Bracelet
Di ruang tv, seluruh penghuni rumah kini sedang berkumpul. Memenuhi rencana movie night dua kakak-beradik yang sempat tertunda semalam.
“There you go. Hang on, Winter,” ucap Aro memimikkan dialog film yang entah sudah berapa kali Scarlett putar di rumah tersebut yang kemudian mengundang tawa dari ayah dan kakaknya.
“Ck, Aro masuk ke kamar deh, yah. Mau main. Bosen dolphin tale terus,” ucap anak itu sembari mengemut jarinya yang tersisa bumbu-bumbu makanan ringan.
“Cuci tangan dulu, jangan meper-meper.”
“Bawel.”
Jeno melempar bantal kecil ke arah sang anak.
“Lempar-lempar Aro aduin bunda ya?”
“Kamu yang ayah aduin duluan. Kalo dikasih tau ya, ih,” kesal Jeno.
“Udah ah, Aro masuk kamar, bye kak.” Dengan iseng anak itu mengecup pipi sang kakak dan lari begitu saja.
“AROOOO IHH! Mulut kamu masih ada bumbunyaaa aaaaa muka kakaaak,” rengek Scarlett sembari mengusap pipinya berkali-kali membuat Jeno hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Setelah kepergian Aro, suasana ruangan itu entah mengapa menjadi hening dan canggung. Setelah rengekkan Scarlett barusan, tidak ada suara kunyahan atau bincangan lagi. Hanya suara TV.
“Ayah.” Scarlett membuka suara, memecah keheningan.
“Hm?”
“It's been two weeks and two days.“
Ah, Jeno tau kemana pembicaraan ini akan mengarah.
“Bunda kenapa belum pulang?” Jeno terdiam.
Selain karena memang tidak mau menjawab, ia juga tidak tau. Axel belum memberinya kabar mengenai kepulangan wanitanya sejak kemarin. Pria itu bahkan sudah jarang mengabari keadaan Allison padanya membuat dirinya mulai ditahap pesimis jika memikirkan tentang kepulangan Allison.
“Atau bunda emang ngga akan pulang?” Jeno mengerjapkan matanya dan menunduk sebentar.
“Does she left us, yah?” Tanya gadis itu sembari menatap pria di sampingnya.
“The question sounds desperate,” ucap Jeno sembari memberikan senyum kecil.
“How can I not be desperate when I saw her bracelet is here?“
Tangan Jeno yang sedari tadi sedang bermain dengan gelang putih pun terdiam.
“What bracelet?“
“That bracelet. You told us about you purposing bunda with a bracelet. I bet that is the bracelet.” Scarlett memberi jeda pada kalimatnya.
“You have two in hand. Yang putih punya bunda kan? I always saw her using it, but now she left her bracelett here.” Scarlett berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Sedangkan Jeno, pria itu secara tidak sadar langsung mencengkram gelang putih itu dengan kuat, membuat urat tangannya terlihat.
“She left the bracelet, doesn't mean she left us, kak. No need to worry.”
“But you said bunda will be there only for two weeks. It's already more than two weeks.”
“Maybe she need more time, kak. Don't be too pessimist.”
“Time apa lagi ayah? Doesn't two weeks enough for her?” Scarlett mulai tidak terkendali. Gadis itu bahkan merubah posisi duduknya menghadap pria di sampingnya.
“Sorry,” lirih Scarlett sembari menundukkan kepalanya ketika sadar dirinya terlalu menekan sang ayah.
“It's okay. Bunda pasti pulang. Ngga usah ditunggu, kalau ditunggu nanti makin kerasa lamanya.” Jeno mengusap kepala Scarlett dengan lembut.
“Oh, atau kakak telfon grandpa aja ya, yah? I'll ask him to bring back bunda to us secepat mungkin. Disana jam 10 pagi, harusnya grandpa udah bangun kan ya?” Scarlett berbicara dengan semangat sembari mengambil ponsel yang tergeletak di hadapannya yang dengan segera langsung ditahan oleh Jeno.
“Jangan, kak. Ngga usah,” ucap pria itu sebelum tanggannya ditepis oleh Scarlett.
“It's okay, yah. Grandpa pasti mau bantu kita. Kakak ngga sabar keluarga kita kumpul lagi kayak dulu. Kakak kangen makan masakan bunda, kakak kangen dress up sama bunda, kakak kangen ngomongin cowo sama bunda. Jadi mending kita langsung telfon grandpa aja, Oke? Oke.”
“Sometimes people need their home to fix everything, kak,” ucap Jeno berusaha menghentikan Scarlett. Dan ya, pergerakan Scarlett yang sedang mencari kontak nomor langsung terhenti.
“Maksudnya?”
“They also need time to recovery from everything. Time to except what was happening.” Scarlett menatap Jeno dengan heran. Tangannya juga secara perlahan kembali mematikan ponselnya dan meletakkan benda itu ke tempatnya semula.
“Maybe bunda lagi ada di fase itu sekarang. So just let her have her time in Texas, until she's feel better. Mind, emotion, energy, everything. Grandpa sering kasih update ke ayah tentang bunda, jadi ngga perlu khawatir.” Scarlett terdiam sampai dirinya menyadari sesuatu.
“Home? Kalau bunda emang lagi ada di fase itu, kenapa bunda pergi ke Texas? Her home is here kan? The building, people, and everything she love is here.” Scarlett bertanya dengan nada yang sedikit bergetar, takut-takut bila sang ayah akan memberikan jawaban yang tidak ingin ia dengar.
“Why are you so sure that her home is here?” Balas Jeno membuat Scarlett terdiam.
“She is from Texas, kak. Her friends, family, occupation, and all is in Texas. Walaupun Lamora ada di sini, tapi pusatnya tetep di Texas. And She is the only American in our family if you forget, she is still American.
She also spent most of her life there. Until I brought her here. She is here because she married me, that's all. That is why I make a promise to bring her back to Texas every year, because I know she will always need her home.“
“So the reason why we go to Texas every year is cause of you want bunda still feels like she is home?” Jeno mengangguk.
“Ayah ngga bisa misahin bunda dan rumahnya gitu aja.” Scarlett menyenderkan tubuhnya pada beanbag.
“So after all, we still not her home ya, yah?” Tanya Scarlett pasrah membuat Jeno merasa bersalah karena mengatakan hal seperti itu pada anaknya.
“It's hurt,” lirih gadis itu meski tetap mengahiri dengan tawa kecilnya.
“Want some chocolate?” Tawar Jeno berusaha menghibur putrinya.
Scarlett terdiam sebelum kembali tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Maybe one.”
Sepotong coklat kecil diletakan oleh sang ayah di atas telapak tangan gadis itu.
Scarlett sempat terdiam sesaat coklat tersebut masuk ke dalam mulutnya. Pikirannya seketika mulai berempati dengan sang ayah.
Jika dirinya merasa kecewa dengan fakta yang diterima beberapa detik lalu, bagaimana dengan perasaan ayahnya yang terus tersadar dengan fakta tersebut sejak awal?
Ingatan lampau mulai terputar di kepalanya. Memorinya bersama sang bunda ketika mereka berbincang mengenai pria. Setiap kalimat, ekspresi dan suasana secara detail berhasil tergambar ulang di kepalanya membuat bibir cantiknya mengembangkan sebuah senyuman secara perlahan. Kekhawatiran tentang kemungkinan bundanya yang tidak akan kembali seakan musnah begitu saja.
“Bunda was right. Ayah selalu berusaha untuk ngehibur semua orang meskipun sebenernya you are the one whose in the worst condition. I get it why she says she love you that much, loves you until no one could understand why,” ucap gadis itu sembari membersihkan kedua tangannya, tanpa memedulikan Jeno yang menatapnya bertanya-tanya.
“Maksudnya? Bunda tell you something about me?” Scarlett mengedikkan bahunya dan beranjak dari beanbag tersebut.
“Just ... maybe you fell first, but actually bunda is the one who fell harder. Kakak tidur duluan ya, yah. Good night, ayah. Jangan terlalu khawatir sama bunda, she will be back soon,” ucap gadis itu sembari mengecup pipi sang ayah dan pergi dari sana, meninggalkan Jeno bertanya-tanya ditemani TV yang masih menyala.