Penthouse

Hari kedua dan dirinya masih belum menemukan titik terang dimana sekiranya Allison berada.

Setelah menyelesaikan satu pertemuan dan membatalkan sisa schedulenya hari ini, Jeno kini tengah berdiri di dalam lift gedung tinggi yang bergerak menuju lantai 40, lantai dimana penthouse Keira—ibunda Allison berada.

Penthouse Keira kini menjadi satu-satunya tujuan baginya untuk mencari Allison. Jika ia tidak dapat menemukan Allison di sini, pria itu akan benar-benar putus asa dan hanya dapat berharap agar wanitanya itu tidak pergi ke tempat yang benar-benar ingin ia singkirkan dari pikirannya saat ini.

Ting

Dentingan pintu lift terdengar sebelum terbuka. Kakinya melangkah masuk, matanya menyapu ruangan mencari si pemilik tempat.

“Ibu ada di perpustakaan, Pak,” ucap salah satu pegawai mengarahkannya untuk berjalan menuju pintu yang terletak di paling ujung setelah mengucapkan terima kasih.

Jeno mengetuk pintu putih tersebut beberapa kali sebelum membukanya.

“Mama,” panggil Jeno membuat wanita yang tengah membaca di meja sebrang sana langsung mendongakkan kepala.

Senyum sumringah terpancarkan di wajah wanita itu membuat Jeno ikut tersenyum.

“Jeno? Kok ada di sini? Kamu ngga kerja?”

“Jeno abis meeting di deket sini, Ma. Jadi kepikiran aja untuk mampir. Udah lama juga Jeno ngga mampir.”

Seperti ibu dan anak kandung yang sudah sangat akrab. Keira langsung menghampiri Jeno dan memeluknya sebelum mengkaitkan lengan keduanya, mengajak sang menantu untuk keluar dari ruangan tersebut.

“Kamu sama Allison ya, sibuk banget. Tiap mama tanya ke Aro atau Scarlett pasti jawabannya kalau ngga lagi meeting, lagi keluar kota, atau bahkan keluar negri. Apalagi semenjak Allison main film lagi pasti kalian jadi jarang ketemu ya? Kasian Aro sama Scarlett itu ditinggal terus. Kasian juga mama jadi ngga pernah dijenguk,” ucap wanita itu membuat Jeno tersenyum menutupi rasa bersalah yang tiba-tiba muncul pada dirinya.

“Kamu mau makan atau minum apa? Biar dibikinin sama Faldy.”

“Jeno yang ada aja, Ma.”

“Apa ya yang ada?” Keira menatap sekeliling.

“Atau ini aja, kamu mau cobain macaroni kesukaannya Aro sama Scarlett kalo lagi ke sini? Masih ada ngga ya tapi bahannya, coba mama tanya faldy dulu,” ucap Keira sebelum meninggalkan Jeno duduk di meja makan sendirian.

Sesaat Keira pergi, Jeno langsung menundukkan kepalanya. Banyak rasa yang tiba-tiba timbul dalam dirinya.

Rasa khawatir tentang Allison, rasa bersalah kepada Keira, rasa bersalah kepada anak-anaknya serta rasa kecewa pada dirinya sendiri karena ia tidak pernah menyadari tentang kesibukan dirinya dan Allison selama ini.

“Lagi dibikinin sama Faldy. Setengah jam lagi harusnya selesai. Ini kamu minum dulu,” ucap Keira membuyarkan lamunan Jeno dengan meletakkan segelas air ke hadapannya.

“Jadi gimana? Allison ada di rumah? Apa lagi kerja juga?” Tanya Keira sebagai pembuka perbincangan yang langsung membuat Jeno terdiam.

Keira juga tidak mengetahui keberadaan Allison.

“Allison lagi ke luar kota, Ma. Ada kerjaan. Kemarin baru berangkat, cuma pulangnya kapan belum pasti katanya,” bohong Jeno.

“Yah, mama tuh padahal kangen banget loh sama dia. Mama kira setelah dia pindah ke sini, kita bisa lebih sering ketemu, tapi ternyata sama aja sama pas dia di Bandera.” Jeno tersenyum melihat wanita di hadapannya.

“Mama emang terakhir ketemu sama Allison kapan?”

“Ulang tahun Scarlett, enam bulan lalu ya berarti? Atau tujuh? Ya pokoknya sekitaran itu, abis itu mama ngga pernah ketemu lagi. Tiap mama mau mampir ke rumah kalian juga kalian lagi di luar terus.”

“Ya udah, nanti setelah Allison pulang, Jeno tarik Allison ke sini biar ketemu sama mamanya,” ucap Jeno yang langsung dihadiahi pukulan di bahu oleh Keira.

“Anak mama ngga boleh di tarik-tarik.”

“Iya maksudnya Jeno bawa, Ma,” ucap pria itu membuat keduanya tertawa dan melanjutkan perbincangan selama beberapa waktu kedepan.