respect Bunda and be all-in when it comes to his family.
And I wish for all of us forever happiness.“