Bermain Peran

Sejam berlalu sejak Jeno memilih untuk duduk di sofa ruang tamu dalam gelap. Dengan satu botol wine dan gelas di hadapannya, pria itu benar-benar hanya terdiam.

Belum ada rasa kantuk yang menghampiri meski kini waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi.

Entah apa yang terjadi namun dirinya benar-benar merasa sangat terganggu saat ini.

Tidak ada ketenangan dalam dirinya, kepalanya juga entah mengapa terasa sangat berat seakan banyak pikiran.

Padahal jika ditelaah kembali, masalah yang paling menyita waktunya akhir-akhir ini sudah ia selesaikan semua dua hari yang lalu.

Mulai dari masalah pekerjaan tiga bulan terakhir dimana ia harus mengejar seorang maling dalam perusahaan yang membuatnya harus menghabiskan satu hari penuh di kantor polisi, hingga masalah Scarletta dan Allison yang ia harap kini sudah mulai mendekati titik terang.

Semua sudah mulai memasuki tahap merangkai kembali seperti semula dan seharusnya ia juga sudah dapat lebih santai saat ini.

Namun nyatanya dari tadi pikirannya masih tetap berputar di satu permasalahan yang sama. Memikirkan dua sosok yang sama.

Dua sosok yang paling mendominasi pikirannya akhir-akhir ini.

Ada rasa menyesal yang muncul tiba-tiba ketika otaknya menayangkan kembali kejadian dirinya yang bertengkar hebat dengan sang putri.

Ada rasa khawatir dengan perkembangan keadaan si gadis. Apakah ia sudah merasa tenang? Apakah ia sudah merasa lebih bebas? Apakah masih ada yang menghantuinya?

Ada pula rasa takut akan kemungkinan wanitanya yang tidak kembali padanya.

Sedikit berlebihan, namun memang itu yang ada di kepalanya saat ini.

Meski Axel dan Keira juga sudah memberikan kata-kata yang meyakinkannya kalau semua akan baik-baik saja, dan Allison akan kembali dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Namun, rasanya itu semua masih belum cukup.

Tangannya kembali mengisi gelas kosong dengan wine untuk ke-empat kalinya.

Bibirnya mulai kembali menyisip minuman tersebut beberapa kali. Kebisingan yang sejak tadi ia rasakan kini mulai memudar. Otaknya mulai terasa bebas. Memori lalu secara acak terputar di kepalanya membuat dirinya menyunggingkan senyum kecil.

Senyuman tersebut terpancar cukup lama hingga dirinya menyadari satu hal.

Aro.

Dalam kepingan memorinya, anak itu memang ada dimana-mana.

Ketika dirinya bekerja Aro ada di sana.

Ketika dirinya berdebat dengan Allison, Aro juga ada di sana.

Bahkan ketika dirinya diam diam mengganti peralatan make up Allison karena tidak sengaja memecahkannya — kejadian yang hingga saat ini tidak diketahui oleh Allison— anak itu juga ada di sana.

Anak itu ada di setiap sisi memorinya.

Bertengkar dengan Scarlett kemarin membuat ia sadar bahwa dirinya tidak mengetahui banyak hal tentang apa yang dirasakan dan dialami oleh sang putri. Beruntung dengan perubahan sifat dan pertengkaran mereka kemarin membuat Jeno dapat mengetahuinya lebih banyak.

Namun Aro? Jeno hanya pernah melihat anak itu menangis karena takut dengan dirinya ketika masih kecil dan karena Scarlett yang membentaknya seperti kemarin.

Selain itu? Anak itu hanya tertawa.

Entah mengapa rasa penasaran kini muncul pada dirinya. Tangannya bergerak menyalakan ponsel dan menekan ruang obrolan “Family Kingdom”, nama yang diberikan oleh Scarlett yang saat itu tengah menggilai pangeran berkuda. Matanya membaca ulang semua percakapan akhir-akhir ini.

Tidak ada yang aneh di sana, hanya Aro dengan kekonyolannya sembari beberapa kali menanyakan keberadaannya.

Tunggu.

Jeno mulai merasakan berat di kepalanya.

Aro hanya menanyakan keberadaannya.

Biasanya jika ditinggal oleh sang bunda karena alasan pekerjaan, anak itu akan menyerang ruang obrolan tersebut dengan pertanyaan tentang keberadaan Allison dan kapan wanita itu akan pulang.

Entah dirinya yang bodoh atau bagaimana karena menggunakan alasan Allison memiliki pekerjaan ke luar kota dan berharap sang putra yang sudah berusia 13 tahun itu tidak mengetahui kebenarannya.

Namun Aro yang sama sekali tidak menyinggung Allison dalam beberapa waktu terakhir benar-benar sangat mengganggunya.

Memiliki keluarga yang sangat berbakat dalam bermain peran benar-benar menjadi satu satunya hal yang paling ia benci di hidupnya saat ini.

Ting!

Sebuah notifikasi muncul dalam layar ponselnya.

Notifikasi biasa dari Axel yang memberitahu bahwa Allison yang tidak sengaja melukai lehernya dengan catokan panas.

Jeno hanya menghela nafasnya berat. Tidak bisakah wanita itu diam untuk satu hari dan berhenti membuatnya khawatir?

Meski merasa gelisah, Jeno memilih untuk tidak membalas bahkan membuka notifikasi tersebut demi menghindari Axel yang akan menegurnya karena belum beristirahat.

Matanya menatap notifikasi tersebut cukup lama sebelum dirinya memaku karena menyadari suatu hal.

Sabtu, 17 Oktober.

Tangan Jeno meremat kencang gelas wine di tangan kanannya. Rasa amarah pada dirinya sendiri benar-benar tidak tertahankan saat ini.

Ingin dirinya melempar kencang gelas digenggamannya, namun meski begitu pria itu harus berusaha untuk tetap sadar dan tidak membuat kegaduhan yang dapat membangunkan kedua anaknya.

Dua hari yang lalu, 15 Oktober, hari dimana sang putra dilahirkan.

Dua hari yang lalu, hari dimana ia berjanji akan menyaksikan penampilan perdana sang putra menjadi tokoh utama dalam teater musikal kecilnya.

Dua hari yang lalu, ia melupakan keduanya.