Kita Gimana?
Acara party kecil-kecilan mereka sudah selesai sejak setengah jam yang lalu. Meja dan kursi sudah dibersihkan kembali, dan ada yang sudah masuk kamar, ada juga yang masih beraktivitas diluar, seperti Jeno sekarang.
Pria itu sedang merebahkan dirinya di hammock yang ada di halaman belakang. Melihat pemandangan malam Bandera untuk yang terakhir kalinya. Raganya ada disana, namun jiwa dan pikirannya seakan sedang pergi entah kemana.
Belasan kali seorang gadis memanggilnya namun tidak dihiraukan.
“JENO ARGASATYAA!” Jeno terkejut mendengar teriakkan tepat di telinga kanannya.
“Allison ya tuhan kaget.” Jeno mengubah posisinya menjadi duduk.
“Kamu aku panggilin daritadi ngga nyaut.”
“Eh maaf ngga kedengeran.”
“Apaan, orang aku manggil dari jauh, deket, sampai aku teriakin, kamu ngga nyaut.”
“Mikirin sesuatu ya?” tanya Allison sambil duduk di samping Jeno.
Iya.
“Ngga tau.” Jeno tersenyum kecil sembari melihat kakinya yang bermain diatas bebatuan.
Allison membuka lebar tangannya membuat Jeno kebingungan.
“Ngapain?”
“I promise you a hug today, kamu kenapa ngga nagih?” Jeno lupa akan hal itu, ditariknya Allison masuk kedalam pelukannya.
“Aku lupa sebenernya.”
“Ada-ada aja.”
Keduanya sama sama terdiam, tapi masih berpelukan sampai akhirnya mereka jatuh masuk kedalam hammock itu membuat keduanya tertawa.
“Aduh my hair, jeno, your shoulder, ah sakit,” keluh Allison karena rambutnya tertarik, tertimpa bahu Jeno namun dirinya tetap tertawa.
“Eh, maaf maaf, bentar.” Jeno kembali duduk dan merapihkan rambut Allison.
“Lagi.” Allison merentangkan tangannya dengan posisi dirinya masih tiduran.
“Bangun dulu, posisinya benerin sebentar.” Allison menurut.
Jeno menidurkan tubuhnya seperti posisi awal kemudan Allison mengikuti, menjadikan bahu Jeno sabagai bantal, tangannya melingkar di perut pria itu, dan kakinya saling menimpa dengan kaki Jeno. Begitu juga dengan Jeno yang memeluk tubuh Allison.
“Udah jam 11 ngga ngantuk?” Allison menggeleng.
“Kamu ngantuk?” Jeno juga menggeleng, pria itu malah mengeratkan pelukannya pada Allison.
Keduanya sama sama terdiam, tapi diotaknya memikirkan hal yang sama.
Sebuah suara memasuki telinga Jeno.
“So kiss me where I lay down,”
“My hands pressed to your cheeks.” Jeno dapat mendengar suara nyanyian Allison yang pelan bahkan ketukannya sangat lambat.
“A long way from the playground.” Kali ini Jeno ikut bersenandung.
“I have loved you since we were ... twenty.” Allison tertawa kecil.
“Kok twenty?”
“Soalnya I have loved you since we were 20.” Allison tersenyum sedikit malu mendengarnya.
“Al.”
“Hm?”
“Abis gue balik ke Indonesia, kita gimana?” Allison terdiam. Jeno dapat merasakan cengkraman erat pada bajunya.
“Ya gimana? ya udah.” Hati, pikiran, dan mulutnya, tidak ada yang selaras.
“Ya udah aja?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Kita ngga bisa maksain hal yang udah pasti kan?” Jeno merasa Allison memikirkan hal yang sama dengannya selama ini.
“I live in Texas, and you live in Indonesia. Pekerjaan aku di sini, kamu di Indonesia. Texas is my everything, and Indonesia is yours. Udah pastikan itu namanya?” Benar-benar pemikiran yang sama dengan Jeno.
Jeno juga sudah memikirkan hal itu sejak awal. Jika mereka berkencan, hubungan jarak jauh yang dijalani bukanlah hubungan jarak jauh semata yang terpisah karena kuliah dan kemudian kembali bersama. Tapi sampai kapanpun, tempat mereka sudah berbeda.
Tapi Jeno sudah memikirkannya selama tiga minggu ini.
“Al.”
“Yes?”
“Kalo gue minta lo tunggu 5 sampai 6 tahun lagi. Lo mau?” Allison mendongakkan kepalanya, menatap Jeno.
“Maksudnya?” Jeno menjauhkan dirinya sedikit dan menatap gadis dipelukannya.
“Biarin aku selesaiin pendidikan aku, kasih aku waktu untuk ngumpulin uang untuk aku kembali kesini. Kembali kehadapan kamu. And when that day comes, I promise I'll make you mine.” Allison terkejut sehingga dirinya ingin bangkit dari posisinya, namun tangan Jeno menahannya.
“Jen? Maksudnya gimana?”
“Tunggu aku 5 sampai 6 tahun lagi ya? Aku bakal balik kesini pakai uang aku sendiri.”
“Kamu mau ninggalin Indonesia?” Jeno terdiam.
“You have your own family Jen. Kamu ada kehidupan kamu sendiri. Jangan tinggalin itu semua demi gue.”
“Aku balik ke kamu, bukan berarti aku ninggalin keluarga aku, Al. Mereka pasti support aku. Kalau kehidupan, itu akan berubah setiap waktunya. Dulu kehidupan aku pernah di Singapore, lalu sekarang kehidupan aku di Indonesia, kita ngga tau kan kehidupan aku kedepannya akan tetap di Indonesia atau ngga.”
“Kita ngga bisa maksa apa yang udah pasti. Tapi kita bisa usahain dulukan? Tau pasti atau ngganya itu masalah nanti, bukan sekarang.” Allison terdiam.
“Jadi tunggu gue ya? lima sampai enam tahun aja, tapi semisal lebih dari itu aku belum dateng. You don't have to wait for me anymore, Al.” Allison bergerak tidak nyaman, ia tidak menyukai kalimat terakhir Jeno. Lengan Jeno bergerak mengelus rambut gadis yang ada di pelukannya.
“Selama nunggu aku, kamu ngga akan aku iket kok. You are free. Kamu boleh date siapapun yang kamu mau, pergi dengan siapapun, lakuin apapun. Tapi tolong jangan lupain kalau ada aku yang lagi usaha untuk ketemu kamu lagi nantinya.
Kalau misalnya aku dateng disaat kamu udah terikat sama orang lain. Aku ngga bakal ganggu, no need to worry.” Allison mengusakkan wajahnya di dada Jeno (yang untungnya Jeno tidak mudah geli). Allison tidak mau hal itu terjadi.
“How about you Jen?”
“Kenapa?”
“Jangan terlalu berusaha ya? jangan sampai lupa sama hidup kamu yang sebenarnya.”
Dari mereka berdua, Allison lah yang paling tidak yakin jika mereka dapat menjalani suatu hubungan. Selain karena orang tuanya, dia ngga mau jadi alesan Jeno buat ninggalin semuanya.
“Sama kayak aku, selama lima sampai enam tahun itu, kamu boleh date siapapun yang kamu mau, pergi dengan siapapun, lakuin apapun, ya?” Jeno tidak menjawab, dirinya hanya memeluk Allison erat. Sekarang keduanya hanya diam sambil saling memeluk satu sama lain.
“Besok kita pisah beneran ya?” Tanya Allison sambil menatap lurus kedepan dan hanya dijawab gumaman oleh Jeno.
“Apa aku ikut beli tiket ke Jakarta aja ya?” mendengar itu Jeno langsung mencapit kedua pipi Allison sehingga muka gadis itu merengut dan keduanya saling tatap.
“Lucu banget sih.” Jeno mengamatai wajah kesal Allison.
“Udah jangan macem-macem.”
“Itwu satwu mwachem owang.” Jeno memicingkan mata mendengar jawaban itu.
“Diajarin Flores ya?” Allison mengangguk. Jeno melepaskan tangannya dari pipi Allison dan kembali memeluk gadis itu kencang, menggerakkan tubuhnya berputar ke kanan dan kiri dengan cepat.
“Gemes banget siiiiiiih.”
“Aaaaa Jeno udah, pusing.” Jeno pun berhenti.
“Ini udah jam 12, ngga ngantuk?” Allison mengangguk.
“Yaudah tidur,” ucap Jeno sambil ingin bangkit melepaskan pelukan mereka, namun ditahan oleh Allison.
“Ngga mauuu, masih mau kayak gini.” Allison bergerak mencari posisi nyamannya kembali.
“Yaudah tapi pindah ke dalem rumah mau?”
“Tapi hugnya jangan dilepas.”
“Yaudah ayo, bangun dulu sebentar.” Dengan kesusahan Jeno berusaha berdiri, dengan Allison yang masih memeluknya.
“Ini jalannya gimana kalau peluknya ngga mau dilepas?” Tanya Jeno melihat Allison yang malah menyandarkan kepala di bahunya.
Masih dengan tangan yang melingkari perut Jeno, Allison memutar posisinya menjadi berdiri di belakang pria itu, dirinya kembali menyenderkan kepala di bahu Jeno.
“Udah kan? Ayo jalan.“ Jeno hanya dapat tertawa melihat kelakuan Allison.
Perjalanan dari teras belakang, ke ruang keluarga Allison yang seharusnya tidak memakan waktu sampai satu menit, kini harus menghabiskan waktu 3 menit karena Allison yang melambatkan langkahnya dan Jeno yang kesulitan berjalan karena Allison memeluknya.
“Dah, duduk dulu,” ucap Jeno ketika mereka akhirnya sampai di ruang keluarga.
“Jeno dulu yang duduk.”
“Kalo aku dulu nanti kamu kedudukan.” Allison kembali memutar tubuhnya menjadi di depan Jeno dengan tangan yang masih setia melingkar di perut Jeno.
“Udahkan? Duduk.” Jeno tertawa. Dirinya pun duduk di sofa dengan Allison yang duduk disamping.
“Kamu kalo mau tidur, tidur aja,” ucap Jeno sembari mengelus kepala Allison yang bersandar di dadanya.
“Ngga mau.”
“Jangan dipaksa melek Al.”
“Iya, ngga.”
Suasana hening, hanya ada suara Allison yang bersenandung pelan. Allison tiba-tiba teringat kalau niat awalnya menghampiri Jeno adalah untuk minta maaf, baru gadis itu ingin memanggil suara dering ponsel Jeno lebih dulu mengintrupsi.
Bunda
“Bentar, Bunda aku telfon.” Allison berniat beranjak dari posisinya, memberi Jeno privasi, tetapi Jeno menahannya sehingga Allison dapat mendengar suara yang ada di sebrang sana.
“Abang, lagi apa?”
“Lagi duduk, Bun. Kenapa?”
“Belum tidur? di sana udah malemkan?”
“Belum, masih ngobrol.”
“Abang sampai di Indonesia dua hari lagikan? Nanti supir ayah yang jemput ya, bunda lagi di singapore sama ayah.”
“Loh, Mala sendirian dirumah?”
“Ada anaknya Tante Cia lagi nginep di rumah, sama mba juga bunda suruh nginep dulu sampai bunda pulang.”
“Oke, Bun. Bunda udah makan?”
“Sejam lagi ayah sama bunda mau jalan cari makan siang. Abang udah makan?”
“Udah bun tadi sama yang lain bikin party kecil-kecilan, Allison yang masak, sama yang lain.” Allison yang mendengar namanya di sebut langsung melemparkan tatapan bertanya.
“Aduh calon mantu bunda jago masak ya.” Meski tidak paham, Allison yakin jika bundanya Jeno sedang menggoda anak laki-lakinya, melihat wajah pria itu memerah.
“Calon mantu apasih bun.”
“Halah, calon mantu apa, kemarin aja kamu minta dinikahin langsung sama Allison.” Allison melotot menatap Jeno membuat pria itu panik.
“Bunda, bunda, ada Allisonnya disini.” Bisik Jeno yang masih dapat di dengar Allison.
“Loh? calon mantu bunda belum tidur juga? lagi ngapain kalian?”
“Lagi ngrangkul.”
“Bahasa jawanya google translate ya? kamu kan ngga bisa bahasa jawa. Tapi, KAMU NGAPAIN JAM SEGINI MASIH PELUK-PELUKKAN HAH?!” teriakan bunda Jeno mengejutkan dua remaja itu, bahkan Jeno sampai menjauhkan ponselnya dari telinga dengan wajah meringis.
“Bun, Allison bisa denger bunda teriak loh.”
“Allison emang dimana?”
“Ini, lagi sama abang. Deket handphone.” Ngga mungkin Jeno jawab lagi senderan di dada diakan? Bisa di ceramahin 7 hari 7 malem dia nanti.
“Bunda mau ngomong dong? boleh ngga?”
“Bentar.” Jeno meletakkan ponselnya dan memposisikan Allison duduk tegak.
“Bunda aku mau ngomong.”
“Bunda?”
“My Mom, mau ngomong sama kamu.” Allison yang mendengarnya langsung panik.
“Udah aku-kamuan ya ternyata.”
“Santai aja, nih,” ucap Jeno tanpa mempedulikan ucapan bundanya.
Allison menempelkan ponsel Jeno di telinganya dan kini gantian Jeno yang memeluk Allison sembari meletakkan kepalanya dipundak gadis itu. Mau nguping, jaga-jaga bundanya ngomong yang aneh aneh tentang dia.
“Hello, Aunty?” sapa Allison yang lebih terdengar seperti bertanya diakhir karena dia bingung harus manggil bunda Jeno apa.
“Hai, Allison. How are you?”
“I'm good Aunty, how about you?”
“I'm good either. Just call me bunda by the way.”
“Okay, Bunda?” terdengar suara tawa kecil dari ibu dan anak itu yang merasa lucu karena aksen Allison yang kental.
“Gimana Al? Jeno ngerepotin kamu ngga disana?”
“Ngga kok bunda, Allison malah seneng ada Jeno dan yang lain kesini, jadi Allison not alone.”
“Loh, Allison emang sendirian disana?”
“Ngga bunda, disini ada dad, Jo, dan rekan kerja yang lain. Tapi yang same age sama Allison ngga ada, semuanya older. Sebelum Jeno sama teman-teman dateng, Allison jarang banget main, jadinya kadang ngerasa sepi.”
“Allison nanti kalo kesepian boleh lo call bunda, nanti minta Jeno aja nomornya.”
“Ih ngapain nelfon bunda? kan ada Jeno,” sahut Jeno tidak terima sambil merebut ponsel itu dan merubah modenya menjadi loud speaker.
“Kamu kuliah yang bener, udah ih bunda mau ngobrol sama Allison kamu pasti nguping ya?”
“Iya, jaga-jaga takut bunda ngomong aneh-aneh tentang abang.”
“Ngga usah bunda omongin juga Allison udah ngira kamu aneh kali bang, ya kan Al?” Allison melirik Jeno di sebelahnya dan tertawa.
“Jenonya langsung cemberut tuh bunda,”
“Jeno mah badannya aja gede, kerjaannya balapan, tapi dikit-dikit ngambekan.”
“Abang ngga ngambekan ya!”
“Abang udah ih, malu sama Allison.”
Oke, Allison baru liat sisi ini dari Jeno. Dia ngga nyangka kalo Jeno bakal semanja ini kalau sama bundanya. Padahal kalo sama Allison, dia udah kayak pangeran yang siap ngehajar orang misal ada yang macem-macem sama Allison.
“Oh iya, Jeno baikkan sama kamu, Al? Bunda makasih banyak lo sama kamu karena mau ngebiayain Jeno dan yang lain kesana. Nanti kalo Allison mau kesini, bilang aja sama bunda, biar gantian bunda yang bayarin.” Allison tertawa pelan mendengarnya.
“Jeno baik kok bunda, dan terima kasih offernya, kapan-kapan Allison main ke Indonesia lagi.” Jeno tersenyum mendengarnya.
“Dia ngga macem-macem kan sama kamu? Kalo macem-macem pukul aja.” Allison tertawa.
“Ngga kok bunda, Jeno baik banget sama Al. Kalo masalah nemenin atau bantuin Al, dia paling rajin.”
“Serius? Padahal Jeno kalo bunda minta tolong bantuin beli bahan masakan aja suka banyak banget alesannya.” Allison melihat Jeno yang menggeleng cepat.
“Bunda suka masak juga?” Tanya Allison tanpa mepedulikan isyarat Jeno barusan.
“Iya, Bunda sering banget masak kalo di rumah, tapi karena pada jarang di rumah, jadi bunda cuma masak buat sendiri deh.”
“Kalo gitu nanti kalo ketemu, kita masak bareng aja bunda!” Senyum Jeno melebar mendengar keantusiasan dua perempuan kesayangannya.
“Ih, tapi masakan bunda pasti kalah enak deh sama masakan kamu, bunda soalnya sering banget denger Jeno ledek-ledekkan sama adiknya sampai berantem karena adiknya ngga pernah nyobain masakan kamu. Padahal mereka ngga pernah tuh berantem karena masakan bunda.”
“Ngga apa-apa bunda, tapi Al pengen masak bareng bunda. Al juga disini ngga ada temen masak karena disekitar Al isinya laki-laki semua trus ngga ada yang suka masak. Kalo sama bunda kan mungkin kita bisa masak sekaligus belajar semisal ada yang kurang dari masakan kita.”
“Allison.”
“Ya, Bunda?”
“Kamu jadi anak bunda aja mau ngga? Tuker sama Jeno.” Allison tertawa mendengarnya.
“Nanti ya, bun. Tunggu 5 atau 6 tahun lagi, tunggu abang sukses, trus bisa sama Allison.”
“Yah bang, Allison modelnya kayak gini mah ngga sampai setahun juga udah ada yang gaet.”
“Bunda jangan doain gitu ih.”
“Iya-iya, yaudah Allison, bunda harus pergi, telfonnya bunda matiin ya. Kalian jangan kemaleman tidurnya, nanti kecapean.”
“Iya bunda, bunda juga jangan kecapean ya, stay healthy and stay happy.” Senyuman terukir di bibir Bundanya Jeno mendengar kalimat gadis itu.
“Allison juga yaa.”
“Abang ngga?”
“Iya, abang juga. Udah ya telfonnya bunda matiin, byee.” Sambungan telfon pun terputus. Allison pun menyerahkan ponsel itu kepada sang pemilik.
“Peluk lagi,” ucap Allison sambil masuk ke dalam pelukan Jeno.
Allison yang tadi terdengar dewasa dan Jeno yang tadi terdengar sangat manja, tiba tiba berlaku seakan terjadi perubahan sifat.
“Kamu ngga mau tidur?” tanya Jeno sambil mengusap rambut Allison.
“Ngga.”
“Kenapa?”
“Nanti pisah sama kamu.”
“Kan besok aku masih disini.”
“Kurang lebih 16 jam lagi kamu pergi. Kalo aku tidur 8 jam sisa 8 jam. Aku rugi. Tapi kalo kamu udah mau tidur ya udah.” Allison menjauhkan dirinya dari Jeno, namun pria itu kembali memeluknya. Malam ini mereka benar benar seperti magnet, ngga bisa lepas sedikitpun.
“Ngga, udah ngga apa-apa gini aja.”
Allison memainkan ujung baju Jeno, mengumpulkan keberanian untuk minta maaf.
“Jeno.” Panggil gadis itu membuat Jeno menunduk menatapnya.
“Kenapa?”
“Maaf.” Allison berhenti memainkan baju Jeno dan memeluk pria itu erat.
“Buat?”
“Yang tadi, sebelum kita ke garden. Aku masih ngerasa bersalah udah ngomong gitu.” Allison melepas pelukannya dan duduk tegak menatap Jeno.
“Kan aku udah bilang ngga apa-apa.”
“Tapi abis itu Jeno ngga nawarin lagi kayak biasanya.” Allison cemberut.
“Kan kamu yang ngga mau?”
“Aaaa Jeno,” Allison memeluk Jeno lagi dan menyandarkan kepalanya di bahu pria itu.
“Loh?”
“Maaaaf.”
“Iya Allisooon, ngga apa-apa.” Jeno mengelus punggung gadis itu.
“Aku cuma ngga biasa ditolongin atau dibayarin orang. Dad selalu bilang kita harus balas budi kalau udah ditolong, kalau dibeliin sesuatu kita harus balas lebih sebagai bentuk terimakasih. Tapi kalau kita yang nolong, tolong dengan ikhlas dan jangan pernah berharap untuk dibalas. Aku ngga masalah kalau aku yang nolong, tapi kalau aku yang ditolong sama orang selain Dad dan Jo, aku suka ngerasa ngga enak sendiri. Aku takut kalau aku ngga bisa bales lebih karena kadang ada yang malah mintanya ngga karuan dan jadiin pertolongan mereka sebagai tameng kalau mau apa-apa.”
“Pernah digituin ya?” Tanya Jeno, Allison hanya diam.
“Bunda Jeno juga ngajarin yang sama kok, jadi ngga usah khawatir. Jeno ngga akan minta imbalan apa-apa. Aku cuma pengen ngelakuin sesuatu buat kamu doang.”
“Maaf.”
“Iya, Allisoon. Udah dimaafin kok daritadi juga, udah yuk? Kamu ngga mau tidur?” Allison menggeleng lagi.
“Kamu keliatan ngantuk.”
“Allison masih fresh.” Jeno tertawa.
“Jeno.”
“Kenapa lagi Allison?”
“Malem ini.”
“Tidur sama Allison mau?” Jeno kaget. Banget. Bahkan dia sampai ngga sengaja ngedorong Allison sampai pelukan mereka lepas.
“Eh maaf, aku ngga sengaja dorong kamu.”
“Mau ngga? Allison masih mau meluk Jeno,” ucap Allison tidak mempedulikan permintaan maaf Jeno.
“Al, tapikan—”
“Dad ngga bakal masalah kok, ya?”
“Aku ngga enak sama ayah kamu, Al. Sama yang lain juga. Kamu lupa waktu itu aku dipukulin yang lain gara gara ketiduran di sofa sama kamu?”
“Dad ngga masalah pastii, trus yang lain no need to worry, nanti aku yang bilang. Ya? Tidur sama Allison yaa?” Allison menggenggam lengan Jeno dan menatap mata pria itu memohon.
“Ngga ya, Al?” Jeno mengelus rambut Allison berharap gadis itu mengerti. Terlihat raut sedih pada wajah Allison.
“Just go with her, Jen.”
“Eh?” Jeno dan Allison berbalik, menghadap kearah darimana suara itu berasal. Ada ayah Allison disana, sedang memotong buah-buahan.
“Dad? How long have you been there?”
“Since he pushed you away.” Jeno melotot terkejut.
“Sir, I'm sorry, I didn't—”
“Just go with her, Jen.” Ayah Allison berbicara dengan santai karena menurutnya itu bukan masalah besar jika hanya tidur bersama.
“But I—”
“See? dad ngga masalah, jadi yaa?” Allison memotong pembicaraan Jeno dengan menatap pria itu berharap.
“As long as there will be no baby, I'm fine.” Jeno kaget sama kalimatnya, beda sama Allison yang sangat santai seakan itu hal biasa.
“See? just sleep together okay kan berarti.” Jeno menyenderkan tubuhnya ke sofa dan menghela nafasnya berat.
“Yaudah, ayo.” Mendengar itu Allison langsung bersorak senang dan memeluk Jeno erat.
“Ayoo ke kamar!” Allison berdiri dan menarik Jeno untuk ikut dengannya.
“Aku bersih-bersih dulu, Al. Kamu duluan aja.”
“Ih mandinya di kamar aku ajaa, sekalian aku mau ngajakin maskeran, yaaa? Kita udah lama ngga maskeran bareng.”
“Kan biar cepet Al, Aku mandi, kamu mandi juga.” Allison terlihat berpikir namun kemudian mengangguk.
“Yaudah, Jangan lama-lama mandinya, aku tungguin di kamar aku, oke?” Jeno mengangguk.
“Udah ayo, pamit dulu sama dad kamu.”
Jeno dan Allison pun berpamitan dengan ayah Allison dan berjalan menuju kamarnya masing-masing.