ethereiselle

So?” Tanya Scarlett dan Aro bersamaan.

Aro? Iya Aro, tadi setelah perbincangan Scarlett dengan Jeno, gadis itu tiba-tiba ingin mendengar cerita tentang hubungan orang tuanya dulu. Ia penasaran kenapa sang ayah sangat tergila-gila dengan bundanya.

Kemudian ketika Scarlett sedang mempersiapkan tempat dan perlengkapan agar dapat mendengar cerita panjang sang ayah dengan menarik, Aro tiba-tiba datang dan penasaran dengan apa yang akan kakaknya lakukan, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk ikut bergabung dengan ayah dan kakaknya.

“Penasaran banget?” Tanya Jeno sembari duduk di atas kasur bersama anak-anaknya.

“Banget!” Kakak beradik itu menjawab serentak.

“Tapi ini bisa lama banget loh? Sekarang aja udah jam 12.” Jeno menunjukkan jam yang ada di ponselnya.

“Ngga apa-apa ayah makanya cepetan cerita,” ucap Scarlett tidak sabaran.

“Oke, jadiiii ....” Jeno menggantungkan kata katanya, menggoda dua anak itu.

“Jadi apa? Jadi apa ayaaaaaah?”

“Nungguin ya?” Scarlett yang tadinya duduk dengan siap pun langsung membuang posisi nyamannya itu dan merajuk membuat Jeno tertawa.

“Oke oke, beneran. Jadi ....” Jeno pun memulai kisah panjangnya, tidak ada yang di kurang-kurangi ataupun dilebih-lebihkan, mulai dari dirinya bertemu dengan Allison sampai keduanya berpisah dan bertemu kembali tujuh tahun setelahnya.

“Emang bunda Aro paling kece,” ucap Aro sesaat Jeno menyeleasaikan ceritanya.

“Bunda Scarlett juga!” Seru Scarlett membuat kakak beradik itu saling bertatapan sengit. Scarlett pun memutuskan tatapan itu dan kembali fokus pada sang ayah di hadapannya.

“Tapi ayah kan udah sama bunda selama itu, ayah atau bunda pernah ngga sih ngerasa jenuh satu sama lain gitu? atau ngerasa udah ngga sayang.” Jeno terlihat berfikir sebelum menggeleng.

“Kalau ayah sih ngga pernah, tapi kalau bunda, ayah ngga tau.”

“Oh ya? Kok bisa? Maksud kakak, doesn't it imposible to be in love with the same person for years? Pasti ada bosennya dong? Atau ngga rasa sayangnya berkurang sedikit pasti ada kan?” Tanya Scarlett membuat Jeno memiringkan kepalanya sedikit.

Why do you think it's impossible?

“Karena manusia punya rasa bosen?” Sambung Aro yang ikut penasaran.

So one day, kakak sama Aro bakal bosen sama ayah sama bunda trus udah ngga sayang lagi sama kita?”

“Kok tiba tiba gitu? Ngga dong, ayah sama bunda kan orang tua kita pasti kita sayang terus dan ngga akan bosen.”

“Kenapa ngga akan bosen? Kan senin ke senin, pagi, siang, sore, malem, sama ayah sama bunda terus seringnya.”

“Ya kan terbiasa, kakak sama Aro udah terbiasa bareng ayah bunda.”

“Yaudah, ayah juga sama. Ayah udah terbiasa sama bunda. Lagian kalian bisa bertahan sama orang tua kalian bertahun tahun kenapa kalian ngga bisa lakuin itu sama pasangan kalian? If you ask me do I still love my parents, I will say I do. I love them since 42 years ago, and still going on. So, If I can do that to my parent, why I can't do that to my partner?

“Ya tapi kan, pasti ada dong hal-hal, kekurangan-kekurangan yang bikin rasa sayang ayah berkurang?” Tanya Scarlett yang masih berusaha mendebat.

“Eyang sama eyang uti juga punya kekurangan, but it doesn't change how I felt to them.

“Iya tapi itu kan orang tua ayah, you love them because they were able to make you exist and be successful like now pasti hal hal itu yang bikin ayah inget untuk selalu love both of your parents. Tapi bunda kan istilahnya 'stranger'—”

But bunda is the one who able to makes both of you exist in this world, and she help me with everything. Gimana perasaan ayah bisa berubah?” Potong Jeno membuat Scarlett langsung menutup wajahnya dengan bantal, kesal gagal mendebat sang ayah kedua kalinya hari ini.

“Tapi ayah pernah kepikiran punya perempuan lain ngga selain bunda?” Tanya Aro yang mendapat senggolan siku dari sang kakak.

“Ngga, ayah ngga pernah kepikiran. Sengga enak apapun pernikahan ayah sama bunda, ayah ngga pernah kepikiran untuk punya perempuan lain.”

Why?

“Ayah nikahin bunda it means ayah udah terima semua hal yang akan terjadi pada bunda, pada hubungan pernikahan kita nantinya, semua hal terbaik dan terburuknya, ayah udah terima itu. Kalau tiba-tiba ayah milih buat punya perempuan lain karena ada hal buruk yang terjadi di pernikahan kita, itu namanya ayah ngga tanggung jawab atas pilihan ayah sendiri. Lagian ayah juga cukup waras dan sadar kalau kita cuma butuh nikah sama satu wanita. Everyone has a feeling, I don't want to be a second in my partner life, then I can't make anyone to be.

“Kok gitu? Bukannya selama ayah masih nafkahin bunda itu ngga apa-apa ya?” Tanya Aro yang dibalas gelengan oleh Jeno.

“Tanggung jawab itu bukan sebatas nafkahin bunda, tapi semua hal tentang bunda dari A sampai Z, dari yang kita liat sampai ngga, menurut ayah itu udah jadi tanggung jawab ayah sejak kita nikah.

Ayah udah nekenin diri ayah sendiri sejak awal kalau ayah hanya akan mempunyai satu pasangan hidup dalam seumur hidup ayah. Selagi ngga ada hal yang mengancam nyawa salah satu dari kalian bertiga, bunda akan selalu jadi orang pertama dan terakhir yang ayah nikahi.”

Aaaaaw so sweeet,” ucap kakak beradik itu serentak.

Fix kakak kalau nyari jodoh harus yang kayak ayah, tapi bukan 100% kayak ayah, 70% aja cukup.” Jeno mengernyitkan alisnya.

“Kenapa gitu?”

“Kalau berdasarkan yang Scarlett alami dan berdasarkan dari cerita ayah barusan, ayah itu 70% so sweet, oke banget lah, 20% malu-maluin, lebay, 10% nyusahin. Jadi 70% aja.” Jeno mendengus kesal mendengarnya.

“Kalau Aro mah ngga mau jadi kayak ayah.” Jeno menatap Aro malas.

“Kalau cuma mau ngeroasting ayah diem deh, kita lagi akur malem ini.”

“Nyenyenyenye.”

Plak

Aw! Sakit kak!”

“Kamu kebiasaan deh ngga sopan.” Yang ditegur hanya mengelus bahunya karena kesakitan.

“Trus yah, kakak penasaran, favorite moment ayah sama bunda itu apa?” Jeno terlihat berpikir sebentar.

“Apa ya? We've been through a lot of things together sih ayah jadi bingung kalau ditanya kayak gini. Tapi kayaknya kalau dipikir-pikir, favorite moment ayah itu the night sebelum ayah pulang dari Texas untuk pertama kali.” Aro mengernyitkan keningnya.

“Bukan pas nikah sama bunda?”

“Itu yang ketiga.”

“Loh? Kok langsung tiga? Kedua apa?”

“Pas kita ketemu lagi setelah tujuh tahun kepisah. I thought we wouldn't see each other anymore, and I can't even describe how I love that moment if you ask me. Rasanya kayak mimpi.”

“Kalau gitu kenapa pulang dari Texas jadi yang terfavorit?” Senyum Jeno semakin lebar ketika mengingat kembali moment itu.

“Karena malam itu for the first time we talk about 'us'. Malam itu kita akhirnya mutusin mau gimana hubungan kita selanjutnya, and we agree to wait for 5 to 6 years and I'll purpose her, in Texas. Trus yang bikin paling palingnya karena itu moment pertama kali bunda being so clingy to me sampai akhirnya we slept together, setelah diizinin grandpa officially, karena bunda yang ngga mau kita pisah.”

“Emang sebelumnya bunda ngga clingy?”

“Ayah cerita segitu panjang kalian masih ngira bunda orangnya clingy?” Tanya Jeno datar membuat kedua anaknya tertawa.

“Trus, what is your happiest moment with her?

“Semua.”

Every second that I spent with her is my happiest moment ever. Seeing her next to me, realizing that she is mine, totally mine. I'm happy,” ucap Jeno membuat anak-anaknya terdiam.

Kalimat yang dilontarkan sang ayah sejak tadi, dan juga situasi keluarga mereka saat ini membuat Aro maupun Scarlett sadar bahwa ayahnya tidak merasa bahagia, itu yang kedua anak itu sadari.

Scarlett berdeham memecahkan keheningan yang tiba tiba terjadi.

How does it feels for having me and Aro in your life? Ayah and bunda's life.” Tidak nyambung, namun hanya pertanyaan itu yang lewat di kepala Scarlett ketika memikirkan kalimat apa yang bisa mencairkan suasana ini kembali.

Feels unreal. Like I said, I'm happy. Having bunda, kakak, and Aro in my life is the things I have never imagined before.

“Bahkan Aro yang tengil gini ayah seneng?” Potong Scarlett yang langsung dihadiahi tatapan tajam oleh adiknya.

“Tengil tengil gitu juga Aro sayangkan sama ayah?” Tanya Jeno sembari menatap Aro yang menatapnya datar.

“Pede banget,” ucap anak itu malas membuat Jeno tertawa.

“Ya pokoknya I'm happy. Bahkan dulu pas awal awal, sebelum tidur ayah suka mikir kayak is it even real? Or is it just my dream? Karena seeing bunda sleeping next to me, kakak yang dulu kalau tidur masih harus sama ayah sama bunda, so you sleep in the middle of us, and Aro yang waktu itu tidur di box bayinya. That's feels so unreal for me, I always dreamt to have a happiest future with my family, but I've never thought it could be this happy. Everything feels like a dream.

But if it turns out everything is just a dream, then please let me sleep forever. That's what I thought at the moment.” Scarlett dan Aro terdiam mendengarnya. Secara perlahan, Scarlett mendekati Jeno dan memeluknya.

“Aaaaaa ayah, sooo sweeeeet,” ucap Scarlett sembari mengayunkan pelukannya dengan Jeno membuat Jeno tertawa.

“Aro ngga mau peluk juga?” Tanya Jeno sembari menatap anak laki-lakinya yang sedang melotot ke arahnya entah kenapa.

“Pelukan Aro cuma buat bunda.”

“Bilang aja gengsi,” ucap Scarlett sembari melepas pelukannya dan duduk di samping sang ayah.

“Aro ngga gengsi, kakak ngga usah sok tau,” ucap Aro dengan nafas memburu.

“Yaudah kalau ngga mau peluk ngga apa apa, tapi ngeliatin ayahnya biasa aja kali ngga usah melotot gitu, matanya udah merah tuh.” Aro mengerjapkan matanya.

“Udah kan? Udah jam dua, tidur yuk? besok Aro sekolah.” Mendengar itu Aro pun langsung mengerang malas sembari menjatuhkan tubuhnya menjadi telentang di atas kasur.

“Ah males sekolaaaaaaaah. Ngga mau sekolaaaahh.” Jeno mengangguk mendengarnya.

“Yaudah ngga usah sekolah,” ucap Jeno membuat Aro langsung bangun dari posisinya dengan semangat.

“BOLEH?!”

“Boleh, tapi ikut ayah kerja, iya ngga, kak?” Scarlett tertawa mendengarnya. Gadis itu sudah mengetahui cerita mentraumakan milik Aro yang harus ikut sang ayah kerja waktu itu, kisah yang lucu baginya.

“Ah kenapa Aro ngga boleh bolos sih, yah? Capeeek Aro capeeeeeeekkkk,” ucap Aro dengan berlebihan.

“Yaudah mau jalan-jalan?” Tawar Jeno membuat kedua anaknya menatap kearahnya.

“Kapan?”

“Besok, kan kita lagi ngomongin besok.” Scarlett dan Aro langsung bertatapan dengan wajah bahagia yang tidak bisa mereka tahan.

“Boleh?” Jeno mengangguk sembari mengusap rambut si penanya.

“Boleh aja, mau yang deket deket atau jauh? Biar sekalian sama weekend?”

“JAUH!!!!!” Seru kedua anak itu serentak membuat Jeno tertawa.

“Se engga suka itu ya kalian sekolah?” Tanya Jeno yang dibalas gelengan oleh Aro.

“Bukan ngga suka ayah, but sometimes i feel so tired gitu, kali ini bukan karena Aro ngga ngerjain tugas kok, tapi kayak ya pure capek, feels like I just want to get away from school stuff. But I promise, setelah itu Aro rajin lagi kok,” jelas Aro diakhiri cengiran. Jeno pun hanya menatap kedua anaknya sembari tersenyum.

“Sabar yaa, Aro lima tahun lagi masa sekolahnya selesai, kakak satu setengah tahun lagi ya berarti?” Scarlett mengangguk.

“Nanti abis masa wajib sekolah kalian selesai, kalian bebas kok milih mau ngapain. Selagi ngga diem tiduran di kamar atau main game di rumah, ayah sama bunda pasti bolehin.”

“Kalau abis lulus sekolah mau nikah boleh dong?” Tanya Aro berniat menggoda kakaknya, namun sepertinya ia lupa jika kini ia sedang bertanya kepada siapa.

“Sekolah belum selesai udah nanya boleh nikah apa ngga. Emang kamu udah bisa ngasih makan anak orang?”

“Ya belum sih, tapi kalau kita yang dibiayain sama orang kan bisa? Kayak kakak gitu kan kakak nanti dibiayain, bukan ngebiayain.”

“Nikah kan ngga cuma masalah duit doang, Aro. Tapi masalah mental udah siap atau belum. Nikah ngga sebatas nikah punya anak trus selesai, ada banyak yang diurus,” ucap Scarlett yang kesal karena sadar jika adiknya sedang menggodanya saat ini perihal chatnya dengan Jardin kemarin.

“Nah, bener. Kakak kok pinter sih?” Tanya Jeno membuat Scarlett memasang muka masamnya.

“Ayah please deh, kakak sekarang udah dua SMA, ya kali gitu aja ngga ngerti.”

“Kakak kok udah SMA sih? Balik jadi bayi lagi aja mau ngga? Kita main ayam-ayaman lagi. Ayah ngga rela kalau harus liat kakak sama cowo lain selain ayah sama Aro.”

“Dih kalau kakak balik jadi bayi lagi Aro ngga ada dong? Curang, mana bisa gitu? Trus ayah lebay deh, ya kali kakak harus menjomblo sampai tua, Aro kan mau punya abaaaaaang.”

“Abang kan udah ada Jardin, ngapain kamu nyari abang lagi?”

Teng!

Jawaban yang benar, namun ditujukan kepada orang yang salah.

“Oh ayah udah ngerestuin kakak sama abang nih ceritanya?”

“Ngga gitu, tapi—”

“Tapi?” Aro menaik turunkan alisnya membuat Jeno berpikir alasan apa yang harus ia keluarkan, namun hasil akhirnya, tidak ada.

“Ck, tau lah udah sana kalian tidur.”

“Ooow kamu ketauan,” goda Aro membuat Jeno menatapnya kesal.

“Ck, udah tidur tidur, pagi sekolah.”

“Dih katanya jalan jalan?”

“Ngga jadi, kamu ngeselin. Kerja kan ngga harus ke kantor.”

“AH, ARO KAAAAAN!

“DIH AYAH AJA BAPERAAAN!”

“Kan, dikatain baperan. Fix besok ngga jadi.”

“ARO IH KAMU TUH KALAU NGOMONG SAMA AYAH BISA NGGA SIH DIFILTER DIKIT GITUU,”

“YAUDAH MAAF.”

“YANG BENER.”

“Ayah Jeno ku tersayang dan tercinta, Aro memohon maaf kepadamu ya ayah atas semua ucapan Aro yang kata kakak ngga bisa difilter, sehabis ini Aro akan semakin tidak memfilter ucapan Aro la—AWW SAKIT KAKK KOK NYUBIT SIH?!”

“Kak jangan nyubit nyubit.”

“AKHIRNYA KAKAK KENA TEGUR AYAH!”

“BERISIK!”

“Udah ih kalian, bubar bubar,” ucap Jeno sambil ingin beranjak dari duduknya namun ditahan oleh Scarlett.

“Tidur disini aja boleh ngga yah? Kakak masih mau denger ceritanya lagi.”

“Boleh aja, tapi mau cerita apa lagii? Kan tadi udah ayah ceritain semua.”

“Tentang bunda sama uncle Flores beloooooom,” ucap Aro yang kini sudah masuk ke dalam selimut.

“Sama uncle Louis jugaaa.”

“Kalau itu tanya bundanya langsung deh, ayah kurang ngikutin.”

“Dih gitu. Tapi ya kak, coba bayangin deh semisal bunda jadinya sama uncle Flores bukan ayah, pasti seru banget. Kita jadinya tiga bersaudara, abang, kakak, Aro. Pasti seru.” Mendengar itu Jeno hanya menatap Aro malas.

“Oh jadi mau jadi anaknya uncle Flores aja? Oke, besok ayah coret kamu dari kk, trus ayah pindahin ke kknya uncle Flores, kalau uncle Flo mau. Kalau uncle Flores ngga mau ya udah berarti kamu punya kk sendiri, biayain hidup sendiri, bia—”

“SSSSHHHHHH CUKUP AYAH CUKUP. Aro cuma mau denger cerita seru, bukan cerita horror,” ucap Aro memotong kalimat Jeno.

“Tapi ya, misal nih MISAL, bunda jadinya sama Uncle Louis, Aro pasti bakal pamerin ke seluruh dunia kalau Aro punya ayah seganteng dan seberbakat dia.”

“Kamu emang pernah ketemu sama Uncle Louis?” Aro mengangguk.

“Dulukan pas kita ke New York buat ketemu Uncle Jo sama Aunty Pris, kita ketemu Uncle Louis sama temen temen bunda yang lain. Kakak sama ayah diajakin ngga mau.”

“Kok ayah ngga tau?”

“Ngga meratiin kali. Ayahkan suka gitu bunda ngomong tapi pikirannya ayah lagi kemana.”

“Atau ya kak, misal bunda jadinya sama uncle Flores, kakak ngga bisa pacaran sama abang dong?”

“Emang kakak pacaran sama Jardin?”

“NGGA” “IYA”

“IYA YAH IYA MEREKA PACARAN KALAU CHATTINGAN MUMUMU SAYANG UDAH MAKAN BELUM LAGI APA AKU SAYANG BANGET SAMA KAMUU AKU NGGA BISA HIDUP TANPA KAMU I LOVE YOU BABE!”

“MANA ADA ARO IH! ARO BOONG YAH! Bunda aja ngga ngebolehin kakak pacaran sama Jardin.” Seru Scarlett tidak kalah heboh dari Aro. Jeno hanya bisa memegang keningnya karena harus mendengar perdebatan kedua anaknya lagi.

“Ya ya ayah percaya sama kakak. Tapi kalau boleh tau bunda kenapa ngga bolehin kakak pacaran sama Jardin?” Tanya Jeno membuat Scarlett berpikir.

“Kalau ngga salah waktu itu bilangnya karena kakak masih 16 tahun, harus nunggu sampai kakak bener bener paham tentang banyak hal dulu baru boleh. Jadinya kita cuma boleh sebatas adik-kakak aja.” Jeno mengangguk mengerti.

“Emang kenapa deh, yah? Jardin juga setuju-setuju aja lagi dibilang gitu sama bunda.”

“Oh? Jardin nurut?” Scarlett mengangguk.

“Dia beneran treat kakak jadi kayak adeknya kadang-kadang.”

“Ayah tau ngga sih kakak sama abang pernah berantem karena kakak yang bolak balik minta mereka pacaran?” Jeno melotot mendengar ucapan Aro, sedangkan yang jadi bahan omongan langsung menggeleng dengan panik.

“Ngga yah ngga. Aro bohong. Kakak ngga pernah berantem karena itu sama Jardin.”

“Trus berantemnya karena apa?”

“Karena Abang yang janji ngajak kakak pergi tapi tiba tiba dibatalin karena temen perempuannya abang minta tolong pasangin lampu teras. Cantik tau yah temennya abang. Seleb.”

“ARO IH MULUTNYA DI REM SEDIKIT KENAPA!” Seru Scarlett yang membuat perdebatan keduanya berlangsung menjadi sangat panjang.

“Kak, Aro, ributnya udahan yuk? Udah malem,” ucap Jeno sembari mengusap keningnya, pusing menyaksikan perdebatan anaknya sejak tadi.

“Ya Aro duluan yaah tadi!”

“Dih kok Aro? Aro kan cuma ngasih tau faktanya aja!”

“Fakta apaan orang kamu lebay lebayin.”

“Mana ada? Orangjwkflxmehfkapdh AYAH APAAN SIIIHHHH!” Kesal Aro setelah mengeluarkan gumpalan kertas yang dimasukan kemulutnya oleh sang ayah ketika ia berbicara.

“Makanya diem ih, ayah pusing dengernya kalian dari tadi berantem ngga kelar. Baikan.”

“NGGA!” Seru keduanya serentak.

“Kaak, Arooo.”

“Aro ngeselin.”

“Kakak nyubit nyubit Aro.” Jeno menghela nafasnya melihat kedua anaknya yang kini saling memunggungi dihadapannya.

Biasanya disituasi seperti ini, Allison lah yang menjadi penengah. Ucapan wanitanya yang tidak dapat terbantah selalu membuat situasi tenang lebih cepat. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang terkadang malah ikut masuk ke dalam pertengkaran kedua anaknya.

“Dua duanya maaf maafan. Cepet.”

“Kakak duluan lah yang minta maaf.”

“Aro duluan lah, orang dia yang mulai.”

“Maaf maafan sekarang atau mulai besok ayah ngga kasih duit jajan lagi.”

“Kak maafin Aro ya Aro emang salah udah ngelebih lebihin faktanya,” ucap Aro cepat sembari memeluk Scarlett membuat yang dipeluk merotasikan matanya.

“Kakak juga minta maaf sama adeknya dari tadi nyubit nyubit sama mukulin Aro.” Mendengar itu Scarlett pun langsung tersenyum masam sembari membalas pelukan sang adik.

“Maaf ya Aro, tadi kakak mukul sama nyubit,” ucap gadis itu sembari mengusap (re: memukul) punggung adiknya.

“Udahkan? Udah jam tiga, yuk tidur. Jadi mau tidur disini apa gimana?”

“JADI DI SINIII!!!”

“Kakak toa.”

“Ih kan! Ayah, Aro duluaaan!” Adu Scarlett membuat Jeno hanya menghela nafas lelah.

“Ayah matiin lampunya dulu.” Jeno beranjak dari duduknya dan mematikan lampu.

Namun baru beberapa detik lampu dimatikan, suara dua anak yang sedang bertengkar namun berbisik kembali terdengar.

“Aro apaan sih ih.”

“Aro kan mau tidur di sebelah kakak.”

“Ngga mau. Kamu kalau tidur suka nendang.”

“Ngga nendang elah, Aro diem.”

“Tetep ngga mau, awas.”

“Ngga, apaan sih.”

“Kamu apaan sih.”

“Apaan sih. Minggir.”

“Ngga.”

“Minggir. Jangan peluk-peluk.”

“Ngga. Mau peluk.”

“Minggiiiiiir.”

“Nggaaaaa.”

Brukk

“AW! AYAAAAAH KAKAK DITENDANG ARO!” Jeno pun kembali menyalakan lampunya dan melihat keadaan kasurnya yang entah bagaimana tiba tiba menjadi sangat berantakan dengan Scarlett yang kini sudah terjatuh di lantai.

“ARO NGGA SENGAJA YAH SUMPAH ARO TADI LAGI RENGGANGIN BADAN TRUS NGGA SENGAJA NGEDORONG KAKAK SUMPAH YANG INI ARO NGGA BOONG!” Jeno mengusap wajahnya kasar melihat kekacauan yang terjadi di kamarnya saat ini.

“Kakak ngga apa apa?” tanya Jeno sembari membantu putrinya berdiri. Gadis itu mengangguk.

“Kakak ngga mau tidur di sebelah Aro ih! Awas!” ucap Scarlett sembari kembali mengusir adiknya

“Aro ngga nendang ih janjiii.”

“Ayaaaaah.” Scarlett pun kembali mengadu kepada Jeno membuat pria dewasa itu lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya.

“Kakak di kanan, Aro kiri, ayah tengah.”

“IH MAU—”

“Diem. Tidur.” Tegas Jeno membuat Aro mau tidak mau menurut dengan bibir yang dimanyunkan.

Oh jika kalian kira ketegasan Jeno adalah akhir dari malam mereka saat ini sepertinya kalian salah. Pasalnya dengan mata yang terpejam, kini Jeno merasakan ada kaki yang saling menendang di atas kakinya. Pria itu juga merasakan seseorang yang mencolek pinggangnya berkali kali.

“Kenapa kak? Kalian bisa ngga ngga usah tendang tendangan di atas kaki ayah?” Keduanya hanya terkekeh.

“Kakak ada satu pertanyaan lagi.”

“Apa?”

“Momen jatuh cinta pertamanya ayah sama bunda itu kapan?” Mendengar itu Jeno pun langsung membuka matanya secara perlahan.

“Kenapa nanya gitu?”

“Penasaran aja. Seems like you two in love since the beginning.” Jeno tertawa pelan mendengarnya.

“Kapan ya? Kurang tau sih. Mungkin pas ayah ngobrol panjang sama bunda pas pertama kali ke penthouse?”

“Yang ayah nyebur ke kolam karena keciduk grandma itu?”

“Udah deh ngejeknya,” ucap Jeno sembari mencubit pinggang Aro membuat anak itu tertawa kencang karena merasa geli.

“Lagian ayah cupu banget, digituin doang langsung nyebur ke kolam, malu-maluin.”

“Kita liat ya lebih malu-maluin mana sama Aro nanti kalau punya pacar.”

“Siapa takut! Aro kan turunannya bunda, jadi ngga mungkin malu-maluin kayak ayah,” ucap Aro membuat Jeno rasanya ingin mencakar wajah anak itu sekarang juga.

“Udah ih kakakkan belum selesai nanya. Trus kenapa itu bisa jadi momen pertama ayah jatuh cinta sama bunda?” Tanya Scarlett sekaligus menengahi.

“Kenapa ya? Ayah sebenernya ngga tau sih tepat kapan momen pertamanya, tapi every time we met and we talked bunda selalu effortlessly nunjukin pesonanya, she looked smart, pretty, and elegant at the same time, she made me think that she is the one I'm looking for even though she isn't on my type list at that moment.

“Ck itu sih emang ayahnya bucin sama bunda aja,” ucap Aro yang langsung mendapat tendangan dari Scarlett.

“Kan yah, kakak nendang nendang.” Jeno hanya bisa kembali menghela nafasnya mendengar aduan si bungsu.

“Emang dulu tipe ayah kayak gimana?”

The girl who wearing pants, kinda boyish so we can having fun together, ngga ribet, trus yang mau spending a lot time with me. Trus I was a racer kan, nah kalau bisa tuh yang bisa naik motor jadi kita bisa kayak race date gitu,” jelas jeno yang dibalas anggukan oleh Scarlett.

“Itu emang jauh banget sih dari bunda, dari nomor 1 aja bunda udah ke eliminasi,” ucap Scarlett membuat ayahnya tertawa.

“Kalau bunda kapan pertama kali jatuh cinta sama ayah?” Tanya gadis itu lagi yang dijawab kedikkan bahu oleh Jeno.

“Ngga tau, ngga pernah nanya.” Scarlett mendesah kecewa.

“Emang bunda pernah jatuh cinta sama ayah?” Jeno merotasikan bola matanya malas mendengar pertanyaan anak laki-lakinya yang ia tau hanya kembali berniat mengusilinya.

“Kalau ngga pernah gimana caranya kita nikah trus punya kalian, bocil.”

“Ya siapa tau bunda terpaksa. Kan orang-orang paling suka ikut campur sama hubungan percintaan orang lain, jadi bunda bikin orang-orang penasaran trus go publicnya pas udah tunangan. Jadi kan orang-orang makin kepo, engagement naik, pendapatan juga naik, lumayankan cuan.”

“Bocil mulutnya lemes banget heran. Kalau bener karena itu, gimana caranya kita punya kamu sama kakak?”

“Ya terus kebablasan hubungannya, lagian kan lumayan juga kalau ngga ada berita tiba tiba ngumumin punya anak, dituduh yang ngga-ngga, orang makin kepo jadi pada nyari tentang bunda, spending too much time di sosmed bunda buat ngehujat bunda, engagement naik, pendapatan juga naik, lumayankan cuan.”

“Aro ih!” Seru Scarlett sembari bangun dari tidurnya hanya untuk memukul bibir adiknya agar anak laki-laki itu diam.

“Ngga lah, kalau kakak mah ngga kebablasan, kamu doang yang kebablasan.” Aro dan Scarlett, keduanya langsung terduduk menghadap sang ayah yang masih dalam posisi tidurnya.

“GIMANA?!”

Skip, back to the topic,” ucap Jeno tanpa menghiraukan kedua anak itu sembari kembali memejamkan matanya.

“Ini masih at the same topic ayah! Jelasin maksudnya Aro doang yang kebablasan!” Seru anak laki-laki itu heboh.

Sedangkan Scarlett? Anak itu masih melongo tidak percaya menatap ayahnya.

Ayolah Scarlett bukan seperti Aro yang bisa dibilang masih ada sisa kepolosan, anak itu sudah memahami banyak hal sekarang. Ingin rasanya ia tertawa kencang namun sebisa mungkin mempertahankan wajah polosnya dihadapan sang ayah dan adik.

“Ngga, itu topicnya ngga buat anak dibawah umur.”

“Aro ngga dibawah umur! Aro udah pernah nyicip alkohol dikit jadi Aro udah bukan dibawah umur!” Seru Aro membuat Jeno yang langsung ikut terduduk menghadap anak bungsunya.

“Kapan kamu nyobain alkohol?!”

“Waktu itu pas kita pulang ke Texas, pas main ke kebun anggur sama grandpa dikasih coba dikit, dikiiit banget, segini.” Aro mendekatkan jari jempol dan telunjuknya.

“Bohong ya? Kok ayah ngga tau? Bunda tau?” Aro menggeleng.

Grandpa bilang jangan bilang-bilang bunda, cukup jadiin itu sebagai rahasia.” Jeno menepuk jidatnya.

“Trus kenapa kamu bilang sama kita?” Tanya Scarlett.

“Ya kalian kan bukan bunda?” Jeno pun memendam wajahnya ke dalam selimut sebelum berteriak,

“ALLIIIIIII ANAK KITA TERNODAIIII!”

“AYAAAH BERISIIIIIIIK!”


“Kak,”

“Ya?”

“RQOTD kakak waktu itu ada kaitannya sama kenapa kakak marah sama bunda ya? Udah nemu jawabannya?”

“Kakak udah ngga cari jawabannya lagi.”

“Kenapa?”

I don't think it is something that we should find the answer. Like even we don't have to ask about it.

“Kenapa gitu? You were so curious when you asked me about it.

“Kakak pikir, semakin kakak cari-cari jawabannya, semakin jauh kakak dari jawaban yang aslinya udah ada di depan mata. I know my home is here, I don't have to count the astronomy location and find it with satellite to know where it is.

Waktu menunjukkan pukul 10 malam dan di halaman belakang rumah, masih terlihat ada Jeno yang sedang duduk di anak tangga dengan kedua tangannya yang ia jadikan sandaran ke belakang.

Ditemani dengan segelas air hangat di sampingnya, matanya kini terfokus pada pemandangan langit malam yang kosong. Tidak ada yang ia pikirkan. Hanya menenangkan diri.

Terhitung sudah hari ke-empat sejak Allison meninggalkan rumah tanpa kabar. Keadaan rumah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan biasanya sebab sang putra dan toa gaibnya yang masih setia mengisi setiap sudut kosong dengan membuat kehebohan. Namun yang membuat keadaan rumah sedikit berbeda adalah gadis 16 tahun yang benar-benar bungkam dan menjauhkan diri dari keluarga—Jeno lebih tepatnya.

Pria itu merasakan bila saat ini sang putri tengah melakukan segala cara untuk tidak bertemu ataupun berinteraksi denganya. Keluar rumah sebelum sang ayah turun dari kamarnya dan diam di kamar selama ia merasa jika pria 42 tahun itu sedang ada di luar kamarnya. Jangan lupakan gadis itu yang menggunakan Aro sebagai perantaranya untuk berbicara.

Tetapi sebenarnya tanpa disadari, tidak hanya Scarlett yang berubah melainkan Jeno juga mengalami perubahan sejak pertengkarannya dengan sang putri meski dirinya selalu berusaha keras bertindak seakan pertengkaran tersebut tidak pernah terjadi.

Pria itu menjadi lebih diam, semua godaan yang dilontarkan sang putra ia tanggapi dengan seadanya. Lalu yang biasanya menghabiskan waktu luang di ruang keluarga bersama Allison, akhir-akhir ini Jeno juga lebih memilih untuk menghabiskan waktu luangnya di dalam kamar atau bahkan menyibukkan diri di ruang kerja hingga larut malam.

Entah sudah berapa lama sejak dirinya terduduk di sini, namun Jeno dapat merasakan seseorang mulai berjalan mendekat dari arah belakang membuat pria itu memutar kepala.

“Kakak kok belum tidur?” Tanya Jeno pada seorang gadis yang kini sedang menunduk dan semakin melambatkan langkah untuk mendekatinya.

“Scarlett boleh duduk di sebelah ayah?” Tanyanya ragu yang kemudian dibalas Jeno dengan tepukan kecil pada ruang di sampingnya.

Ayah.

Sedikit terasa kaku sebab sudah lama rasanya sejak Scarlett menyebut kata itu dengan baik.

Tidak ada percakapan di antara ayah dan anak tersebut, keduanya hanya terfokus menatap pemandangan malam.

Ayah-anak yang biasanya tidak terpisahkan, kini seakan ada dinding besar di antara keduanya membuat hawa canggung sangat terasa.

“Ayah?” Panggil Scarlett berusaha mencairkan suasana.

“Ya?”

“Bunda ... Bunda pulang ke Texas ya?” Tanya gadis itu membuat Jeno menatap ke arahnya sedikit terkejut.

Grandpa bilang?” Tebak Jeno yang dibalas anggukan kecil.

Grandpa texted me. He just wants to let us know that Bunda is there, so we don't have to worry about her.” Jeno mengangguk, matanya kini beralih menatap kedua kakinya.

“Bunda pasti marah banget ya Yah sama kakak?” Tanya gadis itu membuat lawan bicaranya terdiam.

“Ayah juga pasti marah sama kakak,” bisiknya dengan suara yang teramat kecil.

Keduanya kembali bergeming. Jeno yang menanti kalimat lanjutan sang putri, dan Scarlett yang bingung dalam merangkai kata untuk menyampaikan kata maafnya seperti apa yang sudah ia rencanakan dua hari ini.

“Ada yang mau disampaiin?” Tanya Jeno.

Matanya kini beralih pada jari Scarlett yang mulai bergerak mengupas lapisan kulit di sekitar kukunya, “Kukunya jangan digituin terus, nanti berdarah,” tegurnya membuat pergerakan Scarlett terhenti digantikan dengan remasan kencang pada ibu jari untuk menutupi kegugupannya.

Suara gumaman Scarlett mulai terdengar, namun tidak ada satu kata pun yang berhasil ia lontarkan.

“Ayah ngga marah.”

“Ayah cuma kecewa kemarin.”

“Kecewa karena ternyata ayah ngga tau apa-apa yang dialamin sama kakak bikin kakak harus mendam semuanya berakhir meledak kayak kemarin. Kecewa karena ayah ngga sempat nahan atau bahkan tau tentang bunda yang pulang ke Texas. Kecewa karena I don't know what exactly to do selama kakak masih diemin dan ngehindarin ayah kayak sekarang.”

“Scarlett minta maaf,” sahut gadis itu sesaat Jeno kembali terdiam.

“Scarlett ngga bermaksud untuk diemin atau ngehindarin ayah. Tapi Scarlett cuma ... malu.”

It embarass me to realizing what I have done. Rasanya Scarlett ngga akan bisa ngehadapin ayah sama bunda lagi. Apalagi setelah liat ayah yang meperlakukan Scarlett seakan-akan ngga terjadi apa-apa, rasanya bikin Scarlett semakin ngga ada muka untuk ngehadapin ayah karena Scarlett pikir ayah sama bunda ngga akan maafin Scarlett,” aku Scarlett pada akhirnya membuat lawan bicaranya kini tersenyum dan mengusap rambutnya lembut.

“Ayah udah maafin kakak dari kemarin kok, dari awal,” ucap Jeno berniat menenangkan yang entah mengapa malah dibalas gelengan kencang oleh sang putri.

“Kakak tau ayah ngga maafin kakak. Apalagi pas tau kalau bunda pulang ke Texas karena kakak. Ditambah kakak juga yang udah jadi sumber kekecewaan ayah dari kemarin. Kakak minta maaf,” tutur Scarlett.

Jeno sadar bahwa ucapan yang mengungkapkan kekecewaannya tadi membuat putrinya semakin merasa bersalah. Tangannya ia bawa untuk menarik Scarlett masuk ke dalam pelukannya.

“Ayah udah maafin kakak dari awal. Dari ketika kakak ngeluapin semuanya, ayah udah maafin kakak. Ayah bukannya pura-pura ngga terjadi apa-apa. Tapi buat ayah, apa yang udah terjadi ya udah terjadi, ayah ngga bisa berlarut-larut sama apa yang udah terjadi. Because no matter how you hate me, you still my daughter and I will forever treat you as one.

Jeno dapat merasakan ada tetesan air yang mulai membasahi bahunya.

It's okay, Sayang.” Tangannya bergerak mengusap punggung sang putri.

I wish there was something I could do to bring bunda back to us or just help you to fix all this mess. I am sorry, Ayah,” lirih Scarlett yang dibalas anggukan.

Surely there is nothing we can do to bring bunda back to us, but there is something you can do to help me clean up all this mess actually.

“Belajar. Be a good girl. Kalau ada apa-apa kakak bisa cerita ke ayah atau siapapun yang kakak percaya. Kunci dari hubungan yang baik itu komunikasi yang baik, Kak. Jadi jangan mendem semuanya sendiri lagi. Kita perbaikin semuanya satu-persatu. Dari ayah sendiri, dari diri kakak sendiri juga. Let's do our best to fix everything sampai nanti bunda pulang lagi ke kita, Okay?” Sambung pria itu sebelum melepas pelukan keduanya. Tangannya bergerak menghapus jejak air mata gadis itu.

“Tapi nanti ayah tetap minta kakak untuk jangan lupa untuk minta maaf sama bunda pas bunda udah pulang ngga apa-apa ya? Karena bagaimanapun you still owe her an apology,” pinta Jeno yang kemudian menangkap gelagat canggung sang putri.

“Atau kalau kakak ngga mau—”

“Ngga, Scarlett bukan ngga mau....”

“Tapi Scarlett malu,” sela Jeno membuat Scarlett semakin menunduk.

Just hug her, Kak. Bunda orangnya pemaaf.”

“Oh atau lebih bagus lagi kalau kakak mau minta maaf sambil meluk bunda. She would be really happy if you do that,” ucap Jeno sebelum kembali ke posisi awal—menopang tubuh dengan kedua tangannya di belakang.

Scarlett tidak mejawab. Hanya diam menunduk dengan rasa khawatir yang tiba-tiba menyerangnya, membayangkan kemungkinan yang terjadi jika dirinya bertemu dengan Allison ketika wanita itu kembali.

“Tapi, Kak, ayah boleh tau kenapa kakak bisa semarah itu sama bunda? Ada alasan lain selain yang udah kakak sebutin kemarin?” Scarlett terdiam membuat Jeno menatapnya.

Sadar jika sang putri belum mau bercerita dan ia yang juga tidak ingin kembali merusak suasana dengan memaksa gadis itu bercerita, pria itu menghela nafasnya sebelum kembali menatap langit kosong.

“Yaudah kalau ngga—”

“Ngga, bukan gitu,” sanggah Scarlett dengan cepat.

“Trus apa?” Tanya Jeno membuat yang ditanya menggigit bibirnya ragu sebelum akhirnya merogoh kantong celana dan menyerahkan ponselnya pada sang ayah membuat pria itu menaikkan alisnya heran.

“Kenapa?”

“Ayah bisa baca aja disitu, but please promise that you won't do anything about it.” Scarlett kembali menyodorkan ponselnya sampai akhirnya Jeno mengambil benda persegi itu.

Jari Jeno bergerak untuk membuka ponsel Scarlett yang tidak terkunci dan langsung memunculkan roomchat dengan teman-teman kelasnya di sekolah.

Scarlett memperhatikan raut wajah ayahnya yang langsung berubah 180 derajat sesaat melihat isi roomchat tersebut.

Senyumnya memudar terganti dengan garis rahang tegas yang mengeras. Ekspresi yang tidak pernah gadis itu lihat sebelumnya.

Pandangan Scarlet juga menangkap jari sang ayah yang mencengkram ponselnya dengan erat. Jeno mulai menegakkan duduknya dan tanpa meminta izin ,jarinya mulai berpindah memasuki ruang obrolan lain yang ia duga sebagai 'teman' sang putri.

Kata demi kata tidak ada yang terlewat.

“Kakak kenapa ngga cerita sama ayah?” Tanyanya sembari menatap gadis itu pilu sebelum kembali membawa Scarlett masuk ke dalam pelukannya.

“Kakak kenapa diem aja? You are being bullied, Kak. Kenapa kakak ngga cerita apa-apa?” Scarlett hanya menundukkan kepalanya tidak dapat menjawab.

“Jadi selama ini kakak belajar ngga berhenti buat ngerjain tugas mereka?” Gadis itu hanya diam mengigit bibirnya sebelum Jeno merasakan cengraman pada bajunya yang ia yakini itu adalah jawaban dari pertanyaannya.

“Cantiknya ayah,” ucap pria itu berusaha memberikan ketenangan. Ingin rasanya Jeno memberikan pelukan hangat kepada sang putri sepanjang malam. Mengharapkan ketenangan yang ia berikan dapat membayar seluruh rasa bersalahnya yang tidak mengetahui sedikitpun tentang keadaan Scarlett satu tahun ini.

“Rambut kakak ....” Jeno melepas pelukan keduanya. Tangannya mengusap helai rambut Scarlett pelan, matanya menangkap mata sang putri yang mulai berkaca-kaca kembali.

I don't see it's pretty anymore,” ungkap Jeno.

I saw it pretty because I thought you really want it. Kamu percaya diri sama rambut baru kamu. Kamu ngerasa kalau you are the prettiest girl in the world that could attract the most attractive prince in the world just like what you always said. Tapi kalau ternyata rambut pendek kamu malah bikin kamu ngerasa sakit, semakin merasa dipojokan, bikin kamu ngga percaya diri, then I have to say it's not pretty anymore.” Terlihat Scarlett sudah mulai meneteskan air matanya dengan bibir yang tertekuk ke bawah.

“Hari senin ayah ke sekolah biar ayah bicara sama guru kamu,” ucap Jeno membuat Scarlett langsung menggenggam tangannya erat.

No, please don't do that. I'm fine.

Fine? What do you mean fine? Hari senin, ayah tetep ke sekolah kakak.” Scarlett menggeleng cepat.

No, please don't. Ayah bilang ke sekolah ngga akan bikin mereka berhenti lakuin itu ke kakak, malah bisa jadi mereka malah ngelakuin hal yang lebih buruk. Just don't ayah. Temen kakak udah pernah ada yang bilang, yapi ngga ada perubahan. So please don't. Kakak ngga mau semuanya jadi semakin rumit karena ayah dateng ke sekolah buat ini.” Jeno pun menatap anaknya dengan prihatin.

Don't look at me like that,” ucap Scarlett membuat Jeno mengucapkan kata maaf sembari mengerjapkan matanya.

“Tapi ayah ngga akan diem aja. Hari senin ayah bicara sama guru kakak. Secepat mungkin kakak pindah ke sekolah lama, semuanya biar ayah urus. Kakak ngga usah masuk sampai kakak pindah,” ucap Jeno membuat Scarlett membulatkan bola matanya.

What? No! Itu berlebihan. Scarlett ngga perlu sampai pindah sekolah, mereka malah bakal semakin liat Scarlett ngga bisa apa-apa tanpa ayah sama bunda.” Jeno menggeleng.

“Kakak, untuk kali ini ayah ngga minta persetujuan kakak. Terserah temen-temen kakak bilang apa, terserah kakak mau ngebujuk ayah kayak apa. Ayah bilang pindah, pindah,” ucap Jeno final.

“Ayah, please,” ucap Scarlett memelas berusaha membujuk sang ayah yang sayangnya dibalas gelengan.

“Ayah udah nentang kamu untuk sekolah di sana dari awal. Ayah udah nentang kamu karena kita ngga tau seluk beluk sekolah itu gimana, lingkungannya gimana, dan sebagainya, belum lagi itu sekolah jaraknya terlalu jauh. Tapi kakak ngebujuk ayah dengan bilang kalau dimanapun itu tempatnya pelajaran yang dipelajari akan sama, jadi kakak maunya belajar suasana baru, lingkungan baru, and you will be fine karena menurut kakak dimanapun kakak berada semua akan baik-baik aja karena kakak tau mana yang buruk dan mana yang ngga, you're mature enough to understood the do and don'ts thing in your life and I trust you. Ayah percaya dengan kata-kata kakak makanya ayah izinin. I want you to be happy that's why I said yes when you beg to me. Tapi coba liat sekarang? Sesuai ngga sama kata-kata kakak waktu itu? Happy ngga kakak di sana?” Scarlett terdiam.

“Lingkungan dan orang-orang di sekitar kita itu adalah hal yang paling mempengaruhi perilaku harian kita loh kak. Kakak bisa jadi sangat friendly di lingkungan yang nerima kakak apa adanya, dan kakak juga bisa sangat tertutup di lingkungan yang buat kakak kayak gitu. Jadi dengan lingkungan yang sekarang, menurut ayah mereka sama aja ngancurin kamu pelan-pelan, Kak. Ayah ngga terima kamu harus dihancurin kayak gitu.”

“Mungkin kamu ngga sadar, tapi ngedenger kamu nyaris ngatain bunda pake kata itu aja ayah yakin kalau itu terjadi karena banyak temen kamu yang ngatain bunda kayak gitu, jadi pas kamu marah secara automatis kata itu keluar walaupun ayah tau kamu ngga bermaksud. Am I right?” Sambung Jeno. Matanya menangkap Scarlett yang kini menundukkan kepalanya.

“Kamu udah satu tahun ngalamin ini dan kamu diem-diem aja. Ayah ngga akan biarin kamu ngerasain hal kayak gini lebih lama lagi. Jadi hari senin ayah akan urus kepindahan kamu biar kamu bisa pindah secepat mungkin.” Mendengar itu Scarlett langsung membuang nafasnya pasrah.

“Tapi kakak udah kelas dua, Ayah. Bulan depan juga kakak udah UTS, ngga mungkin kakak bisa pindah di tengah-tengah kayak gini.”

“Bisa atau ngganya kakak ngga perlu khawatir because I will make it happen for you no matter what. Kakak tinggal belajar buat ujian masuknya. You are smart, kakak juga lulusan sana SMPnya, kalau kakak ada kesulitan penyesuaian untuk persiapan UTSnya, I can help you with it. Ayah juga bisa panggilin tutor buat kakak jadi ngga ada yang perlu dikhawatirin,” ujar Jeno membuat Scarlett menyerah.

Okay, tapi yah, boleh tolong jangan cerita ke bunda tentang ini? Keep it as our secret, please?” Scarlett menatap Jeno berharap meskipun ia sudah mengetahui jawabannya.

Of course ngga. Bunda juga harus tau. She is your parent too, jadi bunda harus tau.” Scarlett mendesah khawatir.

Tangan Jeno bergerak ke pucuk kepala Scarlett, mengusapnya dengan lembut.

It's okay, just make sure kakak ngga akan ngulangin kesalahan yang sama lagi, okay? You just have to be a good girl, a good student, belajar yang rajin, enjoy each moment of your youth.”

“Sini peluk, ayah udah lama ngga meluk kakak,” sambung Jeno sembari memeluk Scarlett membuat gadis itu mengeluarkan kekehannya.

“Ayah tadi udah meluk kakak,” ucap Scarlett sembari membalas pelukan sang ayah.

“Tadinya udah hampir 10 menit yang lalu, Kak. Udah lama”

“Oh ya, Ayah, Scarlett boleh tanya?” Tanya Scarlett tiba-tiba.

Sure, mau tanya apa?” Terlihat Scarlet yang berpikir sebentar. “Tentang rencana ayah sama bunda yang waktu itu ayah bilang. You said you guys will leave when the moment has come. Kakak boleh tau kapan dan kemana?” Jeno sedikit tersenyum mendengarnya.

“Kenapa?” Scarlett mengedikkan bahu.

“Lauterbrunnen, Swiss. Bunda selalu bilang dia pengen habisin hari tua disana. But still have a continent in America as a plan B.

“Kapan?”

“Ketika kakak sama Aro udah hisa hidup sendiri, bisa cari kebahagiaannya sendiri. Ketika kakak sama Aro udah ngga butuh ayah sama bunda lagi di hidup kalian. We'll leave,” ucap Jeno membuat Scarlett langsung menyerangnya dengan pelukan.

“Jangan ....” lirih gadis itu membuat Jeno mengelus surainya lembut.

“Scarlett sama Aro akan selalu butuh ayah sama bunda sampai kapanpun.” Air mata gadis itu mulai menetes setelah membayangkan jika kedua orang tuanya akan benar-benar meninggalkannya suatu hari nanti.

“Loh? Kok nangis lagi?” Tanya Jeno ketika kembali mendengar suara isakan Scarlett.

“Jangan tinggalin kakak sama Aro.”

“Itu baru rencana kak.”

“Batalin rencananya.”

“Keputusan ada di bunda. Ayah cuma ikut.” Mendengar itu Scarlett pun langsung merengek, membuat Jeno tertawa.

Entah mengapa bagi Jeno, Scarlett sedikit sensitif hari ini. Tidak biasanya gadis itu mengeluarkan tangis secara berulang kali.

“Kakak lagi sedih kenapa ayah ketawa?” Tanya gadis itu sedikit kesal. Pasalnya ia benar benar serius tentang tidak mau berpisah dengan orang tuanya, ia tidak dapat membayangkan jika hal itu benar terjadi.

“Kakak ngingetin ayah sama beberapa tahun lalu pas ayah sama bunda mau pisah di Bandara San Fransisco. Kita sama-sama nangis ngga mau pisah. Tapi bedanya, ayah cuma nangis di bandara, dan itu sebentar. Kalau bunda, dia nangis kayak kakak sekarang, nangisnya dari bangun tidur sampe pas kita pisah di bandara.” Jeno tertawa kecil mengingat memori tersebut. Memori yang tidak akan pernah ia lupakan.

“Ayah masalah pisah sama bunda nangis, tapi kenapa masalah pisah sama kakak sama Aro direncanain? Kakak sama Aro ngerepotin ayah ya?” Jeno menggeleng.

“Kakak sama Aro ngga pernah ngerepotin ayah. Ayah udah bilang kan kalau semua hal tentang kalian itu udah jadi kewajiban dan tanggung jawab ayah, inget?” Scarlett mengangguk.

“Kita cuma ngga mau nanti malah ngerepotin kalian nanti. One day kalian akan punya kehidupannya sendiri, ayah sama bunda akan ngerepotin kalian semisal kita udah mulai harus bergantung sama orang lain.”

“Kakak mau kok ngurusin ayah sama bunda kalau udah tua nanti, kakak ngga ngerasa direpotin. Bahkan sekarang ayah sama bunda minta kakak untuk ngurusin kalian, kakak mau. So please don't leave.” Jeno hanya bisa tersenyum mendengarnya.

“Nanti ayah coba omongin sama bunda, ya?” Scarlett hanya bisa kembali pasrah mendengarnya mengingat jika Jeno dan Allison sudah satu suara, maka keputusan itu sudah valid.

“Swiss mahal,” celetuk Scarlett tiba-tiba membuat Jeno menaikan kedua alisnya.

“Ayah sama bunda ngga akan bisa hidup disana karena ngga ada penghasilan setelah pensiun.”

“Kata siapa? Kakak lupa se-prepare apa bunda jadi orang?”

You have to learn Germany to get permission to live there.

We know that that's why we already start learning.

Ich hasse dich, wenn du uns verlässt.” [I hate you if you leave us]

Ich liebe dich, egal was.” [I love you no matter what.]

“Kakak sama Aro ngga akan ngurusin atau ngasih uang ke ayah sama bunda kalau kalian pergi meskipun penghasilan kita udah jauh lebih banyak dari ayah sama bunda atau bahkan kalau kita udah jadi orang terkaya di dunia.”

“Kan itu emang tujuan kita kak.”

Scarlett membuang nafasnya kasar menandakan ia menyerah, kehabisan kata untuk lanjut menentang sang ayah membuat Jeno sedikit tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“Ayah sesayang itu ya sama bunda? Sampai-sampai ayah nurut aja kalau bunda mau apa. Bahkan sampai harus pisah sama kakak dan Aro sekalipun ayah juga nurut.”

“Bunda terlalu berharga kak. She is not just a wife for me, she can be a friend, a colleague, a sister, someone who is always willing to listen to our story, and more.” Jeno tersenyum ketika otaknya secara automatis menayangkan semua memorinya dengan Allison. “Lagian ayah sama bunda perginya juga dengan rencana panjang yang mateng. Kakak sekarang sedih dan nolak rencana kita karena kakak masih harus bergantung sama kita. Tapi nanti ketika kakak punya kehidupan kakak sendiri, keluarga sendiri, dan kakak udah terbiasa tanpa bunda dan ayah, you will be fine, Kak.”

“Ayah kangen banget ya sama bunda?”

“Menurut kakak?”

“Iya.” Pria itu mengangguk membenarkan membuat Scarlett menundukan kepala kembali merasa bersalah.

“Tapi kalau dengan bunda jauh dari kita bisa bikin bunda ngerasa lebih baik, ayah ngga bisa apa-apa. Ayah ngga bisa maksa bunda untuk pulang because for me, her happiness is my priority,” ucap Jeno sembari mengulum senyumnya.

Di halaman belakang rumah, ada Jeno yang sedang duduk di anak tangga, dengan segelas air hangat di sampingnya. Tangannya sebagai tumpuan bersandar di belakang dan matanya fokus pada pemandangan malam bulan yang hanya menunjukkan sebagian dirinya, sedangkan pikirannya terbang ke belahan dunia lain, memikirkan apa yang sedang terjadi di sana.

Sudah hampir empat hari sejak Allison meninggalkan rumah tanpa kabar. Keadaan rumah masih sama, lebih hening dari biasanya, lebih dingin dari biasanya. Apalagi ketika Scarlett yang sekarang selalu menjaga jarak dengan ayah dan adiknya, membuat jarak dalam keluarga tersebut benar-benar terlihat.

Aro? Anak itu masih menikmati hidupnya dengan nyaman seakan tidak terjadi apa-apa dalam keluarga tersebut.

Jeno dapat merasakan seseorang berjalan mendekat di belakangnya, membuat pria itu memutar kepalanya.

“Kakak belum tidur?” Tanya Jeno pada si sulung yang kini sedang menunduk dan berjalan perlahan mendekatinya.

“Scarlett boleh duduk di sebelah ayah?” Jeno menepuk spot di sampingnya.

Tidak ada percakapan di antara ayah dan anak tersebut, keduanya hanya terfokus menatap bulan di langit.

“Ayah?”

“Ya?”

“Bunda ... Bunda pulang ke Texas ya?” Jeno menatap anak sulungnya.

“Grandpa bilang?” Tanya pria itu yang di balas anggukan kecil.

“Grandpa texted me, he just want to let us know that mom is there, so we don't have to worry about her.” Jeno mengangguk, matanya beralih menatap sisi langit kosong.

“Bunda pasti marah banget ya yah sama kakak?” Jeno terdiam.

“Ay—”

“Kak,” ucap Jeno memotong ucapan Scarlett.

“Kakak tau tugas dari seorang pemimpin?” Tanya Jeno tiba-tiba membuat Scarlett terdiam.

“Menjaga keutuhan anggota kelompoknya sampai akhir.”

“Kakak tau kekecawaan utama seorang pemimpin?” Scarlett menundukkan kepalanya, ia memahami arah bicara sang ayah.

“Ketika dia gagal menjaga keutuhan kelompoknya sampai akhir.”

“Tapi dalam keluarga ngga ada akhirkan, kak?” Scarlett menatap ke arah sang ayah.

“Ayo perbaikin semuanya. Berhenti khawatir tentang bunda, and do our best to fix everything. Kita bawa bunda pulang lagi ke kita. Kakak ngga mau ayah jadi pemimpin yang gagal kan?” Scarlett menggeleng cepat membuat Jeno tertawa kecil.

“Kalo gitu sekarang kakak cukup belajar, be a good girl, kalo ada apa apa kakak bisa cerita ke ayah, bunda, atau siapapun yang kakak percaya, kunci dari hubungan yang baik itu komunikasi yang baik kak, jadi jangan mendem semuanya sendiri ya? Ayah bilang gini bukan berarti kaka jadi ngga salah, jadi nanti pas bunda pulang, kakak minta maaf ya sama bunda?” Jeno melihat Scarlett yang hanya terdiam sambil menunduk dan memainkan jarinya sendiri.

“Atau kalau kakak ngga mau—”

“Ngga, Scarlett bukan ngga mau....”

“Tapi Scarlett malu.” Jeno melanjutkan kalimat putrinya membuat Scarlett semakin menunduk.

“Just hug her kak, bunda orangnya pemaaf.”

“Oh atau lebih bagus lagi kalau kakak mau minta maaf sambil meluk bunda. She would be really happy if you do that.”

“Maaf.” Jeno menatap gadis di sampingnya.

“Maaf kakak udah bikin ayah sama bunda kecewa, maaf udah bikin bunda pergi dari rumah.” Gadis itu semakin menundukkan kepalanya, menahan tangis yang ingin keluar detik itu juga.

“Ayah boleh tau kenapa kakak bisa semarah itu sama bunda? Ada alasan lain selain yang udah kakak sebutin kemarin?” Tidak ada jawaban dari Scarlett membuat Jeno menghela nafasnya.

“Yaudah kalau ngga—”

“Ngga, bukan gitu.” Scarlett memotong ucapan sang ayah dengan cepat.

“Trus apa?” Tanya Jeno membuat Scarlett menggigit bibirnya ragu sebelum akhirnya menyerahkan ponselnya pada sang ayah.

“Kenapa?” Tanya Jeno menaikkan alisnya heran, namun hanya dibalas dengan sodoran ponsel oleh Scarlett membuat Jeno akhirnya mengambil benda persegi itu.

“Ayah bisa baca aja disitu, but please promise that you won't do anything about it.”

“Kenapa emang?” jari jeno bergerak untuk membuka ponsel Scarlett yang langsung memunculkan roomchat dengan teman-teman kelasnya di sekolah.

Scarlett memperhatikan raut muka ayahnya yang langsung berubah sesaat melihat isi roomchat tersebut.

Pandangan Scarlet menangkap jari sang ayah yang mencengkram ponselnya dengan erat.

“Kakak kenapa ngga cerita sama ayah?” Tanya Jeno sembari bergerak memeluk Scarlett.

“Kakak kenapa diem aja? They bully you kak. Kenapa kakak ngga cerita apa apa?” Scarlett hanya menundukkan kepalanya tidak dapat menjawab.

“Jadi selama ini kakak belajar buat ngerjain tugas mereka?” Gadis itu hanya diam mengigit bibirnya sebelum Jeno merasakan anggukan di bahunya.

“And your hair ....” Jeno melepas pelukan keduanya dan mengelus rambut Scarlett pelan.

“I don't see it's pretty anymore.”

“I saw it's pretty because I thought you really want it. Kamu percaya diri sama rambut baru kamu. But if your short hair actually giving you the pain, semakin merasa dipojokin, bikin kamu ngga percaya diri, than I have to say it's not pretty anymore.” Terlihat Scarlett sudah mulai berhenti menangis.

“Hari senin ayah ke sekolah biar ayah bicara sama guru kamu,” ucap Jeno membuat Scarlett langsung mengusap air matanya cepat

“No, please don't do that. I'm fine.”

“Fine gimana kak? You gets bullied by your friend, kakak. Ayah ngga mungkin diem aja.”

“Hari senin, ayah tetep ke sekolah kakak.” Scarlett menggeleng cepat dengan tangannya yang memegang lengan Jeno.

“No, please don't. Ayah bilang ke sekolah ngga akan bikin mereka berhenti lakuin itu ke kakak, malah bisa jadi mereka malah ngelakuin hal yang lebih buruk. Just don't ayah.” Jeno pun menatap anaknya dengan prihatin.

“Don't see me like that,” ucap Scarlett membuat Jeno mengucapkan kata maaf sembari mengerjapkan matanya.

“Tapi ayah ngga bisa diem aja. Secepat mungkin kakak pindah ke sekolah lama, semuanya biar ayah urus.”

“What? No! Itu berlebihan. Scarlett ngga perlu sampai pindah sekolah, mereka malah bakal semakin liat Scarlett ngga bisa apa apa tanpa ayah sama bunda.” Jeno menggeleng.

“No, you should. You have to,” ucap Jeno final.

“Ayah,” ucap Scarlett memelas.

“Kak, listen. Dari awal ayah udah nentang kamu untuk sekolah di sana kan? Ayah udah nentang kamu untuk di sana karena kita ngga tau seluk beluk sekolah itu gimana, lingkungannya gimana, dan sebagainya. Tapi kakak ngebujuk ayah dengan bilang kalau dimanapun itu tempatnya pelajaran yang dipelajari akan sama, jadi kakak maunya belajar suasana baru, lingkungan baru, and you will be fine karena menurut kakak dimanapun kakak berada semua akan baik-baik aja karena kakak tau mana yang buruk dan mana yang ngga, you're mature enough to understood the do and don'ts thing in your life and I trust you. Ayah percaya dengan kata kata kakak makanya ayah izinin. Tapi coba liat sekarang? Sesuai ngga sama kata kata kakak waktu itu? Happy ngga kakak di sana?” Scarlett terdiam.

“Dulu ayah ngelarang kamu sekolah di sana bukan karena sekolah itu bukan sekolah terbaik atau gimana kak. Tapi karena asal usulnya yang ayah sama bunda ngga tau itu di dalemnya kayak apa. Lingkungan dan orang orang di sekitar kita itu adalah hal yang paling mempengaruhi perilaku harian kita loh kak. Kakak bisa jadi sangat friendly di lingkungan yang nerima kakak apa adanya, dan kakak juga bisa sangat tertutup di lingkungan yang buat kakak kayak gitu. Jadi dengan lingkungan yang sekarang, menurut ayah mereka sama aja ngancurin kamu pelan pelan, kak. Mungkin kamu ngga sadar, tapi ngedenger kamu nyaris ngatain bunda pake kata itu aja ayah yakin kalau itu terjadi karena banyak temen kamu yang ngatain bunda kayak gitu, jadi pas kamu marah secara automatis kata itu keluar walaupun ayah tau kamu ngga bermaksud. Am I right?” Scarlett menundukkan kepalanya yang berarti iya.

“Kak, kalau sesimple kata 'masa gitu aja ngga bisa' bisa ngejatuhi mental seorang anak, apalagi kalimat-kalimat yang dikeluarin mereka buat kamu, kak?

“Kamu udah hampir dua tahun ngalamin ini dan kamu diem diem aja. Ayah ngga akan biarin kamu ngerasain hal kayak gini lebih lama lagi. Jadi hari senin ayah akan urus kepindahan kamu biar kamu bisa pindah secepat mungkin.” Mendengar itu Scarlett langsung membuang nafasnya pasrah.

“Okay, tapi yah, boleh tolong jangan cerita ke bunda tentang ini? Keep it as our secret, please?” Scarlett menatap Jeno berharap meskipun ia sudah mengetahui jawabannya.

“Of course ngga. Bunda juga harus tau. She is your parent too, jadi bunda harus tau.” Scarlett mendesah khawatir.

Tangan Jeno bergerak ke pucuk kepala Scarlett, mengusapnya dengan lembut.

“It's okay, just make sure kakak ngga akan ngulangin kesalahan yang sama lagi, okay?” Scarlett mengangguk mantap.

“Sini peluk, ayah udah lama ngga meluk kakak,” ucap Jeno sembari memeluk Scarlett.

“Bener ya kata bunda, ayah lebay. Ayah terakhir meluk kakakkan 2 minggu yang lalu,” ucap Scarlett sembari membalas pelukan sang ayah.

“Iya itukan udah lama, biasanya ayah meluk kakak setiap hari.” Jeno tertawa.

“Heran di keluarga ini kenapa cewenya anti sama hal hal yang so sweet sih? Dikit dikit geli, dikit dikit apaan sih.”

“Bukannya anti ayah, tapi ayah itu ih, andaikan kisah hidup keluarga kita dibikin film, pasti 1% genre thriller, 9% genre action, 90% genre family romantis yang lama-lama semuanya bisa berubah jadi 100% genre horor karena ayah yang dikit dikit pengennya mesra mesraan sama bunda, nempelin bunda kemana-mana sampe Aro suka bilang ayah itu kayak qodamnya bunda,” ucap Scarlett membuat Jeno tertawa kencang.

“Bunda terlalu mubazir buat ngga ditempelin,” ucap Jeno membuat Scarlett mendengus malas. Pelukan keduanya pun terlepas.

“Ayah, Scarlett boleh tanya?” Tanya Scarlett tiba tiba membuat Jeno menurunkan tangannya.

“Sure, mau tanya apa?” Terlihat Scarlet yang berfikir sebentar.

“Tentang rencana ayah sama bunda yang waktu itu ayah bilang. You said you guys will leave when the moment has come. Kakak boleh tau kapan dan kemana?” Jeno sedikit tersenyum mendengarnya.

“Kenapa?” Scarlett tidak bisa menjawab.

“Lauterbrunnen, Swiss. Bunda selalu bilang dia pengen habisin hari tua disana. But still have a continent in America as a plan b.” Scarlett membeku. Itu terlalu jauh baginya.

“Kapan?”

“Ketika kakak sama Aro udah bisa biayain hidupnya sendiri, bisa cari kebahagiaannya sendiri. Ketika kakak sama Aro udah ngga butuh ayah sama bunda lagi di hidup kalian. We'll leave,” ucap Jeno membuat Scarlett langsung memeluknya.

“Jangan ....” lirih gadis itu membuat Jeno mengelus surainya lembut.

“Scarlett sama Aro akan selalu butuh ayah sama bunda sampai kapanpun.” Air mata gadis itu mulai menetes setelah membayangkan jika kedua orang tuanya akan benar-benar meninggalkannya suatu hari nanti.

“Kok nangis?” Tanya Jeno setelah merasakan pundaknya terkena tetesan air.

“Jangan tinggalin kakak sama Aro.”

“Itu baru rencana kak.”

“Batalin rencananya.”

“Keputusan ada di bunda. Ayah cuma ikut.” Mendengar itu Scarlett pun langsung merengek, membuat Jeno tertawa.

“Kakak lagi sedih kenapa ayah ketawa?” Tanya gadis itu sedikit kesal. Pasalnya ia benar benar serius tentang tidak mau berpisah dengan orang tuanya, ia tidak dapat membayangkan jika hal itu benar terjadi.

“Kakak ngingetin ayah sama beberapa tahun lalu pas ayah sama bunda mau pisah di Bandara San Fransisco. Kita sama-sama nangis ngga mau pisah. Tapi bedanya, ayah cuma nangis di bandara, dan itu sebentar. Kalau bunda, dia nangis kayak kakak sekarang, nangisnya dari bangun tidur sampe pas kita pisah di bandara.” Jeno tertawa kecil mengingat memori tersebut. Memori yang tidak akan pernah ia lupakan.

“Ayah masalah pisah sama bunda nangis, tapi kenapa masalah pisah sama kakak sama Aro direncanain? Kakak sama Aro ngerepotin ayah ya?” Jeno menggeleng.

“Kakak sama Aro ngga pernah ngerepotin ayah. Ayah udah bilang kan kalau semua hal tentang kalian itu udah jadi kewajiban ayah, inget?” Scarlett mengangguk.

“Kita cuma ngga mau nanti malah ngerepotin kalian nanti. Oneday kalian akan punya kehidupannya sendiri, ayah sama bunda akan ngerepotin kalian semisal kita udah mulai harus bergantung sama orang lain.”

“No, kakak mau kok ngurusin ayah sama bunda kalau udah tua nanti, kakak ngga ngerasa direpotin. Bahkan sekarang ayah sama bunda minta kakak untuk ngurusin kalian, kakak mau. So please don't leave.” Jeno hanya bisa tersenyum mendengarnya.

“Nanti ayah coba omongin sama bunda, ya?” Scarlett hanya bisa pasrah mendengarnya mengingat jika Jeno dan Allison sudah satu suara, maka keputusan itu sudah valid.

“Swiss mahal.”

“Ayah sama bunda ngga akan bisa hidup disana karena ngga ada penghasipan setelah pensiun.

“Kata siapa? Kakak lupa seprepare apa bunda jadi orang?”

“You have to learn germany to get the permission to live there.”

“We know that, that's why we already start learning.”

“Ich hasse dich, wenn du uns verlässt.” [I hate you if you leave us]

“ich liebe dich, egal was.” [I love you no matter what.]

“Kakak sama Aro ngga akan ngurusin atau ngasih uang ke ayah sama bunda kalau kalian pergi.”

“Kan itu emang tujuan kita kak.”

Scarlett membuang nafasnya kasar menandakan ia menyerah membuat Jeno sedikit tertawa dan menggelengkan kepalanya.

“You just love her so much, don't you?” Jeno mengerutkan keningnya heran.

“Why?” Scarlett mengedikkan bahunya cepat dan menatap lurus ke depan.

“You really show to us how you love her so much. You treat her as if bunda adalah sesuatu yang jauh lebih berharga dari apapun, mungkin terdengar berlebihan, but sometimes it's look like you would die for her.” Jeno mengangguk.

“Yes she is.” Jeno memberi jeda pada kalimatnya.

“Bunda terlalu berharga kak. She is not just a wife for me, she can be a friend, a work colleague, a sister, someone who is always willing to hear our story, and more.” Jeno tersenyum ketika otaknya secara automatis menayangkan semua memorynya dengan Allison.

“Ayah kangen banget ya sama bunda?” Pria itu mengangguk.

“Tapi kalau dengan bunda jauh dari kita bisa bikin bunda ngerasa lebih baik, ayah ngga bisa apa apa, ayah ngga bisa maksa bunda untuk pulang. Her happiness is my priority.” Scarlett menundukan kepala, ia merasa bersalah mendengarnya.

“Tapi yaudah sih, ayah sama bunda udah pernah kepisah tujuh tahun tanpa kepastian, jadi kalo pisahnya cuma bentar ngga apa-apa.”

“Tujuh tahun?” tanya Scarlett yang dibalas anggukan.

“Kok bisa? Ayah bisa jauh dari bunda selama tujuh tahun? Wah keajaiban dunia,” ucap Scarlett kagum. Gadis itu tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada ayahnya jika sekarang mereka terpisahkan selama itu.

“It's a long story. Kayaknya kalo mau ceritain itu bakal makan waktu berjam-jam sih, karena kamu pasti penasarannya dari awal, ngga cuma pas bagian kenapa kita pisah, iyakan?” Tanya Jeno.

Mendengar kalimat itu pun Scarlett bukannya menjawab, malah langsung menyamankan duduknya dan menyelipkan rambutnya kebelakang telinga, kemudian menopang dagu sambil menatap sang ayah dengan berbinar.

“I'm all ears now, so?” Jeno tertawa.

“Penasaran banget?” Scarlett mengangguk mantap.

“Kita cerita di dalem aja ya?” Scarlett pun langsung berdiri dan membersihkan bawahannya.

“Kakak masuk duluan nanti ayah nyusul, ayah mau cuci gelas.” Tanpa menjawab Scarlett pun langsung berlari masuk ke dalam rumah.

Happy?” Tanya Axel dengan sarkas sesaat masuk ke kamar milik Allison. Sedangkan yang ditanya? Hanya duduk di pinggir kasur, memberikan tawa kaku dengan kepala yang tertunduk.

Axel, I'll be outside. Allison, I put all your things here, okay,” ucap Regina—kekasih Axel sebelum keluar dari kamar tersebut.

Allison tersenyum tipis, merasa canggung sebab kini dirinya hanya berdua dengan sang ayah yang tengah menatapnya datar.

I'm sorry, Dad.

For what?” Tanya Axel dengan menyingkap kedua tangannya.

You should say it to your husband and family for leaving them without any notice. Not me,” lanjut pria itu membuat Allison bergeming.

What's wrong? Things must be happening in Jakarta, right?

Everything is fine.” Kebohongan Allison yang ditanggapi dengan senyuman remeh Axel.

Your husband and daughter. They don't even know you are here. You rode a horse like crazy, and you scared them. Also, it's not 24 hours yet since I saw you in my neighborhood, but you broke your hand and ribs six times in my life already.

Still want to say nothing happened?” Allison diam meremat jari-jari tangan kanannya.

Axel mengubah posisi berdirinya. Muncul rasa kesal ketika menyadari Allison yang kembali berusaha membohonginya dengan peran yang ia mainkan.

Membohongi semua orang dalam hidupnya adalah salah satu keahlian yang dimiliki Allison. Namun, Axel adalah satu-satunya orang yang tidak pernah berhasil ia bohongi sejak dulu. Sehingga mau tidak mau, Axel akan selalu mengetahui seluruh fakta yang ia sembunyikan.

Let me tell you something,” ucap Axel sambil melipat tangan di depan dadanya.

You are not a kid anymore, Als. You are a mom now, a wife. You are not '15th years old Allison' anymore. You are NOT my 'daddy's girl' anymore. You can't just leave your family like this and come to me when you have problems.

I just ... missed Texas so bad,” bisik wanita itu.

I know. But I also know that is not the cause why you came here now.” Allison diam tidak membalas.

I was going to send you right away to Indonesia but I'll just let you stay here for a week or at least until you can adapt to your situation now, and then you should return to Indonesia,” ucap Axel yang langsung mendapatkan tatapan tidak terima dari putrinya.

Dad—

What? I don't accept any objection.” Axel berbicara dengan mata yang menatap Allison tegas.

Okay, I came here because I was mad at myself. I was sorry. I just want to relax a little bit after my stressful months. You should have understand me, help me, comfort me, giving me some advice, cheering me up not kicking me out,” protes Allison berusaha membujuk agar Axel dapet membiarkannya tinggal di rumah tersebut selama yang ia mau.

You want some advice? Go home.

I'm home.

Go to your family. Your husband and kids. Not me.

Dad, please understand that I only want to blow off steam here. Stop asking me to go back to Indonesia.

And I'm asking you to stop asking me to understand you because I am.

You're not. You don't know how it feels to be blamed for causing so many things. You don't know how it feels when your family got into a fight because of you, and you don't know how it feels when your daughter hates to see you. You just know nothing.

So you said that I still know nothing after over a phase where my 15th years old daughter was screaming because she was tired of herself and her life, and you think when I witnessed my daughter's outburst made me feel happy as if I am breaking a world record?” Allison terdiam.

I know Allison. I am. That's why I want you to return.” Lanjut Axel membuat Allison ingat masa yang dimaksud oleh sang ayah.

Ia ingat saat itu ia harus mulai beradaptasi dengan ketenaran yang dialami dimana disaat yang bersamaan mentalnya masih belum matang untuk menghadapi itu semua. Harus menerima bahwa kini semua berubah, orang-orang yang membencinya mulai bermunculan. Satu langkah ia berjalan, puluhan langkah mengikuti di belakangnya.

Dua tahun terdiam sebelum akhirnya Allison tersadar dan mulai benar-benar berteriak di depan sang ayah jika dia tidak sanggup dengan semua hal yang harus dihadapi dan ia yang mulai membenci dirinya sendiri. Dia benci dan juga tidak mengerti kenapa menjadi terkenal membuatnya dijauhi, dimanfaatkan, bahkan dikhianati oleh teman-teman sekolahnya. Tidak mengerti kenapa orang-orang menghinanya karena segala privilege yang ia miliki dan membuat semua pencapaian yang ia dapat menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Tidak mengerti mengapa para pesaingnya berusaha melukai dirinya di setiap pertandingan membuat Allison remaja merasa jika dirinya tidak layak hidup. Tidak mengerti mengapa ia ditakdirkan untuk menjalani hidup seperti ini dan itu.

Padahal yang ketika itu dirinya ingin lakukan hanyalah satu kegiatan.

Berkuda.

Allison remaja benar-benar tidak peduli dengan uang jutaan dolar yang ia terima setiap menjuarai segala pertandingan yang rutin ia ikuti, Allison remaja tidak peduli dengan segala privilege yang diberikan oleh kota bahkan negaranya karena berhasil membuat pencapaian baru untuk tempat kelahirannya tersebut.

Allison remaja hanya ingin hidup normal dan berkuda.

I felt sorry, Allison. I felt it. Since the day you said a word about your problem, I couldn't stop feeling sorry. I felt it because I am the one who put you in that situation. I am the one who introduces you to that world. I am the one who makes your adolescent phase feel like hell. I was sorry, Als. So sorry.

And also since that day, I can't stop thinking about every 'what if' I actually have and could choose.

What if I never bring you to my meetings abroad and do not introduce you to all my colleagues, especially the racer one? What if I never take you to the horse racing game and just let you hang out with some friends? What if I said no when the first time you said you were going to be a horse racer? What if I am not your dad, so you won't be a Texan and spend all day watching a rodeo or racing game? What if I chose one of the 'what if'? Will my daughter have the ordinary life she wants? Will she have a better life?

What if I, what if her, what if, what if, and other what-ifs keep showing through my head since that day. And I could not stop it for the next-next years. Until I finally saw you have an ordinary life. A life that I never saw from you before you start making some new friends in Indonesia.

So if you think I never experience it. You're mistaken.

Perkataan Axel berhasil membuat Allison benar-benar kehabisan kata.

Axel Andrea. Seorang ayah sekaligus pria pertama yang Allison ketahui tidak pernah marah kepada keluarga atau bahkan sekedar untuk menyampaikan isi hatinya. Kini seakan tengah mengupas seluruh kulitnya secara perlahan. Ikut mengungkap apa yang selama ini ia rasakan.

Still don't want to listen to me?

A month. Just a month, and I'll go.

Keras kepala.

A month?” Axel menatap putrinya tidak percaya.

Als, do I forget to teach you how to deal with your problem? I think I have been pampering you forever until I didn't realize that you are grown as a selfish woman, not an independent one. Selfish. I bet dealing with a colleague is the only thing I have taught you all this time, right?” Axel berbicara dengan sangat sarkas membuat Allison semakin tidak berani menjawab.

In case you forget how to speak English, then I'll say, kamu egois Allison.”

Skakmat.

Axel tidak pernah marah dengan Allison, dan ia sangat jarang berbicara menggunakan bahasa indonesia, hampir tidak pernah. Namun kini pria itu melakukan keduanya yang berarti situasinya cukup serius baginya.

Kalimat Axel benar-benar membuat Allison membeku.

Back then, when you came here alone because you were in a fight with Jeno, I was okay because that was a time when you were a bit sensitive with everything. You were pregnant. That is why I was fine with it. But if you keep repeating it like this, it means you are selfish,” ucap Axel sembari kembali menatap putrinya dengan serius.

Sesuai perkataannya, ini bukan pertama kalinya untuk Allison pergi ke Texas ketika bertengkar dengan Jeno atau siapapun.

Dulu ketika Allison tengah mengandung Scarlett, sempat terjadi perdebatan ringan antara dirinya dengan Jeno. Perdebatan ringan yang membesar karena saat itu Allison sangat sensitif. Hampir serupa dengan hari ini, saat itu Axel yang baru kembali dari Alaska dikejutkan dengan kehadiran Allison yang duduk di ruang tamunya, terdiam memakan buah buahan tanpa barang bawaan.

Namun, saat itu Axel membiarkan Allison karena mengerti keadaannya yang tengah mengandung, meski pria itu tetap menceramahi putrinya karena ternyata sang menantu tidak tau menau tentang kepergian wanita itu membuat mereka semua kelimpungan mengingat Jeno yang saat itu belum pernah mengurus visa Amerikanya. Beruntung saat itu Axel memang ada urusan di Indonesia dalam waktu dekat, membuat Axel harus pergi ke Jakarta satu minggu lebih awal untuk mengantar Allison pulang dua hari setelahnya.

Maybe it is just several times for me to meet Jeno. But based on stories that I've heard, he is always there for you. When you had a business problem, I knew he was there for you. Eve told me you are fine because Jeno is there, with you, consoling you. And now, what do you give him in return? Leave him like this? Maybe Jeno is not related to the problems, but for him, every single problem in his family is also his problem. He feels responsible for his family, and you leave him alone with the whole complication you own when you are the one who should be there.

That's so mean, Als. If I were him, I would absolutely feel so disappointed in you because you can not respect him as your husband. Genuinely, I want to say that he is too good for you. You really don't deserve him.” Axel memberi jeda sebentar melihat Allison yang menggigit bibirnya sembari menundukkan kepala.

If you have a problem, face it, Al. If you feel sorry, say it. Tell them that you are sorry. You are not a kid anymore. You are not someone who needs me to deal with all the problems you have anymore, Allison. You are a grown lady now. I have told you already, right? If you have something that you can not deal with, you can ask someone for help. You have a husband now, you can ask him for help, or else you can barely discuss the problem with him.

Axel dan Allison, keduanya kini terdiam seperti menenangkan pikirannya masing-masing. Allison dengan emosi terhadap dirinya dan Axel yang masih tidak habis pikir dengan wanita di hadapannya.

Do you remember that I've said if life is actually just a cycle? A cycle where the same things happen on repeat to the same or different people,” ucap Axel tiba-tiba.

I've been there once, Allison.

I've been in Jeno position once,” ulang pria itu membuat Allison menatapnya tidak mengerti.

Before we—I and your mom divorced, she did a similar thing like you now. Gone in the morning, can't be contacted, leaving you and me here without explanation. I bet that's the same just like what you did right now, right?

That time, I truly felt so anxious, scared, and worried at the same time, and I was so mad my myself at that moment until I found out that she was actually back in her country. Pretty calm me because I think at least she is alive, she is fine because she is home until three days later, she called me saying that she wants to divorce me for reasons that actually I still can not accept.

That's sucks.” Axel berbicara dengan tenang namun berhasil membuat isi kepala Allison benar-benar kosong.

Pikirannya kosong sebab kisah perpisahan kedua orang tuanya merupakan kisah yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Kisah yang tidak pernah mau ia gali membuatnya lebih santai ketika menggoda Axel dan Kiera ketika dua insan itu bertemu kembali.

Allison dapat merasakan segala emosi Axel yang mulai terkuras karena harus mengungkit masa lalunya demi membujuk agar dirinya mau kembali ke Indonesia.

Pria itu mengatur nafasnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri ketika rasa pusing mulai menyerang kepalanya. Axel kelelahan.

I am sorry if my words hurt you. I just don't want my Son-in-law to come through that kind of time. Maybe you are my biological daughter, but in this case, I'm on your husband's side. So, I only accept you here until you adapt to your condition, according to what he asked. But still no more than two weeks. After that, I beg you to leave,” ucap Axel sebelum keluar dari kamar Allison.

Happy?” Tanya Axel dengan sarkas sesaat sampai di kamar milik Allison. Sedangkan yang ditanya? Hanya memberikan tawa kaku dengan kepala yang tertunduk.

Axel, I'll be outside. Allison, I put all your things here, okay,” ucap Regina—kekasih Axel sebelum keluar dari kamar tersebut.

Allison hanya tersenyum tipis, merasa canggung sebab kini dirinya hanya berdua dengan sang ayah yang tengah menatapnya tajam.

I'm sorry, Dad.

Why are you saying sorry to me?” Tanya Axel dengan menyingkap kedua tangannya.

You should say it to your husband and family for leaving them without a word. Not me,” lanjut pria itu membuat Allison menundukkan kepalanya.

What's wrong? Things must be happening in Jakarta, right?

Everything is fine.” Kebohongan Allison yang ditanggapi dengan senyuman remeh Axel.

Your husband and daughter, they don't even know you are here, you rode a horse like crazy, and you make them scared with you, which is really not you because we all know how much you love them, and it's not 24 hours yet since you arrived in Texas, but you broke your hand and ribs already.” Allison terdiam.

Still want to say nothing happened?” Allison diam meremat jari-jari tangan kanannya.

Axel mengubah posisi berdirinya. Muncul rasa kesal ketika menyadari Allison yang kembali berusaha membohonginya dengan peran yang ia mainkan.

Membohongi semua orang dalam hidupnya adalah salah satu keahlian yang dimiliki Allison. Namun, Axel adalah satu-satunya orang yang tidak pernah berhasil ia bohongi sejak dulu. Sehingga mau tidak mau, Axel akan selalu mengetahui seluruh fakta yang ia sembunyikan.

Let me tell you something,” ucap Axel sambil melipat tangan di depan dadanya.

You are not a kid anymore, Als. You are a mom now, a wife. You are not '15th years old Allison' anymore. You can't just leave your family like this.” Dada Allison terasa sesak mendengarnya. Matanya mengerjap beberapa kali guna menutupi rasa sesak tersebut.

I just ... missed Texas so bad.

I know. But it's not the cause why you came here now.” Allison diam tidak membalas.

I'll let you stay here for a week or at least until you can adapt to your situation now, and then you should return to Indonesia,” ucap Axel yang langsung mendapatkan tatapan tidak terima dari putrinya.

Dad—

What? You don't want to? But you have to.” Axel berbicara dengan mata yang menatap Allison tegas membuat yang ditatap mengerang kesal.

Look,” ucap Axel membuat Allison menatapnya.

Remember when you are 15th? When you suddenly screamed in front of my eyes, saying that you hate your life, you hate yourself. That is our first problem, and what did I do at that time? Am I leaving you alone? Am I being selfish and running away like this?” Tanya Axel membuat Allison terdiam mengingat masa lalunya.

Masa dimana ia harus mulai beradaptasi dengan ketenaran yang dialami pada saat mentalnya belum matang untuk menghadapi itu semua. Harus menerima bahwa kini semua berubah, orang-orang yang membencinya mulai bermunculan. Satu langkah ia berjalan, puluhan langkah mengikuti di belakangnya.

Masa itu, Allison benar benar berteriak di depan sang ayah jika dia membenci dirinya sendiri. Dia benci dan juga tidak mengerti kenapa menjadi terkenal membuatnya dijauhi, dimanfaatkan, bahkan dikhianati oleh teman-teman sekolahnya. Tidak mengerti kenapa orang-orang menghinanya karena segala privilege yang ia miliki dan membuat semua pencapaian yang ia dapat menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Tidak mengerti mengapa para pesaingnya berusaha melukai dirinya di setiap pertandingan membuat Allison remaja merasa jika dirinya tidak layak hidup.

Padahal yang ketika itu dirinya ingin lakukan hanyalah satu kegiatan.

Berkuda.

Allison remaja benar-benar tidak peduli dengan uang jutaan dolar yang ia terima setiap menjuarai segala pertandingan yang rutin ia ikuti, Allison remaja tidak peduli dengan segala privilege yang diberikan oleh kota bahkan negaranya karena berhasil membuat pencapaian baru untuk tempat kelahirannya tersebut.

Allison remaja hanya ingin hidup normal dan berkuda.

Semua ingatan itu seketika membuatnya kacau.

Tell me what I did?” Tanya Axel menyadarkan Allison dari pikirannya.

You ... comforted me, consoled me,” ucap wanita itu dengan suara yang sangat pelan.

Once again, am I running away like this?” Allison menggeleng pelan.

Do I forget to teach you how to deal with your problem? I think I have been pampering you forever until I didn't realize that you are grown as a selfish woman, not an independent one. Selfish. I bet dealing with a colleague is the only thing I have taught you all this time, right?” Axel berbicara dengan sangat sarkas membuat Allison semakin tidak berani menjawab.

In case you forget how to speak English, then I'll say, kamu egois Allison.”

Skakmat.

Axel tidak pernah marah dengan Allison, dan ia sangat jarang berbicara menggunakan bahasa indonesia, hampir tidak pernah. Namun kini pria itu melakukan keduanya yang berarti situasinya cukup serius baginya.

Kalimat Axel benar-benar membuat Allison membeku.

Back then, when you came here alone because you were in a fight with Jeno, I was okay because that was a time when you were a bit sensitive with everything. You were pregnant. That is why I was okay with it. But if you keep repeating it like this, it means you are selfish, Allison,” ucap Axel sembari menatap putrinya dengan amarah.

Amarah karena sesuai perkataannya, ini bukan pertama kalinya untuk Allison pergi ke Texas ketika bertengkar dengan Jeno atau siapapun.

Dulu ketika Allison tengah mengandung Scarlett, sempat terjadi perdebatan ringan antara dirinya dengan Jeno. Perdebatan ringan yang membesar karena saat itu Allison sangat sensitif. Serupa dengan hari ini, saat itu Axel yang baru kembali dari Alaska dikejutkan dengan kehadiran Allison yang duduk di ruang tamunya, terdiam memakan buah buahan tanpa barang bawaan.

Namun, saat itu Axel membiarkan Allison karena mengerti keadaannya yang tengah mengandung, meski pria itu tetap menceramahi putrinya karena ternyata sang menantu tidak tau menau tentang kepergian wanita itu membuat mereka semua kelimpungan mengingat Jeno yang saat itu belum pernah mengurus visa Amerikanya. Beruntung saat itu Axel memang ada urusan di Indonesia dalam waktu dekat, membuatnya Axel harus pergi ke Jakarta untuk mengantar Allison pulang dua hari setelahnya.

Maybe it is just several times for me to meet Jeno. But based on stories that I've heard, he is always there for you. When you had a business problem, I knew he was there for you. Eve told me you are fine because Jeno is there, with you, consoling you. And now, what do you give him in return? Leave him like this? Maybe Jeno is not related to the problems, but for him, every single problem in his family is also his problem. He feels responsible for his family, and you leave him alone with the whole complication you own when you are the one who should be there.

That's so mean, Als. If I were him, I would absolutely feel so disappointed in you because you can not respect him as your husband. Genuinely, I want to say that he is too good for you. You really don't deserve him.” Axel memberi jeda sebentar melihat Allison yang menggigit bibirnya sembari menundukkan kepala.

If you have a problem, face it, Al. If you feel sorry, say it. Tell them that you are sorry. You are not a kid anymore. You are not someone who needs me to deal with all the problems you have any more, Allison. You are a grown lady now. I have told you already, right? If you have something that you can not deal with, you can ask someone for help. You have a husband now, you can ask him for help, or else you can barely discuss the problem with him.

Axel dan Allison, keduanya kini terdiam seperti menenangkan pikirannya masing-masing. Allison dengan emosi terhadap dirinya dan Axel yang masih tidak habis pikir dengan wanita di hadapannya.

I've been there once, Allison,” ucap Axel setelah terdiam lama.

I've been in Jeno position once,” ulang pria itu membuat Allison menatapnya tidak mengerti.

Before we—me and your mom divorced, she did a similar thing like you now. Gone in the morning, can't be contacted, leaving you and me here without explanation. I bet that's the same just like what you did right now, right?

That time, I truly felt so anxious, scared, and worried at the same time, and I was so mad my self at that moment until I found out that she was actually back in her country, and three days later, she called me saying that she is want to divorce with me.

That's sucks.” Axel berbicara dengan tenang namun berhasil membuat isi kepala Allison benar-benar kosong.

Ya, kisah perpisahan kedua orang tuanya merupakan kisah yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Kisah yang tidak pernah mau ia gali membuatnya lebih santai ketika menggoda Axel dan Kiera ketika dua insan itu bertemu kembali.

Allison dapat merasakan Axel yang benar-benar marah saat ini.

Pria itu mengatur nafasnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum kembali berbicara dengan tenang.

I am sorry if my words hurt you. I just don't want my Son-in-law to come through that kind of time. Maybe you are my biological daughter, but in this case, I'm on your husband's side. So, I only accept you here until you adapt to your condition, according to what he asked. But still no more than two weeks. After that, I ask you to leave,” ucap Axel sebelum keluar dari kamar Allison.

Hari kedua dan dirinya masih belum menemukan titik terang dimana sekiranya Allison berada.

Setelah menyelesaikan satu pertemuan dan membatalkan sisa schedulenya hari ini, Jeno kini tengah berdiri di dalam lift gedung tinggi yang bergerak menuju lantai 40, lantai dimana penthouse Keira—ibunda Allison berada.

Penthouse Keira kini menjadi satu-satunya tujuan baginya untuk mencari Allison. Jika ia tidak dapat menemukan Allison di sini, pria itu akan benar-benar putus asa dan hanya dapat berharap agar wanitanya itu tidak pergi ke tempat yang benar-benar ingin ia singkirkan dari pikirannya saat ini.

Ting

Dentingan pintu lift terdengar sebelum terbuka. Kakinya melangkah masuk, matanya menyapu ruangan mencari si pemilik tempat.

“Ibu ada di perpustakaan, Pak,” ucap salah satu pegawai mengarahkannya untuk berjalan menuju pintu yang terletak di paling ujung setelah mengucapkan terima kasih.

Jeno mengetuk pintu putih tersebut beberapa kali sebelum membukanya.

“Mama,” panggil Jeno membuat wanita yang tengah membaca di meja sebrang sana langsung mendongakkan kepala.

Senyum sumringah terpancarkan di wajah wanita itu membuat Jeno ikut tersenyum.

“Jeno? Kok ada di sini? Kamu ngga kerja?”

“Jeno abis meeting di deket sini, Ma. Jadi kepikiran aja untuk mampir. Udah lama juga Jeno ngga mampir.”

Seperti ibu dan anak kandung yang sudah sangat akrab. Keira langsung menghampiri Jeno dan memeluknya sebelum mengkaitkan lengan keduanya, mengajak sang menantu untuk keluar dari ruangan tersebut.

“Kamu sama Allison ya, sibuk banget. Tiap mama tanya ke Aro atau Scarlett pasti jawabannya kalau ngga lagi meeting, lagi keluar kota, atau bahkan keluar negri. Apalagi semenjak Allison main film lagi pasti kalian jadi jarang ketemu ya? Kasian Aro sama Scarlett itu ditinggal terus. Kasian juga mama jadi ngga pernah dijenguk,” ucap wanita itu membuat Jeno tersenyum menutupi rasa bersalah yang tiba-tiba muncul pada dirinya.

“Kamu mau makan atau minum apa? Biar dibikinin sama Faldy.”

“Jeno yang ada aja, Ma.”

“Apa ya yang ada?” Keira menatap sekeliling.

“Atau ini aja, kamu mau cobain macaroni kesukaannya Aro sama Scarlett kalo lagi ke sini? Masih ada ngga ya tapi bahannya, coba mama tanya faldy dulu,” ucap Keira sebelum meninggalkan Jeno duduk di meja makan sendirian.

Sesaat Keira pergi, Jeno langsung menundukkan kepalanya. Banyak rasa yang tiba-tiba timbul dalam dirinya.

Rasa khawatir tentang Allison, rasa bersalah kepada Keira, rasa bersalah kepada anak-anaknya serta rasa kecewa pada dirinya sendiri karena ia tidak pernah menyadari tentang kesibukan dirinya dan Allison selama ini.

“Lagi dibikinin sama Faldy. Setengah jam lagi harusnya selesai. Ini kamu minum dulu,” ucap Keira membuyarkan lamunan Jeno dengan meletakkan segelas air ke hadapannya.

“Jadi gimana? Allison ada di rumah? Apa lagi kerja juga?” Tanya Keira sebagai pembuka perbincangan yang langsung membuat Jeno terdiam.

Keira juga tidak mengetahui keberadaan Allison.

“Allison lagi ke luar kota, Ma. Ada kerjaan. Kemarin baru berangkat, cuma pulangnya kapan belum pasti katanya,” bohong Jeno.

“Yah, mama tuh padahal kangen banget loh sama dia. Mama kira setelah dia pindah ke sini, kita bisa lebih sering ketemu, tapi ternyata sama aja sama pas dia di Bandera.” Jeno tersenyum melihat wanita di hadapannya.

“Mama emang terakhir ketemu sama Allison kapan?”

“Ulang tahun Scarlett, enam bulan lalu ya berarti? Atau tujuh? Ya pokoknya sekitaran itu, abis itu mama ngga pernah ketemu lagi. Tiap mama mau mampir ke rumah kalian juga kalian lagi di luar terus.”

“Ya udah, nanti setelah Allison pulang, Jeno tarik Allison ke sini biar ketemu sama mamanya,” ucap Jeno yang langsung dihadiahi pukulan di bahu oleh Keira.

“Anak mama ngga boleh di tarik-tarik.”

“Iya maksudnya Jeno bawa, Ma,” ucap pria itu membuat keduanya tertawa dan melanjutkan perbincangan selama beberapa waktu kedepan.

Tepat pukul 8 malam, Jeno telah sampai di rumah. Hal pertama yang pria itu lihat ketika membuka pintu adalah kepingan puzzle yang memberantaki seluruh lantai ruang tamu dengan orang yang ia duga sebagai si pelaku tengah duduk di ruang keluarga, menatap serius ponselnya yang menampilkan video game mobil-mobilan.

“Adek main puzzle? Kok ngga diselesaiin? Atau diberesin dulu dek, jangan berantakan gini,” ucap pria itu sembari menggantung kunci mobilnya.

“Ngga tau, Aro pusing. Capek. Nanti aja beresinnya. Bunda kemana?” Tanya Aro membuat pergerakan Jeno yang akan mengambil minum terhenti.

“Bunda belum pulang?” Tanya Jeno yang dibalas gelengan.

“Coba Dek tolong telfonin. Ayah mau mandi dulu sebentar.”

“Aro udah telfonin dari tadi tapi cuma bunyi yang deringan gitu loh, trus mati.”

“Itukan tadi. Telfon lagi, ayah mau mandi,” ucap Jeno yang dibalas dengan dengusan.

“Oh iya, kakak mana?”

“Meditasi di kamar.”

Sesuai dengan permintaan Allison siang tadi, kini Jeno tengah berdiri di tangga. Memperhatikan putrinya yang sedang duduk diam di meja makan.

Dengan membulatkan niatnya untuk segera memperbaiki masalah yang ada, pria itu langsung memasuki ruang makan, menghampiri Scarlett yang tengah menatap kosong meja di hadapannya.

“Masih belum mau bicara sama ayah?” Tanya Jeno membuat Scarlett sadar akan kehadirannya.

“Scarlett tidur dulu,” ucap gadis itu yang langsung berdiri, berusaha menghindar. Namun dengan cepat lengan Jeno lebih dulu bergerak menahannya. Meminta agar Scarlett tetap diam di tempat.

“Kita bicara sekarang. Ini udah beberapa hari, dan keadaannya malah makin buruk. Kita selesaiin sekarang.”

“Ngga disini.”

“Bunda udah tidur, Aro lagi main game pakai headphone di kamarnya. Alesan apa lagi?” Scarlett pun menyerah dan memutuskan untuk menurut pada sang ayah.

“Jadi?” Tanya Jeno ketika keduanya sudah duduk di kursi meja makan.

“Apa?”

“Sekarang Scarlett mau gimana? What do yo want, kak?” Scarlett terdiam.

“Oh, atau at least tell me what was actually happened to you. Kakak ngga mungkin benci bunda tanpa sebab.”

Did someone bully you at school karena bunda?” Scarlett menggeleng.

“Ngga ada apa-apa.”

“Kak, ayah udah nanya ini berulang kali tapi jawaban kakak selalu sama loh, dan jawaban yang ayah dapet ngga pernah sesuai dengan apa yang ayah lihat. Sekarang juga. Setelah kemarin, kamu masih mau ngomong kalau kamu ngga apa-apa. Do you think I believe you? Tell me, Kak. The truth.

“Ngga ada apa-apa.”

“Kak, please. Kasian bunda udah berbulan-bulan kepikiran kakak.”

No one asks her to think of me.”

“Ngga ada yang minta, tapi bunda care sama kakak. She is your mom, ngga peduli ada yang nyuruh atau ngga dia akan selalu peduli sama kakak sampai kapan pun itu.”

Scarlett kembali diam membuat Jeno sedikit frustrasi menghadapinya. Dirinya benar-benar mengharapkan agar putrinya mau membuka suara agar masalahnya dapat selesai dengan cepat, namun sepertinya sang putri berpikir sebaliknya.

“Kak, she is your mom. Ayah nanya bukan untuk judge kakak tentang apa-apa yang kakak bilang kemarin. I just want to hear everything that has happened to you. I just want to listen so we can take care of it together, okay?

“Scarlett udah bilang ngga ada apa-apa, okay? Nothing happened.”

“Stop bilang ngga ada apa-apa karena ayah yakin pasti ada apa-apa. Ngga mungkin Scarlett yang biasanya sopan dan nurut sama bunda jadi kasar kayak kemarin,” ucap Jeno sembari menenangkan emosinya yang kembali muncul setelah mengingat setiap kata yang ia dengar dua hari lalu.

“Kata-kata yang kakak ucapin kemarin itu jahat banget loh, Kak. Kasar.”

Just because she is my mom doesn't mean I can not be harsh to her.

Of course you can't? Sama orang lain aja kakak ngga boleh kasar, apa lagi sama bunda?” Jeno balas bertanya bersamaan dengan alisnya yang terangkat menunjukkan kebingungannya dengan pertanyaan retoris Scarlett barusan.

“Ayah sama bunda ngga pernah ngajarin kakak untuk jadi kasar dan ngga sopan loh. Apalagi sama orang tua.”

“Aro ngga pernah sopan sama ayah, ayah ngga masalah.” Jeno mengerutkan keningnya.

“Kenapa Aro? Kita ngga ada yang lagi bahas Aro.”

“Dari kecil Aro ngga sopan sama ayah, ayah ngga masalah? Padahal dia sering ngatain ayah loh, yah? Dia juga sering ngehina ayah, tapi ayah fine dengan itu. Kenapa pas Scarlett baru ngga sopan sekali udah diceramahin gini? Ngga adil banget,” ucap Scarlett membuat Jeno terdiam.

“Kamu pengen tau kenapa ayah ngga pernah masalah sama semua perkataan Aro?” Jeno balas bertanya meski ia dapat melihat Scarlett yang seperti tak acuh pada percakapan mereka.

“Karena dia cuma kayak gitu sama ayah.”

“Dia cuma gitu sama ayah yang bikin ayah pikir maybe that is his love language for me. Setiap dia ke kantor ayah, he knows his place, he knows the dos and don'ts, dan dia juga selalu minta maaf setiap tau kalau perkataannya dia itu kelewatan. Dari dulu selalu begitu, he treat me like I'm no one sampai ayah tanya ke bunda if I did something wrong. Tapi lama-lama ayah sadar kalau dia begitu cuma sama ayah. Ganti Matcha Latte jadi wasabi juga cuma ke ayah. Kakak sama bunda ngga pernahkan digituin? Dan waktu karyawan ayah ngga sengaja jadi korbannya dia, Aro langsung minta maaf, dia bahkan ngasih uang kompensasi walaupun cuma 10 ribu karena itu uang terakhir yang dia punya. Makanya setiap dia seenaknya sama ayah, I just let him be.

Whatever,” ucap Scarlett seakan tidak peduli dengan penjelasan sang ayah barusan. Gadis itu kembali beranjak dari duduknya namun lengan Jeno kembali menahan pergerakannya.

“Kak.” Jeno berbicara dengan tegas membuat Scarlett kembali duduk.

What? Apalagi ayah? Udah kan? Scarlett ngga boleh kasar sama semua orang, apalagi bunda. Okay. Selesai.” Jeno menatap Scarlett tidak percaya.

“Kak, are you being serious? Ayah beneran heran deh. Kakak lagi kenapa sih? Masa hal se-basic care of each other, atau sopan sama bunda aja masih dipertanyain? Ini bunda loh kak? Bunda. Woman who gave birth of you, who take care of you until you are able to sit here, in front of me. Masa kayak gitu aja masih dipertanyain?”

Who gave birth of me when I am never even willing to be born or ask for it,” bisik Scarlett pelan yang sayangnya masih terdengar jelas di telinga sang ayah.

Detik itu pula genggaman tangan Jeno pada lengan Scarlett melemah. Lisannya pun seketika kehabisan kata untuk ia ucap.

Actually ... ayah cuma berusaha untuk perhatian sama kakak.”

“Ayah cuma mau tau kakak lagi kenapa karena beberapa bulan terakhir sikap kakak udah bikin ayah sama bunda khawatir. We are just trying to help you, Kak. You don't have to say something like that,“ucap pria itu sedikit berbisik.

Kepalanya memunculkan banyak pertanyaan mengenai putrinya saat ini. Apa yang terjadi? Siapa yang merubahnya? Kesalahan apa yang secara tidak sadar ia lakukan? Dan masih banyak lagi.

Sejujurnya bila ditanya, Jeno akan dengan lantang mengatakan kalau ia benar-benar kecewa dengan putrinya. Memang sejak awal Jeno selalu mempersiapkan diri jikalau anaknya mengalami perubahan yang tidak pernah ia bayangkan. Namun sepertinya, sampai kapanpun ia tidak akan pernah siap jika hal tersebut terjadi.

Dengan menarik nafasnya pelan, Jeno berusaha menenangkan dirinya. Bibirnya ia kulum dan matanya yang diam menatap kosong meja di hadapannya.

Satu hal yang ia sadari jika saat ini sebenarnya sudah tidak ada lagi yang bisa dibicarakan oleh keduanya selama Scarlettnya sendiri yang masih tidak memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cepat.

“Tapi kalau ngomongin ngga mau di lahirin ….” Jeno menggantungkan kalimatnya. Dirinya benar-benar kehabisan kata. Otaknya berkerja keras mencari kalimat maupun kata yang setidaknya dapat mempertahankan perbincangan mereka yang tidak ingin ia akhiri.

“Kayaknya semua orang kalau ditanya kayak gitu, pasti banyak yang akan bilang ngga mau juga deh kak?”

“Soalnya ngga cuma kakak, ayah juga dulu kalau ditanya mau atau ngga nya dilahirin, pasti ayah juga jawabnya ngga mau. Harus pusing ngerjain tugas, dapet tekanan kanan-kiri pas kuliah, pas udah lulus harus dealing dengan banyak orang, harus ngehabisin waktu seharian dari pagi sampai malam di depan laptop dan tumpukan berkas buat nyari uang yang hasilnya bahkan ngga bisa ayah nikmatin cuma untuk diri sendiri. Enakan kalau kita ngga lahir kan kak kalau kayak gitu?

Bunda juga kalau ditanya, pasti bakal bilangnya ngga mau, kak. Harus baik sama dunia disaat dunianya kadang jahat sama dia, harus lahir sebagai perempuan yang ngerasain sakitnya menstruasi, ngelahirin, dan menyusui, harus nunda atau bahkan berhenti ngelakuin semua hal yang dia suka demi bayinya yang selalu dia puji.”

“Kalau kita bicara tentang ngga ada yang minta ayah sama bunda untuk perhatian sama kakak dan Aro, bahkan nanya kenapa kita mau lakuin itu semua untuk kakak sama Aro padahal ngga ada satupun dari kalian yang minta. Ayah akan bilang karena kita sadar, Kak. Kita sadar kakak maupun Aro lahir karena kita, kalian ngga minta, tapi ayah sama bunda yang bikin kalian harus hadir di dunia. Kita sadar kak, dan kita mau tanggung jawab untuk itu.

Lalu kalau kakak juga mau ngulik lagi sampai mempertanyakan kenapa ayah sama bunda bikin kalian berdua ada, jawaban dari ayah karena kita siap, Kak. Financial and mentally, ayah sama bunda siap. Jawaban dari bunda? Karena dia punya sesuatu yang menurut dia special dalam dirinya, ngga semua orang punya, dan dia mau itu tergunakan sebaik-baiknya. Karena bunda punya rahim kak. That's what she said to me ketika kita diskusi tentang anak sebelum kita menikah.

And being a mom, having a little happy family is one of her dreams since she was little.

Trus kalau kakak mau nanya lagi kenapa anak itu harus kakak, kita akan bilang ngga tau, kak. Kenapa Scarlett yang jadi anak dari seorang Allison Andrea dan Jeno Argasatya? Kita ngga tau.

Semua udah ditentuin sejak awal. Kakak dan Aro yang ngga bisa nentuin mau lahir di keluarga mana, ayah dan bunda yang juga ngga bisa milih anak nya mau siapa, bentuknya gimana, sifatnya kayak apa. Sejak awal, yang bisa kita tentuin cuma nama kalian dan komitmen kita untuk kalian itu apa. Scarletta Arthemis dan Althero Kendrick, ayah sama bunda berkomitmen untuk menjadikan kalian anak yang baik hati, berperasaan, bermoral, berpendidikan, dan bertanggung jawab. Bagaimanapun wujud kalian ketika lahir, ayah sama bunda udah janji untuk sayang sama kalian, jagain kalian, bertanggung jawab sama kalian sampai nanti kalian bisa hidup sendiri. Cuma itu yang kita tentuin sejak awal. Sisanya? Samar.

Jadi sekarang ayah cuma mau minta tolong sama kakak untuk jangan pernah jadikan kalimat Scarlett yang ngga minta dilahirin itu sebagai kalimat pembelaan Scarlett untuk ngelakuin semua hal semau Scarlett. Tapi biarin kalimat itu jadi salah satu alasan kenapa ayah sama bunda ngerelaiin sisa hidup kami untuk kalian.

Kelahiran, kehidupan dan kematian, semuanya cuma siklus, Kak. Siklus yang ngga akan berhenti sampai kapanpun. Siklus yang ngga akan ada jawabannya kalau kakak nanya kenapa itu terjadi.

Ayah ngga minta kakak untuk balas budi sama bunda karena udah ngerawat kakak sampai jadi kayak sekarang. Ayah juga ngga minta kakak untuk balas budi sama ayah karena udah biayain hidup dan kebutuhan kakak dari lahir sampai sekarang. Itu udah jadi tugas kami kak. Ayah sama bunda juga ngga minta kamu sama Aro untuk rawat kami ketika usia kami udah sangat lanjut, karena bukan itu tujuan kami untuk membuat kalian hidup di dunia ini.” Jeno terdiam membiarkan suasana di ruang itu menjadi sangat kosong untuk beberapa saat.

“Ayah sama bunda minta maaf kak kalau ternyata semua keputusan yang kami ambil selama ini udah bikin kakak tertekan. Kami minta maaf. Ayah tau ini ngga bisa dijadiin alasan. But still, I have to say that this is our first time in our life to be a parent. Our first time to rise a teenager, a child. Kita belum ada pengalaman sebelumnya. Semua keputusan yang kita ambil untuk kakak adalah keputusan yang kita buat berdasarkan diskusi panjang mengenai baik buruk untuk kedepannya gimana. Semuanya masih berdasarkan asumsi. Kita ngga tau mana yang benar dan salah setiap mengambil suatu keputusan makanya apa yang kita pilih adalah yang menurut kita itu terbaik. Bukan terbenar.

Termasuk bunda yang balik jadi aktris, I should be the one who take the blame karena ayah yang nyuruh bunda untuk balik jadi aktris, ayah yang ngeyakinin bunda kalau kita ngga akan kenapa-kenapa karena itu yang selalu jadi kekhawatiran dia sejak awal. Ayah yang ngeyakinin bunda kalau kita ngga ada yang masalah semisal bunda yakin mau jadi aktris lagi karena ayah pikir ngga ada salahnya untuk kita kasih kesempatan bunda sekali lagi untuk lakuin hal yang paling dia suka dari dulu, apalagi Scarlett sama Aro udah besar, I thought both of you would understand.

Tapi kalau ternyata perkiraan ayah sama bunda salah, dan kakak merasa ngga cocok, terbebani, ngga nyaman ataupun keberatan dengan keputusan yang ayah sama bunda pilih untuk kakak, please tell us, kak. Please let us know. Kalau kakak keberatan dengan pekerjaan kita, pekerjaan bunda, please let us know. Let her know. Nanti kita cari jalan terbaiknya gimana. Semisal memang harus berhenti, kita akan berhenti. Kalau kakak ngga ngerti kenapa harus A kenapa harus B, you can ask us. We always decide everything by a reason, jadi kakak bisa tanya dan kita akan jawab sebisa kita untuk bikin kakak ngerti.

It's okay kalau kakak mau sampaiin perasaan kakak mengenai semuanya dengan emosi, tapi tolong tetap pada batasannya karena ayah dan bunda cuma minta satu kak.

Please.

Please respect us as your parent.

Hargai kami sebagai orang tua kak, tolong. Se-ngga sukanya kakak sama bunda please respect her, kak.

One day you will be a mom too, atau kalau kamu ngga mau nikah dan punya anak, kamu tetep akan terus punya perasaan selayaknya seorang ibu, kak, karena bagaimanapun kamu itu seorang perempuan. Mungkin ngga sekarang, tapi ada saatnya kamu paham tentang perasaan-perasaan itu. Atau mungkin kamu biasa coba tumbuhin rasa itu sekarang.

Rasa dimana kamu dibenci oleh anak yang kamu sayang dengan sepenuh hati tanpa tau alasannya apa dan ketika ditanya penyebabnya, anak kamu malah bilang kalau dia ngga mau dilahirkan.” Ada senyuman paksa yang terlukis di wajah Jeno ketika pria itu menundukkan kepalanya membuat Scarlett diam tidak berkutik.

“Ayah ngga bisa ngebayangin sekecewa apa bunda kalau dia denger kalimat kamu tentang bunda dari kemarin.”

You dissapointed us, kak. Ayah kecewa sama kakak,” ucap Jeno sebelum bangkit dari duduknya.

“Oh dan masalah kakak yang selalu muak karena harus keinget semua kejadian buruk setiap kakak liat bunda. Kakak ngga usah khawatir. Kakak ngga usah repot-repot ngejauhin bunda. Karena kita yang akan pergi kak.”

Just be patient for a while because we'll leave when the moment is right,” ucap Jeno sebelum meninggalkan Scarlett yang masih diam mematung di tempatnya.

CW// Harshwords

Terhitung sudah hampir satu minggu sejak Scarlett benar-benar menghindari Allison entah apa alasannya.

Kini seluruh anggota keluarga tengah berkumpul di meja makan. Melakukan kegiatan rutin mereka dulu—makan malam bersama dengan anggota yang lengkap—sebab hari ini Allison yang ingin membagikan kebahagiaannya dengan memasak makanan dengan jumlah yang cukup banyak.

So ... How is your day kids? It's been a long time sejak kita bisa makan malam dan ngobrol like this,” ucap Allison membuka perbincangan dengan ceria membuat dua laki-laki di dekatnya ikut tersenyum lebar.

Pandangannya kemudian teralih melihat gadis di sebrangnya yang hanya terdiam dengan wajah datar.

How are you, Kak? Bunda udah lama juga ngga liat kakak,” ucap Allison sebelum menyuap santapannya ke dalam mulut.

“Emang bunda terakhir liat kakak kapan? Aro sering perasaan. Eh tapi ya, Bun, Aro ada cerita,” ucap si bungsu tanpa menunggu jawaban Allison

“Bunda harus tau ya tadi pas physics, Aro hampiiiiiiir baku hantam sama gurunya.”

“Telen dulu, Dek.”

“Ck, ayah jangan manggil Aro adek sih,” ucap anak itu kesal sebelum akhirnya tetap melanjutkan cerita.

“Gimana ya, Bun? Aro tuh dari kemaren setiap itu selalu dipanggil ke depan terus sampe Aro suka ngira gurunya itu nge-fans sama Aro. Dikit-dikit Aro, apa-apa Aro, dari 25 murid di kelas, yang dipanggil ke depan buat ngerjain soal atau ngejelasin materi itu pasti Aro.” Allison tertawa mendengar kekesalan Aro.

“Trus kenapa hampir baku hantam?”

“Nih ya, Yah. Bayangin aja tadi itu Aro udah ngerjain soal yang dia tulis di papan tulis, terus udah Aro jelasin juga, cuma ....” Aro berbicara panjang, menceritakan pengalamannya dengan berbagai emosi dalam setiap kalimat yang ia ucap membuat Jeno dan Allison hanya tertawa mendengarnya.

“Tapi jadinya ngga berantemkan?” Tanya Allison setelah sang putra menyelesaikan ceritanya.

“Ngga lah, gitu-gitu juga dia gurunya Aro, Aro cuma kesel dendam dalam hati doang, tapi abis itu fine lagi paling,” balas anak itu santai.

Usai mendengar cerita si bungsu, kini perhatian Allison kembali teralih pada Scarlett yang sedari tadi hanya diam terfokus pada makanannya.

Entah apa yang tengah terjadi dengan gadis itu, namun sudah beberapa hari ini memang Scarlett lebih diam dari sebelumnya. Gadis itu juga terlihat menghindari orang-orang di rumah tersebut membuat rasa senang serta antusias menguasai Allison sesaat Jeno mengatakan jika sang putri akan ikut makan malam bersama mereka hari ini.

“Kalau kakak hari ini ada cerita apa?” Tanya Allison dengan lembut yang sayangnya wanita itu tidak mendapatkan balasan apa-apa dari Scarlett. Gadis itu hanya menggeleng kecil seperti biasa jika di depan sang ayah.

“Kakak bundanya nanya loh,” tegur Jeno, bermaksud untuk memancing agar putrinya mau kembali berbicara dengan Allison.

“Ngga ada apa-apa,” singkatnya yang entah mengapa langsung membuat suasana meja makan tersebut menjadi hening dan sedikit canggung.

Cukup lama suasana canggung melanda, hingga beberapa sudah hampir selesai menyantap habis makanan di hadapannya.

“Umm ... Bunda tadi bikin pudding, ada yang mau?” Tanya Allison berusaha mengembalikan suasana.

“Puding kayak biasa kan?” Allison mengangguk antusias.

“Aro mau!”

“Aku mau!” Sahut Aro dan Jeno bersamaan.

Okay, kakak juga mau?” Scarlett menggeleng kecil, bahkan tidak terlihat jika ia menggeleng.

“Atau kita ada ice cream, kakak mau?” Scarlett menggeleng lagi.

“Atau kakak mau apa? Ada jus, minuman dingin, soda, trus minuman yang kayak slurpee gitu bunda bikin juga tadi, and I think it is fit your taste which is you are going to love it so much. Trus ada apa ya? Nanti bunda ambilin. Atau kalau yang kakak mau ng—”

“Scarlett ngga mau apa-apa BUNDA!” Bentak gadis itu sembari menyentakkan sendoknya membuat semuanya terkejut.

“Kak?” ucap Jeno sedikit bertanya membuat gadis di hadapannya itu langsung beranjak dari duduknya, merapikan alat makannya sebelum masuk ke kamar diikuti dengan suara bantingan pintu yang keras.

Kebahagiaan yang sedari tadi menguasai dirinya perlahan menghilang begitu saja. Dibentak dan menerima suara bantingan pintu dari putrinya tidak pernah terlintas dalam pikiran Allison itu akan terjadi.

“Puding aku taruh di kamar aja ya, aku samperin kakak dulu, piringnya biarin aja, nanti aku yang beresin,” ucap Jeno sambil mengusap punggung Allison sebelum berjalan menuju kamar Scarlett.


Di dalam kamar Scarlett, terdengar beberapa kali suara pintu diketuk dan beberapakali pula nama sang pemilik kamar di panggil meski tidak ada jawaban.

“Kak? Ayah masuk, ya?” Ucap Jeno yang meminta izin sebelum pintu kamar tersebut terbuka.

“Kak?” Panggil pria itu sembari menutup rapat pintu kamar dan menghampiri anak gadisnya yang berada di balik selimut.

Jeno mendudukkan dirinya di samping punggung Scarlett. Tangannya bergerak mengusap pucuk kepala Scarlett yang tidak tertutup selimut.

Are you okay, Kak? Lagi ada masalah sama bunda?” Tanya Jeno dengan lembut.

Tidak ada reaksi yang didapatkan membuat Jeno secara perlahan menarik selimut yang menutupi Scarlett demi dapat membantunya untuk berkomunikasi dengan putrinya lebih jelas meskipun kemudian gadis itu kembali menutup wajahnya dengan bantal.

“Kakak, ayah nanya. Kakak ada masalah sama bunda? Atau lagi ada masalah di sekolah?” Gadis itu menggeleng.

“Terus?” Tanya Jeno yang masih dibalas dengan gelengan.

“Kakak kalau ditanya jawab dong. Hari ini ada apa? Atau ada yang mau diceritain sama ayah ngga? Ngga harus tentang hari ini ngga apa-apa. Mungkin kakak mau cerita tentang kemarin, atau kemarinnya lagi, atau kapan gitu? Udah lama ayah ngga denger cerita kakak.”

“Ngga ada apa-apa.”

“Sekolah kakak gimana? Ada perbaikan lagi ngga kayak waktu itu?”

Terdengar suara helaan nafas yang keluar dari mulut Jeno sebelum pria itu lanjut bicara.

“Kak, kalau ada masalah itu diceritain. Jangan dipendem. Nanti sakit. Udah berkali-kali ayah tanya kakak lagi ada masalah apa dan jawaban kakak selalu sama.” Scarlett hanya terdiam mendengarnya.

“Sekali lagi ayah tanya. Lagi ada yang bikin kakak marah?” Tetap tidak ada jawaban.

“Kak, kalau ayah nanya tolong dijawab dong.” Gadis itu masih terdiam.

“Kak?” Panggil pria itu sekali lagi.

Kesabarannya yang mulai menipis membuat pria itu langsung berdiri dan mengusak wajahnya kasar. Butuh beberapa detik hingga akhirnya Jeno memutuskan untuk langsung berbicara mengenai inti masalah yang ingin ia selesaikan.

“Kak, sebenernya ayah ngga mau maksa kakak untuk cerita. Tapi ayah rasa kamu udah terlalu lama memperlakukan bunda kayak gini.” Ada jeda lama sebelum Jeno melanjutkan kalimatnya.

“Udah tiga hari loh kamu ngehindarin bunda, dan udah berbulan-bulan kamu nyuekin bunda. Ayah sama bunda diem aja bukannya karena ngga tau, tapi kita pikir hari-hari kamu emang lagi buruk, atau ini lagi masa pubertas kamu dan kamu butuh waktu sendiri, makanya kita diemin. Tapi ngeliat kamu tadi tiba-tiba bentak bunda dan banting pintu kayak gitu, menurut ayah itu udah kelewatan.”

“Scarlett ngantuk.” Satu kalimat menyebalkan dari mulut Scarlett yang berhasil memperburuk suasana di antara keduanya secara perlahan.

“Ayah masih ngomong.” Tangan Jeno menarik bantal yang menutupi wajah Scarlett dan menjauhkannya dari gadis itu, begitu juga dengan selimut yang menutupi kaki Scarlett membuat si sulung tidak memiliki tempat persembunyian saat ini.

“Scarlett ngantuk.”

“Scarlett jangan kayak gini. Ayah sama bunda ngga pernah ngajarin kamu untuk punya sikap kayak gini.”

“Scarlett ngantuk,” ucap gadis itu sembari kembali ingin mengambil bantalnya yang sayangnya ditahan oleh sang ayah.

“Kak?”

“Scarlett ngantuk, Scarlett mau tidur, Ayah kalau mau disini jangan berisik.”

No.”

“Itu kaki kamu kenapa?” Tanya Jeno setelah tidak sengaja melihat adanya luka di betis gadis itu yang terpampang karena celana panjangnya yang tersingkap.

Scarlett sempat mematung terkejut namun dengan segera langsung bangkit untuk mengambil selimutnya dan menutupi kakinya setelah menepis tangan sang ayah yang menahan lengannya.

“Kak, jangan bikin ayah marah.” Jeno berbicara dengan nada yang mulai serius dengan tangan yang kembali menahan Scarlett untuk tetap terduduk.

“Kakak ngga ngapa-ngapain, kenapa ayah marah?” Entah keberanian darimana ia dapatkan hingga bisa menjawab ucapan sang ayah seperti itu.

Jeno melepaskan cengkramannya pada lengan Scarlett dan kembali mengusak wajahnya kasar. Kesabarannya habis, namun sekeras mungkin ia berusaha tenang.

“Kak, please, jangan kayak gini. Ayah ataupun bunda ngga pernah ngajarin kakak untuk jadi ngga sopan. Ayah masih mau ngomong.”

“Kakak udah bilang kakak ngantuk. Sejak kapan ngantuk itu ngga sopan?”

“Kak!” Gertak Jeno dengan tangan yang terkepal kuat.

Gertakan Jeno seketika membuat Scarlett sedikit tersadar. Bukan ini yang ia mau. Ia hanya ingin menghindari pertanyaan, bukan menimbulkan peperangan antara dirinya dan sang ayah.

Fine. Ayah mau ngomong apa?” Tanya Scarlett yang akhirnya memutuskan ikut berdiri di hadapan Jeno.

“Kakak lagi ada masalah?” Tanya Jeno sekali lagi namun tidak dijawab oleh Scarlett karena gadis itu yang malah memutuskan untuk membuang muka.

Okay kalau ngga mau jawab itu. Tapi jawab ayah karena ayah berhak tau. Itu kakinya kenapa?”

“Kena knalpot.”

“Dimana? Kok ayah ngga tau? Kapan kenanya?”

“Waktu itu di sekolah.”

“Kok bisa kena knalpot?” Scarlett kembali diam membuat Jeno membuang nafasnya kasar.

“Udah di obatin?”

“Udah.”

“Pake apa? Ayah mau liat obatnya,” pinta Jeno membuat Scarlett berjalan mengambil plastik putih berisi obat luka bakar miliknya yang ada di dalam tas sekolah dan menyerahkannya kepada sang ayah.

“Nanti ayah ganti uang obatnya,” ucap pria itu sembari meletakkan obat tersebut di atas nakas yang terletak di belakang Scarlett.

“Sekarang jawab ayah. Kakak lagi ada masalah apa sama bunda?” Tanya Jeno dengan tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana.

I hate her,” ungkap gadis itu dengan jujur pada akhirnya.

“Kenapa?” Scarlett tidak menjawab.

“Jawab ayah.”

“Kenapa ayah penasaran?”

“Ya soalnya sikap kamu ngga wajar, kak? Kamu tiba-tiba jadi kayak ngga betah di rumah, kamu kadang jadi gampang marah sama Aro, dan kamu jadi ngga sopan kayak gini. Ayah perlu tau kamu kenapa.”

I just answered your question as you requested. Apa yang ngga sopan coba?” Bisik Scarlett membuat Jeno menatapnya sedikit tidak percaya.

“Susah banget ya kak kayaknya jawab kenapa doang? Ayah cuma nanya alesan loh, Kak? Pertanyaannya cuma satu dan kakak harusnya udah tau jawabannya. Jadi ngga perlu muter-muter.” Scarlett membuang muka, menatap ke segela arah selain arah dimana sang ayah berdiri.

“Kak, ini kalau kakak diem terus, kita ngga akan ada yang ngerti masalahnya apa. Nyimpen rasa marah terlalu lama juga ngga bagus, Kak. Kakak tinggal jawab pertanyaan ayah biar kakak lega, kita semua lega, dan masalah selesai. Jangan memperburuk keadaan dengan kakak kayak gini.”

That bitch is the one who make things worst. Kenapa jadi kayak semuanya salah Scarlett,” bisik gadis itu tanpa sadar membuat Jeno langsung menatapnya tajam.

“Ngomong apa kamu barusan?”

“Ngga ngomong apa-apa,” balas Scarlett pelan dengan kepala yang tertunduk dan tangan yang mengepal kencang di samping kedua kakinya.

“Hei, saya lagi bicara serius sama kamu. Lihat saya.” Jeno mengarahkan wajah Scarlett dengan paksa untuk menatap lurus ke arah dirinya.

Entah amarah siapa yang kini lebih mendominasi, Scarletta yang sebenarnya sejak awal memang tengah dikuasai oleh emosi atau Jeno yang baru benar-benar terbakar setelah mendengar wanitanya disebut dengan kata yang tidak pantas oleh putrinya sendiri.

Namun yang pasti kedua orang itu saat ini dapat meledak hilang kendali kapanpun itu.

“Saya cuma nanya kamu ada masalah apa sekarang. Saya ngga butuh kata-kata kasar kamu untuk istri saya. Selagi saya masih bisa diajak bicara, saya tanya sekali lagi. Kamu lagi ada masalah apa sama bunda?”

Scarlett yang pada dasarnya menghindari pertanyaan tersebut langsung terdiam sebentar sebelum akhirnya matanya mulai berani menatap mata pria di hadapannya.

“Kenapa ya ayah penasaran banget? Why do you care so much about her, ayah? I mean don't you feel tired? She cheate—

“SCARLETTA!”

“Ngga bisa kamu tinggal jawab kenapa jadi begini? Pertanyaan ayah simple, loh? Ayah cuma tanya kenapa kamu jadi begini!”

“YA SOALNYA SCARLETT CAPEK!”

“AYAH JUGA CAPEK KALAU KAMU GINI!”

“SCARLETT CAPEK SAMA BUNDA!”

Suara keduanya saling bersahutan dengan kencang tanpa menunggu lawan bicara selesai berbicara membuat kini keduanya terdiam.

“Emang ayah ngga capek gitu?” Lanjut gadis itu dengan nafas yang mulai memburu.

“Scarlett aja capek banget, loh? I feel so tired karena harus kena efek buruk dari apa-apa yang bunda lakuin. Scarlett beneran udah capek. Scarlett udah muak sama itu semua. Udah muak sama semua sensasi yang bunda bikin, udah muak sama apa-apa yang disebabin sama bunda, udah MUAK sama bunda!”

Jeno terdiam dengan tangan yang mengepal kencang dalam singkapan tangannya.

“Kalau ayah tau, sekolah itu jadi nyebelin banget gara-gara bunda. Kalau aja waktu itu bunda ngga jemput kakak, kalau aja bunda bukan artis, kalau aja SHE IS NOT AMERICAN! I WOULD NOT BE LIKE THIS in the first place.”

Entah berapa banyak emosi yang gadis itu pendam, namun yang pasti semua telah menumpuk sejak lama menyebabkan setiap kata yang ia katakan mulai bergerak dengan sangat cepat secara perlahan.

She is the one who makes my life more difficult, ayah. She is the one who makes my school life REALLY SUCK! Dan itu semua ya karena she is Allison Andrea. Everything has to turn like this because SHE IS ALLISON ANDREA! I really hate the fact that my mom is an american celebrity, I really hate the fact that my mom has a dark brown hair, I REALLY HATE THE FACT THAT MY MOM IS FAMOUS, I REALLY HATE THE FACT THAT MY MOM IS RICH, I REALLY HATE THE FACT THAT SHE IS YOUR WIFE, I REALLY HATE EVERY LITTLE THING ABOUT HER, AND I REALLY FUCKING HATE THAT SHE IS MY FUCKING. BIOLOGICAL. MOTHER!*” Jeno terkejut mendengar setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu. Sangat.

Jika ditanya mengenai keadaan emosinya saat ini, maka jawabannya adalah berantakan. Saat ini semua tercampur menjadi satu di benaknya.

Marah? Tentu.

Kecewa? Tidak perlu ditanya.

Tapi mendengar setiap kalimat dan intonasi yang diberikan sang putri membuat Jeno sadar jika gadis di hadapannya ini perlu diberi perhatian dan pengertian lebih, dan disaat seperti ini ia perlu menanganinya dengan kepala dingin.

Seluruh amarah yang ia rasakan tadi juga seketika meluruh dan berubah menjadi rasa sakit. Sangat sakit untuk melihat dan mengetahui keadaan putrinya saat ini.

Lalu jika ada satu kata yang diperlukan untuk mendeskripsikan keadaan Scarlett sekarang, maka kata itu adalah,

Menggila.

Entah apa yang telah dialami gadis itu sebenarnya, namun Jeno dapat melihat bahwa sang putri benar-benar tidak terkontrol saat ini membuatnya memaksa untuk sadar kalau ia tidak dapat ikut meledak seperti yang putrinya lakukan.

Tangan Jeno mulai mengepal erat. Sekuat tenaga ia berusaha menetralkan seluruh emosinya, terutama ketika melihat tangis Scarlett yang tiba-tiba memecah seakan gadis itu tengah meluapkan semua yang ia pendam selama beberapa waktu terakhir.

I hate that I am a mixblood because of her, Ayah. I hate it so much when everyone looks down on me because Allison Andrea is my mom. I hate it when everyone starts to compare me with her. I hate when everyone treats me dirty because of her. I hate everything about her. It is—” Scarlett mengepalkan tangannya dengan erat dengan harap ada sesuatu yang dapat ia pukul saat ini.

Suffocate me, Ayah. Really. Scarlett beneran muak ketika harus ngeliat bunda dan semua ingatan itu mulai muncul. Scarlett capek. Everything in my life is sucks because of her. Aku benci semua hal yang berkaitan sama bunda. I hate her. I really do.” Final Scarlett sebelum jatuh terduduk di atas kasurnya dengan tangisan yang belum berhenti.

Jeno yang melihat keadaan si sulung saat ini yang seperti tidak terkontrol pun perlahan berjalan mundur dengan kepala yang sedikit demi sedikit tertunduk.

Semua benar-benar berantakan.

Talk to me later. Kita bicara lagi pas emosi kamu udah lebih tenang,” ucap pria itu sebelum melangkahkan kakinya keluar dari kamar tersebut.

“Hai, bangun jam berapa? Udah sehat?” Sapa pria yang baru saja memasuki ruang makan.

“Semalam dokter udah ngomong di depan mata kamu ya kalau aku udah sehat dan BOLEH kerja,” ucap wanita itu dengan kesal membuat Jeno yang ada di belakangnya diam-diam tertawa.

Semalam karena mulai pusing dengan perdebatan panjang antara dirinya dan Jeno yang seperti tidak menemukan titik terang membuat Allison langsung memanggil dokter pribadinya meski waktu telah menunjukkan pukul 9 malam.

Jeno yang awalnya bersikeras kalau Allison masih sakit pun akhirnya terdiam setelah mendengarkan penjelasan sang dokter kalau istrinya kini sudah dalam keadaan baik. Sedangkan Allison yang sejak awal memang merasa baik-baik saja pun langsung mendeklarasikan kemenangannya detik itu juga.

“Ada yang bisa aku bantu ngga?”

Almost done actually, tapi mungkin kamu bisa tolong rapihin piring di meja?” Usul Allison menjadi penutup percakapan keduanya karena Jeno yang langsung menjalankan tugasnya tanpa menjawab.

Jeno yang sudah lebih dulu menyelesaikannya memutuskan untuk diam berdiri dengan siku yang bertumpu pada sandaran kursi, memperhatikan Allison yang masih sibuk merapihkan hasil masakannya sampai akhirnya ia teringat sesuatu.

Ada yang ingin ia tanyakan ke Allison. Pertanyaan yang sempat ingin ia lupakan ketika mengetahui keadaan Allison namun terus menghantuinya selama beberapa hari terakhir.

Al, may I ask you something?” Tanya Jeno memecah keheningan.

Sure, apa?”

Is this you?” Jeno menyerahkan ponsel nya pada Allison membuat wanita itu melepas fokus dari hidangan di hadapannya.

“Apa?”

“Foto ini ... beneran kamu?” Allison diam melihat foto yang terpampang di hadapannya.

“Kamu dapet foto ini darimana?” Bukannya menjawab, wanita itu malah balas bertanya.

“Jane. He asked if you were okay and sent me this picture waktu itu.” Allison hanya terdiam menatap foto itu.

Let me ask again. Is this really you?” Cukup lama Allison terdiam sebelum akhirnya mengangguk membuat Jeno mengulum bibirnya dan meletakkan ponsel tersebut di meja.

Both of them?” Wanita itu kembali mengangguk membuat Jeno merasakan sesak di dadanya. Ada rasa kesal dan cemburu yang muncul pada dirinya, namun ia ingat jika bagaimanapun ia harus mendengar penjelasan dari Allison.

At first, I don't want to ask you about this because I know about your condition lately, but I can't get over this picture from my head, so ... ya ... mind explaining?

Allison terdiam.

If I tell you the truth, will you trust me?

Always.

Allison mengatur nafasnya pelan meyakinkan dirinya kalau pria di hadapannya akan mendengarkan dan tidak menghakiminya seperti yang orang-orang lakukan.

The first picture, I think was taken when we had dinner after doing the table reading that night. Aku, Louis, Jemiah, Rebecca, and another Allison. We took dinner after doing a table reading. I sat next to him because he came last and the available sit is only next to me. I think this photo is taken from Jemiah's sit. Jemiah was going home first because his daughter is looking for him.” Jeno mengangguk.

What about the second one?

It's officially taken when we are oncam pas di Singapore kemarin. A kiss scene. Across the street, ada banyak kru di sana, kamu bisa tanya Eve. Eve ada di sana. Oh aku juga ada videonya, aku selalu minta Eve untuk ambil video beberapa adegan aku untuk aku koreksi sendiri penampilan aku. Sebentar aku ambil—”

No, no. Ngga usah. I trust you,” ucap Jeno menahan Allison yang ingin beranjak keluar dari ruangan itu.

Meskipun masih ada sedikit rasa cemburu, setidaknya penjelasan dari Allison barusan dapat membuatnya lebih tenang.

Listen, I'm sorry for not saying a word about it, I'm just scared and sorry. I don't want you, kakak, ataupun Aro to see those pictures because it might make a huge misunderstood between us. I don't know how would all of you react to those photos, and I don't want us to have that kind of problem. Aku udah coba untuk take down semua foto yang kesebar. Tapi ternyata they might have much photo of me yang aku ngga tau ada berapa, jadi setiap satu foto berhasil aku redupin foto lain muncul. Tapi yang harus kamu tau those photo yang kesebar di internet was taken long time ago, pas aku masih dating sama louis atau ngga ya when we are on set, kayak yang foto kissing, we are on cam.

“Berarti masalah kontrak kamu diputus, dan Joele di-cancel, karena ini?” Allison terdiam sebelum mengangguk pelan.

So is it clear? Are we ... cool now? Or do you still have a question to ask?” Tanya Allison membuat Jeno sedikit tersenyum.

Clear. Clear and cool. Ini udah selesai semuakan?” Tanya Jeno mengalihkan pembicaraan.

Allison menyapukan matanya ke seluruh sisi dapur dan ruang makan.

“Udah, aku tinggal packed Aro's lunch, and done. Thank you udah bantuin.” Jeno mengangguk.

Okay kalau gitu. Aku mandi dulu sekalian bangunin Aro. Kamu ngga kerjakan hari ini?” usil pria itu membuat wanita di hadapannya langsung menatapnya kesal.

“Jangan bikin aku ngebuang breakfast kamu,” ancam Allison membuat Jeno tertawa dan berlari menuju lantai dua.