That Phase of Althero Kendrick
Pukul 1 siang dan Jeno yang seharusnya kini ada di kantor malah berakhir duduk di salah satu ruangan sekolah berhadapan dengan kedua orang tua murid teman sang anak dan seorang guru.
Semenjak kejadian lalu, Jeno memang meminimalisir Allison untuk berkunjung ke lingkungan belajar kedua anaknya. Meski secara komunikasi semua tersampaikan kepada Allison. Namun, untuk penanganan langsung, Jenolah yang turun tangan.
“Saya ngga mau tau, anak itu harus dikeluarin dari sekolah,” tuntut wanita 40 tahunan menunjuk putra yang kini duduk di sampingnya.
Sudah dua kali Jeno menghadapi tiga orang yang sama dan dua kali pula Jeno mendengar kalimat yang sama dalam beberapa bulan terakhir membuat pria itu menghembuskan nafasnya lelah.
“Saya boleh bicara sebentar sama anak saya?” Tanya Jeno meminta izin.
Guru konseling itu mengangguk dan mempersilahkan agar Jeno dan Aro keluar sebentar.
Di depan ruang konseling tersebut, Jeno memperhatikan anaknya yang tidak mengatakan sepatah katapun sejak ia datang. Lebih tepatnya hanya satu kata maaf yang ia ucapkan, sisanya tidak ada.
“Ada yang mau disampain?” Tanya Jeno sembari duduk di kursi yang ada di depan sana.
“Sini duduk,” lanjut pria itu menepuk ruang di sampingnya.
Matanya kini beralih ke ujung lorong sana, menangkap gerombolan anak seusia putranya seperti tengah mengintip dan menguping, penasaran apa yang terjadi.
“Itu temen-temen Aro?” Anak itu menoleh sebelum mengangguk pelan.
“Jadi?” Tanya Jeno mengembalikan topik pembicaraan.
“Ada yang mau disampaiin ngga?”
“Ayah udah dua kali dipanggil ke sekolah karena Aro berantem. Waktu itu Aro beruntung karena orang tuanya Michael nganggep itu cuma kesalah pahaman. Tapi sekarang Aro berantem lagi, bahkan kepala Michael sampai bocor.” Aro diam menundukkan kepalanya.
“Tapi dua kali ayah dipanggil sama sekolah, dua kali juga ayah ngga denger Aro ngomong apa-apa. Bahkan pembelaan sekalipun. Aro cuma ngomong maaf dan terima aja pas disudutin kayak tadi. Kenapa?”
“Karena emang Aro yang salah.”
“Ayah mau denger cerita versi adek. Dari kemarin ayah cuma denger versi Michael.” Meski membenci panggilan itu, namun Jeno yang memanggilnya dengan sebutan 'adek' benar benar sangat cukup untuk menenangkannya saat ini. Rasanya ia kembali menjadi anak lima tahun yang dilindungi penuh oleh sang ayah.
“Aro salah karena Aro udah main fisik duluan dengan nonjok Michael.”
“Fisik duluan, berarti yang ngga fisiknya Michael duluan?” Aro mengangguk kecil.
“Tapi Aro ngga punya bukti karena ngga ada rekaman apapun tentang percakapannya, jadi Aro cuma bisa diem. Sedangkan Michael punya bukti fisiknya yang luka.”
“Emang Michael ngomong apa sampai Aro nonjok dia?”
“Waktu itu Michael ngatain temen Aro. Tadi Michael ngerendahin bunda sama kakak. Aro ngga suka.” Tangan Jeno terangkat mengusap kepala anak itu.
“Anak baik. Tapi sekarang Aro jadinya terancam dikeluarin—”
“DIKELUARIN?!”
Jeno menengok ke arah ujung lorong tadi, melihat segerombolan anak tadi yang kini mulai menghampirinya dengan berlari ribut.
“OM ARO MAU DIKELUARIN? ARO KAN NGGA SALAH?!”
“OM YANG SALAH KAN MICHAEL KENAPA ARO YANG DIKELUARIN?”
“OM ITU KAN MICHAELNYA YANG MANJA! KEPALANYA JUGA BOCOR GARA GARA DIA SENDIRI YANG KEJEDOT JENDELA BUKAN ARO!”
“INI ORANG SATU JUGA NGERJAIN ORANG AJA MAJU NOMOR SATU LO, PAS GINI KENAPA DIEM AJA ANJING?! PAKE MINTA MAAF LAGI!”
Berbagai teriakan protes ia terima membuat Jeno kini sedikit kelimpungan dengan serangan bertubi-tubi yang didapat dari kumpulan anak remaja tersebut. Sedangkan Aro yang melihat itu hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya.
“Ini ada apa ya ribut-ribut? Bapak kalau bicaranya udah selesai bisa tolong kembali masuk ya karena orang tua Michael ingin segera memproses masalah ini.”
Gerombolan anak yang barusan mengerubungi Jeno kini beralih kepada sang guru, bahkan beberapanya ada yang berusaha menerobos masuk.
“MAAM YANG SALAH MICHAEL! KERJAANNYA NGEHINA ORANG!”
“MAAM SI ZIDAN YANG WAKTU ITU PINDAH SEKOLAH TUH KORBANNYA MICHAEL!!”
“MAAM ARO ANAKNYA EMANG NGESELIN TAPI YANG HARUSNYA KELUAR ITU MICHAEL BUKAN ARO!”
Suara protes dari gerombolan anak-anak itu semakin tidak terkontrol membuat mereka semua kini menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang.
“EVERYBODY STOP!” Suara pria terdengar menggelegar kencang di lorong itu membuat semua berhenti melakukan protes.
“What is going on here?“
“They want Aro to drop out from this school, Sir.”
“Aro is wrong by hitting Michael, but he just hit him once while Michael bullied his family couple times.“
“Jangan sembarangan ngomong kamu!” Seru orang tua Michael yang kini turut bergabung.
“Kita ngga sembarangan ngomong!”
“Kalau ngga sembarangan ngomong mana buktinya Michael ngebuli keluarganya Aro?” Semua terdiam.
Semua terdiam karena nyatanya tidak ada satupun dari mereka yang memegang bukti.
“See? Pas diminta kalian ngga ada bukti apa-apa. Saya bisa loh nuntut kalian—”
“GUYS KEREKAM GUYS ADA SUARANYA MICHAEL!!” Seorang gadis berteriak dari ujung lorong, memotong ucapan orang tua Michael membuat semua orang di sana menatapnya.
“KEREKAM DI TIKTOK GUE!” Seru gadis itu sembari menunjukkan layar ponselnya.
“Sir, Maam, look at this. It just a slight tapi menurut Nadine ini bagian penting. Nadine ngga sengaja nangkep pas ngerekam muterin sekolah.” Gadis bernama Nadine itu langsung memencet tombol play sebelum menyerahkan ponsel ke guru konseling.
Awalnya tidak terlalu terlihat sebab kamera berputar putar, tapi ada beberapa bagian yang menunjukkan Aro dan Michael yang berputar posisi. Sedikit terdengar suara Michael yang lebih dulu memancing keributan dan Aro yang hanya diam menatap laki-laki itu datar sebelum adegan tonjokan mulai membuat Nadine memencet tombol pause. Namun kamera kembali merekam. Merekam adegan Michael yang tidak berhati-hati ketika ingin menghindari Aro yang berjalan mendekatinya—Hanya berjalan mendekat—membuat kepalanya kini di perban.
Usai video ditayangkan, para orang tua kini menatap tersangkanya. Sedangkan para anak-anak itu langsung membuat keributan kembali dengan bersorak senang.
“Okay, you guys back to class. Except you Nadine, we need your video so you come with us.”
“Crush?”
“Hmm. Cantikkan?”
“Sampe segitunya liatinnya. Orang nontonin videonya, kamu nontonin orangnya. Cantikkan juga bunda.”
“CK! BER—”
“Dorong ayah, uang jajan potong 200 ribu.”
“AAAAARRGHH NYEBELIN!”