ethereiselle

Queen Bee.

There is a queen bee. But there is no king bee.

But this queen bee has something more valuable than a king. Something that ... No other queen owns it.

This queen bee has a lover who always stays beside her no matter what.

A lover is more valuable than a king because a lover can be a king, but some kings can't be lovers. That's the tale she always tells.

A lover, He treats his woman like a queen but never positions himself as her king.

When the little queen killed her by saying something mean, something harsh, her lover still chose her as his queen, helping her to shine again.

Oh, the little queen? Her lover is her family. She's dead when she's disappointed everyone. But like one of her lovers said, family is a family. Family is a home and a lover. They prove it. She's shining. Better than ever.

What about the Lover? They care about someone without caring if that someone cares about them. All he did was to be the best lover that he won't regret later.

So here they are, loving, caring, and completing each other. Quietly. By staying beside the one forever.

Pukul 1 siang dan Jeno yang seharusnya kini ada di kantor malah berakhir duduk di salah satu ruangan sekolah berhadapan dengan kedua orang tua murid teman sang anak dan seorang guru.

Semenjak kejadian lalu, Jeno memang meminimalisir Allison untuk berkunjung ke lingkungan belajar kedua anaknya. Meski secara komunikasi semua tersampaikan kepada Allison. Namun, untuk penanganan langsung, Jenolah yang turun tangan.

“Saya ngga mau tau, anak itu harus dikeluarin dari sekolah,” tuntut wanita 40 tahunan menunjuk putra yang kini duduk di sampingnya.

Sudah dua kali Jeno menghadapi tiga orang yang sama dan dua kali pula Jeno mendengar kalimat yang sama dalam beberapa bulan terakhir membuat pria itu menghembuskan nafasnya lelah.

“Saya boleh bicara sebentar sama anak saya?” Tanya Jeno meminta izin.

Guru konseling itu mengangguk dan mempersilahkan agar Jeno dan Aro keluar sebentar.

Di depan ruang konseling tersebut, Jeno memperhatikan anaknya yang tidak mengatakan sepatah katapun sejak ia datang. Lebih tepatnya hanya satu kata maaf yang ia ucapkan, sisanya tidak ada.

“Ada yang mau disampain?” Tanya Jeno sembari duduk di kursi yang ada di depan sana.

“Sini duduk,” lanjut pria itu menepuk ruang di sampingnya.

Matanya kini beralih ke ujung lorong sana, menangkap gerombolan anak seusia putranya seperti tengah mengintip dan menguping, penasaran apa yang terjadi.

“Itu temen-temen Aro?” Anak itu menoleh sebelum mengangguk pelan.

“Jadi?” Tanya Jeno mengembalikan topik pembicaraan.

“Ada yang mau disampaiin ngga?”

“Ayah udah dua kali dipanggil ke sekolah karena Aro berantem. Waktu itu Aro beruntung karena orang tuanya Michael nganggep itu cuma kesalah pahaman. Tapi sekarang Aro berantem lagi, bahkan kepala Michael sampai bocor.” Aro diam menundukkan kepalanya.

“Tapi dua kali ayah dipanggil sama sekolah, dua kali juga ayah ngga denger Aro ngomong apa-apa. Bahkan pembelaan sekalipun. Aro cuma ngomong maaf dan terima aja pas disudutin kayak tadi. Kenapa?”

“Karena emang Aro yang salah.”

“Ayah mau denger cerita versi adek. Dari kemarin ayah cuma denger versi Michael.” Meski membenci panggilan itu, namun Jeno yang memanggilnya dengan sebutan 'adek' benar benar sangat cukup untuk menenangkannya saat ini. Rasanya ia kembali menjadi anak lima tahun yang dilindungi penuh oleh sang ayah.

“Aro salah karena Aro udah main fisik duluan dengan nonjok Michael.”

“Fisik duluan, berarti yang ngga fisiknya Michael duluan?” Aro mengangguk kecil.

“Tapi Aro ngga punya bukti karena ngga ada rekaman apapun tentang percakapannya, jadi Aro cuma bisa diem. Sedangkan Michael punya bukti fisiknya yang luka.”

“Emang Michael ngomong apa sampai Aro nonjok dia?”

“Waktu itu Michael ngatain temen Aro. Tadi Michael ngerendahin bunda sama kakak. Aro ngga suka.” Tangan Jeno terangkat mengusap kepala anak itu.

“Anak baik. Tapi sekarang Aro jadinya terancam dikeluarin—”

“DIKELUARIN?!”

Jeno menengok ke arah ujung lorong tadi, melihat segerombolan anak tadi yang kini mulai menghampirinya dengan berlari ribut.

“OM ARO MAU DIKELUARIN? ARO KAN NGGA SALAH?!”

“OM YANG SALAH KAN MICHAEL KENAPA ARO YANG DIKELUARIN?”

“OM ITU KAN MICHAELNYA YANG MANJA! KEPALANYA JUGA BOCOR GARA GARA DIA SENDIRI YANG KEJEDOT JENDELA BUKAN ARO!”

“INI ORANG SATU JUGA NGERJAIN ORANG AJA MAJU NOMOR SATU LO, PAS GINI KENAPA DIEM AJA ANJING?! PAKE MINTA MAAF LAGI!”

Berbagai teriakan protes ia terima membuat Jeno kini sedikit kelimpungan dengan serangan bertubi-tubi yang didapat dari kumpulan anak remaja tersebut. Sedangkan Aro yang melihat itu hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya.

“Ini ada apa ya ribut-ribut? Bapak kalau bicaranya udah selesai bisa tolong kembali masuk ya karena orang tua Michael ingin segera memproses masalah ini.”

Gerombolan anak yang barusan mengerubungi Jeno kini beralih kepada sang guru, bahkan beberapanya ada yang berusaha menerobos masuk.

“MAAM YANG SALAH MICHAEL! KERJAANNYA NGEHINA ORANG!”

“MAAM SI ZIDAN YANG WAKTU ITU PINDAH SEKOLAH TUH KORBANNYA MICHAEL!!”

“MAAM ARO ANAKNYA EMANG NGESELIN TAPI YANG HARUSNYA KELUAR ITU MICHAEL BUKAN ARO!”

Suara protes dari gerombolan anak-anak itu semakin tidak terkontrol membuat mereka semua kini menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang.

EVERYBODY STOP!” Suara pria terdengar menggelegar kencang di lorong itu membuat semua berhenti melakukan protes.

What is going on here?

They want Aro to drop out from this school, Sir.”

Aro is wrong by hitting Michael, but he just hit him once while Michael bullied his family couple times.

“Jangan sembarangan ngomong kamu!” Seru orang tua Michael yang kini turut bergabung.

“Kita ngga sembarangan ngomong!”

“Kalau ngga sembarangan ngomong mana buktinya Michael ngebuli keluarganya Aro?” Semua terdiam.

Semua terdiam karena nyatanya tidak ada satupun dari mereka yang memegang bukti.

See? Pas diminta kalian ngga ada bukti apa-apa. Saya bisa loh nuntut kalian—”

“GUYS KEREKAM GUYS ADA SUARANYA MICHAEL!!” Seorang gadis berteriak dari ujung lorong, memotong ucapan orang tua Michael membuat semua orang di sana menatapnya.

“KEREKAM DI TIKTOK GUE!” Seru gadis itu sembari menunjukkan layar ponselnya.

Sir, Maam, look at this. It just a slight tapi menurut Nadine ini bagian penting. Nadine ngga sengaja nangkep pas ngerekam muterin sekolah.” Gadis bernama Nadine itu langsung memencet tombol play sebelum menyerahkan ponsel ke guru konseling.

Awalnya tidak terlalu terlihat sebab kamera berputar putar, tapi ada beberapa bagian yang menunjukkan Aro dan Michael yang berputar posisi. Sedikit terdengar suara Michael yang lebih dulu memancing keributan dan Aro yang hanya diam menatap laki-laki itu datar sebelum adegan tonjokan mulai membuat Nadine memencet tombol pause. Namun kamera kembali merekam. Merekam adegan Michael yang tidak berhati-hati ketika ingin menghindari Aro yang berjalan mendekatinya—Hanya berjalan mendekat—membuat kepalanya kini di perban.

Usai video ditayangkan, para orang tua kini menatap tersangkanya. Sedangkan para anak-anak itu langsung membuat keributan kembali dengan bersorak senang.

Okay, you guys back to class. Except you Nadine, we need your video so you come with us.”


“Crush?”

“Hmm. Cantikkan?”

“Sampe segitunya liatinnya. Orang nontonin videonya, kamu nontonin orangnya. Cantikkan juga bunda.”

“CK! BER—”

“Dorong ayah, uang jajan potong 200 ribu.”

“AAAAARRGHH NYEBELIN!”

Meskipun dilarang oleh Jeno, Allison kini telah berpindah posisi. Duduk di meja rias dengan satu tangan yang kini berusaha meratakan lapisan pertama riasannya.

Sejak kecelakaan itu, Allison tidak pernah menyentuh alat riasnya. Selain karena memang tidak ia bawa, luka di tubuhnya benar-benar menjadi penghambat seluruh pergerakannya.

Nafasnya ia buang dengan berat karena merasa lelah dengan tahapan yang tidak kunjung selesai sejak tujuh menit yang lalu. Ingin Allison meminta bantuan sang putri, tetapi sejak ia kembali ke rumah ini, pertemuannya dengan Scarlett hanya terjadi beberapa kali dengan waktu yang sangat singkat. Tanpa perbincangan dan tanpa kontak mata sebab gadis itu yang terus menunduk.

Allison tidak mempermasalahkan itu. Ia mengerti dengan Scarlett yang marah padanya, terutama setelah Jeno menjelaskan semua yang terjadi pada anak itu. Hanya saja ... Ia merindukannya.

Terdengar suara pintu yang diketuk sehingga dengan panik Allison langsung buru-buru merapikan alat riasnya. Ayolah, mempersilahkan Jeno untuk memarahinya bukan berarti wanita itu menanti untuk dimarahi.

Don't be mad! Aku cuma bosen! Ini ngga bikin aku sakitnya ditambah! Auch!” Allison terdiam ketika merasakan rasa nyeri muncul tiba-tiba.

“Bunda,” cicitan lembut yang membuat Allison langsung menatap ke arah pantulan cermin.

Scarlett.

“Kakak?” Meskipun rasa nyeri tersebut belum hilang, Allison segera membalikkan tubuhnya.

“Kenapa kak? Need something?

Demi tuhan, ini adalah pertama kalinya mereka berhadapan dan berbicang, menumbuhkan keinginan besar Allison untuk memeluk erat gadis di hadapannya.

“Ayah kemana?” Tanya Scarlett sambil berjalan pelan mendekati sang bunda.

“Ayah lagi ketemu Uncle Revo near here, he will be here in a short time. Kakak butuh something?” Scarlett menggeleng cepat sebelum kepalanya kembali tertunduk.

“Kenapa kak? Don't lower your head, please?” Tegur Allison membuat Scarlett semakin terdiam.

Come here, Baby.

Have something yo say?” Tanya wanita itu ketika Scarlett sudah berada di dekatnya.

Sorry,” ucap gadis itu dengan suara yang amat kecil.

Louder, pretty. I can not hear you.

I'm sorry,” ulang Scarlett dengan suara yang lebih kencang, “Scarlett ... Scarlett mau minta maaf sama bunda.”

“Kalau mau minta maaf tatap orangnya kak,” tegur Allison membuat Scarlett dengan ragu-ragu menurutinya. Matanya bersinggungan dengan kedua mata Allison membuat Allison dapat melihat kedua mata Scarlett yang mendadak berkaca-kaca ingin menangis.

“Bunda, Scarlett minta maaf karena kemarin udah kasar sama bunda, Scarlett juga minta maaf karena udah benci sama bunda padahal itu bukan salah bunda, Scarlett minta maaf karena udah nyakitin hati bunda, ngga respect sama bunda, dan ngecewain bunda. Scarlett sadar Scarlett salah. Apapun alasan dibalik tindakan Scarlett kemarin ngga bisa jadi pembenaran. I'm sorry for everything I did yesterday.” Scarlett menundukkan kepalanya ketika Allison yang tidak merespon sama sekali dan hanya diam menatapnya.

“Scarlett siap kalau harus dihukum sama bunda, you can hit me, punch me, scold me, or anything. I will do anything you told me to, asalkan bunda maafin Scarlett,” lanjut gadis itu sembari meremat tangannya sendiri dengan erat takut-takut kalau Allison benar-benar akan memukulnya seperti yang dialami oleh teman-temannya di sekolah lama jika melakukan kesalahan.

“Bunda?” panggil Scarlett karena Allison yang benar benar hanya diam menatapnya.

“Sini kak.” Allison kembali memutar tubuh nya menghadap cermin. Menyadari Scarlett hanya diam di tempatnya, Allison pun melirik gadis itu sebentar.

“Tadi katanya mau dihukum? Sini.” Scarlett berjalan mendekati Allison.

Here,” ucap Allison menyerahkan salah satu alat make up nya pada Scarlett membuat gadis itu menatapnya heran.

Finish my make up,” ucap Allison.

“Bun? Scarlett ngga ngerti make up? Scarlett bahkan ngga tau how to use this thing,” ucap Scarlett sembari membolak-balikkan benda bulat di genggamannya.

I don't care. That's your punishment. I want you to turn me to be the prettiest woman in the world. Now, do it.

“Bun, tapi kak—”

No excuse. Do you want me to accept your sorry or not?” Potong Allison membuat Scarlett terkesiap.

How about do your nails? Bunda mau kakak buatin kayak gimana? Udah lama kan kakak ngga bikinin kuku bunda?”

I want make-up. Bukan nails. Do it now or I won't accept your apology,” ucap Allison membuat Scarlett mengerang tertahan.

“Tapi bunda bantu arahin kakak kan?” Tanya Scarlett ragu-ragu sehingga Allison menoleh ke arahnya.

“Ngga lah, gampang banget dong nanti.” Scarlett pun melemas, pasalnya gadis itu datang ke kamar orang tuanya bertujuan untuk menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah.

“Bun, tapi kakak ngga ngerti make-up sama sekali ... Scarlett cuma tau yang basic aja kayak liptint and mascara,” ucap Scarlett berharap bundanya memberi keringanan.

“Ada yang namanya youtube, kamu bisa sambil liat youtube.” Mendengar itupun Scarlett langsung tersenyum seakan dirinya telah mendapat pencerahan.

“Scarlett ambil hp dulu ya ke kamar, ngga nyampe 5 menit. Bunda tunggu sebentar oke?” Pinta Scarlett sembari meletakkan alat make up yang ia pegang dan berlari menuju kamarnya.


“Bunda kenapa dipooost? Make upnya diapus aja, Scarlett bikin ulang deh bun ya?” Bujuk Scarlett untuk kesekian kalinya karena Allison yang seakan menutup telinga padanya sedari tadi.

“Bun, hate speech-nya banyak banget, apus aja please. Scarlett bikinin ulang deh yang lebih bagus.” Allison hanya menggeleng sembari tetap menatap layar ponselnya, tidak memedulikan Scarlett yang merengek di sampingnya.

“Buuuun, ap—”

“Apa sih kak? Bagus kok hasilnya, bunda suka,” ucap Allison yang lama lama merasa lelah mendengar rengekkan Scarlett sejak beberapa menit yang lalu.

“Bunda tapi ini reply-nya aja pada bilang menor, kayak badut, mukanya keputihan, aaaaaaaa bunda apus aja ya make upnyaa,” rengek Scarlett setelah kembali melihat banyaknya komentar kebencian yang diberikan oleh orang-orang terhadap hasil make upnya.

“Mana sih kak, ini pada bilang bagus kok, cantiik.” Allison memperlihatkan komentar komentar positif yang ia terima.

“Itu bawahnya bundaa.”

“Ngga ada kaak,” ucap Allison yang sebenarnya ia melihat semua komentar kebencian yang ia terima namun selalu ia hiraukan.

“Aaaaaa bundaaaaa.” Rasa bersalah kepada Allison yang kembali menerima banyak komentar jahat membuat Scarlett mulai menangis.

Baby, why are you crying? Kenapa kaak?” Allison menatap Scarlett sembari mengelus lengan putrinya berusaha menenangkan.

“Bunda apus aja please postingan sama make-upnya,” pinta Scarlett dengan isakan dan menyatukan kedua tangannya berharap Allison menurutinya.

“Apa sih kak ih, bagus tau bunda suka.”

“Tapi kan fail bundaaa, muka bunda jadi putih banget, alisnya tebel, trus eyeshadownya norak. AAAAAAA SCARLETT NGGA DIMAAFIN BUNDA NANTIIIIII!” Teriak Scarlett heboh sendiri dengan air mata yang tidak berhenti keluar.

“Maafin apa sih kaak?” Tanya Allison. Tangannya bergerak menarik Scarlett masuk ke dalam pelukannya.

“Kakak make-upin bunda biar dimaafin, kalau kayak gini pasti kakak malah ngga dimaafin,” ucap Scarlett sambil menyembunyikan wajahnya di dalam pelukan sang bunda.

“Kakak, I've forgiven you since that day. I am never mad at you. Even if you are not sorry, I still forgive you. Just now, my hand feels so soar, so I ask for your help. Consider as you learn something for today. I'm not lying when I say the result is good. You are not that bad for a newbie. For the lighter part, you could make it a little bit cold so the color will be darker. With the blush on, you can add a bronzer or powder to cover it. Don't need to cry, Kakak,” ucap Allison berusaha menenangkan Scarlett dan berhasil. Gadis itu berhenti menangis.

“Tapi bunda dapet banyak hate speech jadinya ....”

“Tapi bunda tetep dapet komentar bagus jadinya ....” ucap Allison mengikuti gaya bicara Scarlett. Cukup berhasil untuk menimbulkan senyum di wajah gadis itu.

“Tapi bunda tetep dapet hate speech, buun. Kakak beneran ngerasa bersalah jadinya,” tutur Scarlett membuat Allison membuka kembali layar ponselnya dan memperlihatkan replyan postingannya.

Look, ada komentar positif ngga dari five comments you can see here?” Scarlett membaca tulisan yang terpampang dan mengangguk.

“Tapi dari lima cuma ada satu buun.”

“Tapi tetep ada kan?” Scarlett terdiam.

Positive comment walaupun cuma satu juga tetep harus dihargain kak. Lagian kamu musingin hate speech itu cuma wasting time, tinggalin aja. Jadi daripada kita pusingin hate speech, mending kita nikmatin satu komentar positif yang kita dapetin, oke?” Scarlett mendongakkan kepalanya menatap Allison.

“Tapi bunda beneran udah maafin Scarlettkan?” Tanya gadis itu lagi memastikan.

“Udah kakaaak. Bunda lagian udah denger juga what happened to you for these past two years. Ngga mungkin bunda ngga maafin kakak setelah denger itu semua. Are you okay, Sayang?”

Scarlett menundukkan kepalanya.

Just better. At least setelah kakak pindah sekolah dan bunda pulang. Itu udah cukup bikin kaka feels better.” Allison tersenyum.

“Bunda tangan dan rusuknya masih sakit? Maaf udah bikin bunda kayak gini.”

“Sedikit? But it's not that bad because this is the sixth times in my life,” ujar Allison membuat keduanya terkekeh.

“Mumpung kita lagi berdua, ada yang mau diceritain sama bunda?” Gadis itu hanya diam menunduk, memainkan jemarinya mengatakan bahwa dirinya tidak siap untuk menceritakan semuanya kembali.

Dirasakan sapuan tangan pada rambutnya.

It's okay kalau kakak ngga mau cerita sama bunda. But rembember you have me and ayah. You could say anything to both or even just one of us. Ayah sama bunda pasti siapin waktu untuk kakak, Okay?” Scarlett hanya diam menunduk membuat Allison menggerakan tangannya mengangkat kepala gadis itu.

I'm curious how do you look like in school kalau di rumah aja kepalanya ditundukin terus. Can I say something?

Sure.

I miss my Scarlett. You are my Scarlett, tapi bunda kangen sama Scarlett yang percaya diri, Scarlett yang aslinya lebih bawel daripada Aro, Scarlett who always tell what just happened to her or just what she saw. Scarlett yang ngga akan biarin siapapun mandang rendah tentang dirinya.So, is it possible for me to see that Scarlett again?

The brave one slash confident?” Pancing Allison membuat Scarlett berpikir sebentar sebelum tersenyum.

Yes, you can,” ucap Scarlett sembari menegakkan postur tubuhnya dengan kepala yang menatap Allison lurus membuat wanita di hadapannya tersenyum.

That's my daughter. Sini peluk,” ujar Allison membuat Scarlett langsung menghamburkan diri ke dalam pelukannya.

Slowly, darl.

I'm sorry,” ucap Scarlett sambil memberikan cengiran lebar.

“Kakak juga mau bilang sesuatu sama bunda boleh?”

Sure.

I am actually love to be your daughter. Kakak cuma ngga terbiasa dengan ngeliat semua hal tentang bunda di media sejak bunda balik main film makanya kemarin kakak agak sedikit kepancing. But actually I feel so proud to be your daughter. Having a genius superstar mom? No way I wouldn't feel proud about it,” puji Scarlett membuat Allison mengeratkan pelukan keduanya dengan senyuman yang masih terukir cantik di wajahnya hingga ia teringat sesuatu.

“Kak.”

“Ya bunda?”

“Kita beberapa minggu ini udah repotkan ayah, what if we make something special for him?” Scarlett menjauhkan dirinya dari Allison.

Apa?

“Kita masak yang special buat ayah gimana?” Scarlett memanyunkan bibirnya.

“Kakakkan ngga bisa masak bunda.”

“Ya maka sekalian belajar. Mau ya? Atau kakak ada idea lain?” Scarlett terlihat berfikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk.

“Masak aja deh,Bun. Ngga apa apa,” ujarnya sembari terkekeh.

Baru gadis itu ingin lanjut bertanya, sebuah suara sudah lebih dulu mengintrupsi.

“Alli telfon aku ken—ASTAGA ALLISON MUKA KAMU KENAPA GITU BANGET?!”

“AAAAAAA TUHKAN BUNDAAAAAAAAA!!”

“JENO IH!”

Sedetik sesaat Axel menginformasikan bahwa Allison telah berangkat ke Indonesia kemarin dan dijadwalkan untuk mendarat di waktu yang sama ketika Jeno membaca notifikasi tersebut membuat pria itu langsung kalang kabut mengendarai kendaraannya dengan kecepatan di atas batas normal menuju bandara.

Disinilah ia, di pintu kedatangan Terminal 3 Bandara International Soekarno-Hatta, dengan pakaian formalnya yang masih lengkap dan sesekali menatap jam tangannya yang kini menunjukkan pukul 11 malam yang artinya sudah lebih dari satu jam ia berdiri di depan pintu kedatangan.

Dapat dikatakan cukup beruntung baginya sebab ternyata pesawat yang ditumpangi Allison mengalami delay satu jam sehingga ia tidak perlu mengkhawatirkan akan terlambat untuk menjemput Allison pulang. Hal ini dibuktikan dengan status kedatangan yang baru berubah tepat ketika ia berdiri di depan pintu kedatangan.

Lelah? Ya. Bekerja seharian dilanjut dengan pertemuan acara ulang tahun kantor koleganya. Bohong jika ia mengatakan itu tidak melelahkan secara fisik attaupun mental. Namun, semua lelah itu seketika terasa hilang sesaat ia membaca notifikasi yang masuk dua jam yang lalu.

Kini waktu sudah menunjukkan 11.17 yang mana sudah satu jam dari waktu yang terdata di papan dan inderanya masih belum menangkap sosok yang dicari.

Axel tidak mungkin membohonginya kan? Atau tidak mungkin Allison sudah pergi sebelum ia sampai kan? Seharusnya pria itu tidak perlu khawatir sebab Karlie belum menghubunginya.

Matanya menyapu satu persatu wajah orang-orang yang keluar dari dalam sana dan yang ditunggu masih belum keluar. Mungkin masih mengantri imigrasi mengingat Allison berstatus warga Amerika.

Hampir dua jam menunggu lebih lama hingga akhirnya pandangannya berhasil menangkap seseorang yang berjarak cukup jauh darinya dengan penyamaran lengkap dan tangan kiri yang diperban, dari posturnya ia yakin jika itu Allison dengan seorang pria tinggi menjulang di sampingnya yang ia yakini jika itu Karlie.

Jeno menghela nafas lega dan menopang tubuhnya yang tiba tiba melemas ditiang pembatas.

Thanks god,” bisik Jeno dengan lemah.

Disisi lain, ada Allison yang masih belum menyadari kehadiran suaminya di sana.

“Allison?” Panggil Karlie yang hanya dijawab dengan gumaman.

Did you already call your husband to pick us up? I thought you forbid me to call him once we arrived and were going to use a cab.” Allison mengernyitkan keningnya dan memberhentikan langkahnya.

No, I'm not, and yes, we will use a cab. Why?” tanya Allison sambil menatap Karlie di sampingnya.

Since I'm pretty new with the job, I never met your husband before, but your dad, sent me a picture of him. And the guy over there, really look like the guy from the photo.” Mata Karlie bergerak menunjuk ke arah pintu keluar, lebih tepatnya ke arah seorang pria yang sedang menunduk dan menumpukan tubuhnya pada pembatas besi membuat Allison ikut menatap kearahnya.

Allison hanya terdiam dan seketika merasa ragu untuk melanjutkan langkahnya. Ia tidak siap.

Am I right? Or—

No, you right. He is my husband.” Karlie mengangguk canggung ketika tiba-tiba melihat pria di sana menatap ke arah keduanya.

So are we still going to your house with a cab or....” Allison menggelengkan kepalanya.

My husband is here, let's go.” Allison memimpin jalan dengan lambat membuat beberapa orang mengumpat kesal karenanya.

Kekhawatiran kini menyelimuti dirinya. Khawatir jika ia terlalu mengecewakan suaminya, khawatir jika rumah tangganya tidak akan menjadi seharmonis dulu, khawatir dengan keadaan suaminya yang tiba-tiba ada di bandara pukul 11 malam dengan pakaian formal yang sedikit berantakan, dan masih banyak lagi hingga tanpa sadar kini Jeno benar-benar ada di hadapannya.

Thanks god.” Suara itu terdengar memasuki telinganya berbarengan dengan rasa hangat dari pelukan yang diberikan oleh pria itu.

Ucapan rasa syukur yang bertubi-tubi tidak berhenti ia dengar, sampai kecupan di dahi membuat Allison sadar dari rasa khawatirnya.

“Jeno, ada Karlie,” ucap Allison membuat Jeno melepas pelukan mereka dan menatap pria yang sedang berdiri di belakang istrinya.

Oh, I'm sorry, and hi i'm Jeno, thank you for helping and accompanying her home, Karlie.” ucap Jeno sembari mengulurkan tangannya dan berjabatan dengan Karlie.

Karlie, and my pleasure, Sir. That's my job,” balas pria itu sebelum jabatan keduanya terlepas. Jeno pun menyelipkan jemarinya diantara jemari Allison, menggenggam tangan wanitanya dengan erat.

“Jadi ... mau langsung pulang?” Tanya Jeno yang dibalas anggukan kecil oleh Allison.

Karlie you come with us right?” Karlie menggelengkan kepalanya.

Thank you, but I can use a cab and go to a hotel nearby, Sir Axel already gave me the money for that.

No, just come with us, we have available room at our house, you can use it until you left.” Karlie berniat menolak namun akhirnya menurut setelah beberapa kali Jeno memaksanya.

Selama satu setengah jam di perjalanan, tidak ada percakapan diantara mereka, Allison yang tertidur, dan Karlie yang merasa canggung melihat pemandangan di depannya, Jeno yang menyetir sembari menggenggam tangan Allison dengan erat dan mengecup punggung tangannya sesekali.

Jeno pun mematikan mesin mobil setelah mobil berhasil terparkir di halaman rumahnya.

She must be really tired,” ucap Karlie membuat Jeno mengalihkan pendang menuju Allison yang masih terlelap pulas di sampingnya sebelum tangannya bergerak membuka seatbelt yang melindungi wanita itu.

I'm sorry, Karlie. Could you please bring her things inside? I will carry her to bed.” Karlie mengangguk.

Sure, should I bring yours too? Please be careful with her upper body. Her ribs haven't fully recovered yet.

If you don't mind and sure. No worries.” Jeno pun keluar dari mobil. berputar ke sisi satunya dan menggendong Allison ke dalam dengan Karlie di belakangnya.

You can leave our things here, and the room over there, you can use it. The bathroom is next to it.” Karlie mengangguk paham.

Thank you, Sir. Good night!

Just call me Jeno, and good night to you too,” balas Jeno sebelum naik ke lantai dua.


Setelah meletakkan Allison di kasur dan memposisikannya dengan nyaman, Jeno mengganti bajunya terlebih dahulu. Berlanjut dengan berjalan menuju meja rias Allison, mengambil alat alat yang ia ketahui sebagai penghapus make up sebelum akhirnya kembali duduk di pinggir ranjang samping Allison.

Dituangkannya micellar water ke kapas dan mengusapnya dengan lembut ke wajah Allison membuat wanita itu membuka matanya setelah mengerjapkan mata menyesuaikan penglihatan dengan cahaya lampu tidur.

“Hai,” ucap Jeno sembari tersenyum dengan tangan yang masih bergerak halus di permukaan wajah Allison.

“Ganggu ya? Maaf, aku cuma keinget kamu selalu cuci muka setelah pergi, tapi aku ngga tau cara tepatnya, jadi aku pakein ini aja yang aku tau, ngga apa apa kan?” Allison mengangguk kecil sebelum menatap ke arah tangannya yang di perban.

“Kenapa diliatin? Tangannya sakit?” Wanita itu menggeleng.

So, how are you doing?” Pertanyaan yang canggung untuk pasangan suami-istri.

“Aku marah kalo kamu jawab fine,” sambung Jeno membuat kekehan kecil keluar dari bibir Allison.

Then why bother to ask?” Jeno mengedikkan bahunya.

“Kita udah lama ngga ketemu, so ya...” Keduanya terdiam lama sebelum Allison menyadari sesuatu.

“Jeno udah jangan kelamaan,”

“Apanya?”

“Muka aku...” Jeno pun tersentak, terkejut karena dirinya sendiri.

“Ah astaga maaf maaf,” ucap Jeno sembari meletakkan kapas dan botol micellar water di nakas di hadapannya, tangannya tiba tiba bergerak kebingungan membuat Allison menggenggam tangannya. Jeno menatap Allison heran.

“Aku mau cuci muka, bantuin.” Dengan sigap pun Jeno langsung membantu Allison.

Sejam terlewat, setelah Allison membersihkan muka, mengganti pakaian, dan makan(dipaksa Jeno) kini keduanya sudah kembali diatas kasur dengan Jeno yang bersandar pada headboard dengan Allison dipelukannya, bersandar di bahunya. Pria itu benar benar tidak melepas Allison sendirian sejak tadi.

“Kamu kenapa potong rambut?” Tanya Jeno sembari memainkan rambut Allison yang kini menjadi sangat pendek.

“Baru sadar?” Jeno menggeleng.

“Sadar dari tadi cuma baru pengen nanyanya sekarang,” ucap Jeno membuat Allison tertawa pelan.

“Bagus ngga?” Jeno mengangguk.

“Bagus. Bagus banget. Cuma maksudnya aku kira kamu ngga suka kalo rambut pendek? Tapi ngga apa-apa sih kamu jadi keliatan lebih seger, tapi kamu juga jadi kayak anak keciiil gemes banget,” ucap Jeno sembari mencolek colek pipi Allison.

“Sebenernya ngga mau potong, cuma kemarin kemarin pas rambutnya masih panjang tuh keramasnya jadi susah. Jadi yaudah deh potong aja.”

“Ngga apa-apa kok, cantik,” puji Jeno yang hanya dibalas senyuman oleh Allison.

“Jeno,” panggil Allison membuat Jeno menghentikan aksinya yang sedang memainkan rambut pendek wanita itu.

“Kenapa?”

“Maaf,” ucap Allison sambil menunduk.

I'm truly sorry. Maaf kemarin aku pergi gitu aja without saying anything, maaf aku ngga ngasih kabar sama sekali, maaf aku malah ninggalin kamu ketika keadaan lagi ngga baik-baik aja, maaf aku udah biarin kamu kesusahan sendirian. I'm sorry for being so selfish, sorry for what happened this past three weeks.” Allison meremat genggamannya dengan Jeno menanti jawaban pria tersebut.

“Jeno?” Panggil Allison membuat Jeno tersadar dan menggelengkan kepalanya sebelum tangannya bergerak mengusap lembut rambut wanita itu.

No, aku yang minta maaf. I'm sorry I can not be a good dad dengan bikin kakak benci kamu kayak kemarin, and I'm sorry karena I can not be a good husband for you.” Mandengar itu Allison langsung menggeleng cepat sebelum merintih kecil sebab rasa ngilu menyerang dadanya.

No, you are not. I read all the messages yang kamu sama Aro kirim, dan aku bisa simpulin you did great ayah, really great.” Sebuah kelangkaan dari rumah tangga mereka Allison memanggil Jeno dengan sebutan itu membuat Jeno tidak dapat menahan senyumnya. Pujian yang diberikan oleh Allison terkalahkan dengan panggilan itu.

Can you call me like that, once again? Please.

Like what?

“Yang barusan.”

“Yang Ayah?” Jeno mengangguk membuat Allison tertawa.

“Kamu suka dipanggil itu?” Jeno mengangguk lagi.

I love it when you call me like that.

“Ada-ada aja,” ucap Allison sambil tertawa.

“Aaal, ayoo.”

“Iya ayaaah, udah? Puas?” Jeno mengangguk kencang menandakan kalau ia merasa sangat puas.

Tepat setelah itu, keduanya kembali terdiam hingga suara gumaman Allison terdengar.

“Kenapa?”

I don't know where to start,” ucap Allison sembari tersenyum canggung.

We already start, just say it.” Allison kembali bergumam.

You know what happened to kakak dari kemarin.” Jeno mengangguk.

It makes me realize and think if she is my daughter? Why do I know nothing about her when I thought I knew everything about my kids.” Jeno terdiam. Allison memikirkan hal yang sama dengannya kemarin.

“Aku beneran sedih tau pas mikir kalau ada kemungkinan Aro juga sama. I know nothing about him. So I start to think trying to find what is the reason sampai aku ngga tau apa-apa tentang mereka yang padahal aku sama mereka lebih sering daripada kamu yang sama mereka.”

“Imagine selama ini I acted innocent in front of her dan ternyata she swears at me inside because I gave her the worst life.

Should I quit my job?” Tanya Allison membuat Jeno menoleh padanya.

Why? I thought you loved your job?

I love my job. So much. But I love my daughter more,” ucap wanita itu sembari menunduk.

“Kita omongin lagi kapan-kapan ya? Sama kakak, Aro. Biar kita denger pendapat mereka,” ucap Jeno sembari mengusap lembut wajah Allison.

“Oh iya, Aro dari kemaren ngechat kamu juga? Dia chat apa?” tanya Jeno sambil menggenggam tangan kanan Allison dengan erat.

“Banyak. Tapi ada satu yang lucu menurut aku,” ucap Allison sembari menahan tawanya.

“Apa?”

“Dia bilang kamu sama dia ngga bakal berantem ribut lagi, asalkan aku pulang.” Jeno mengernyitkan alisnya.

“Trus lucunya dimana?”

“Kalo kalian ngelanggar, kamu mandi di gorong-gorong pake sendok soup.” Dengan selingan rintihan, tawa Allison meledak ketika dirinya kembali membayangkan jika suaminya benar-benar melakukan hal itu. Sedangkan Jeno, langsung bergerak cepat mengusap sisi tubuh Allison dengan wajah yang tidak dapat menutupi rasa kesalnya.

“Jangan terlalu kenceng ketawanya. Rusuk kamu belum sembuh. Trus dia ngomong apa lagi? Biar aku coret dari KK. “

Don't do that! He is my baby!” Seru Allison membuat Jeno mendecak sebal.

“Trus dia bilang kamu punya cewe lain, kamu cium cewe lain, trus aku ngga boleh khawatir walaupun kamu udah membelah hati, karena hatinya dia tetep utuh buat aku doang,” ucap Allison sembari terkekeh mengingatnya. Mendengar itu, Jeno langsung menggeleng pelan seakan sudah lelah dengan kelakuan anak laki-lakinya yang selalu mengganggunya.

“Tapi kamu tau kan aku aslinya ngga ada cewe lain?” Allison mengedikkan bahunya.

Who knows sih kalo itu, tapi yang pasti cewe lain yang Aro maksud itu kakak kan? soalnya cerita dia sama cerita kamu sama, bedanya dia nyebutnya pake cewe lain, kamu nyebutnya kakak.” Jeno mengangguk.

“Oh iya, kakak abis kecopetan gimana? Kok bisa kecopetan?” Tanya Allison penasaran.

“Biasa, ngga hati-hati lagi jalan sama temennya trus diserempet motor hpnya diambil.”

“Kasiaan, trus nangis?” Jeno mengangguk.

“Temennya nge-DM Aro, pas aku jemput dia lagi duduk di warung pinggir jalan nangis kenceng banget sampe ditenangin banyak orang.”

“Tapi kakak ngga apa apa kan? Maksudnya dia ngga luka atau apa gitu kan? Trus dia sekarang pake hp apa?”

“Dengkulnya baret karena hpnya diambil kenceng banget katanya sampe dia jatoh, trus sekarang jadinya pake hp lama aku dulu.” Allison secara tiba tiba memasang wajah sedihnya.

Aaaa... Poor my baby girl,” ucap Allison seakan sedang berbicara dengan anak perempuannya.

Jeno mengusap rambut Allison lembut sebelum akhirnya teringat sesuatu dan menarik tangannya untuk kembali menggenggam erat tangan Allison.

“Oh ya, Al. I know you must be tired karena baru sampai, tapi ada yang mau aku omongin. Aku takut lupa, kalau nanti-nanti lagi.” Allison menaikkan kedua alisnya melihat raut pria dihadapannya menjadi sangat serius.

“Kenapa?”

First of all, aku minta maaf banget karena aku ambil keputusan tanpa diskusi ataupun sekedar bilang sama kamu dulu. But about three weeks ago, kakak finally told me everything.” Jeno terlihat berpikir sebentar berusaha agar kalimat yang ia keluarkan tidak berpotensi menjadi beban pikiran Allison.

Her friends at school bullied her for almost two years.” Allison pun langsung menatap Jeno terkejut.

“Dengerin dulu,” ucap Jeno ketika melihat Allison ingin buka suara.

“Temen-temennya ngga suka sama dia karena ngerasa kakak itu apa ya? Mungkin simplenya, temen temennya iri sama kakak, jadi mereka semua mojokin kakak, bahkan sampai nyuruh kakak ngerjain tugas tugasnya mereka. Nah, temen-temennya ini banyak yang bawa-bawa kamu.”

“Maksudnya? Kok bisa bawa-bawa aku?”

“Mereka tau Scarlett itu anak dari Allison Andrea, jadi mereka pikir semua yang kakak lakuin itu ya karena Allison Andrea. Beberapa kali kakak dibilang ngga bisa apa-apa kalau bukan karena Allison Andrea. Dan kalau yang aku liat, parahnya itu ada di titik ketika mereka being racist ke kakak.”

“Racist gimana?”

“Dibanding kita berempat, yang fisiknya paling bule itu kan kakak ya? Nah, entah kayaknya mereka emang ngga suka aja sama kakak, mereka itu nganggap kalau semua bule itu murahan, dan kakak dianggap begitu.” Raut wajah Allison berubah menjadi tidak menyenangkan.

“Maksudnya kakak dibilang murahan?” Jeno mengangguk.

“Dan kata kakak, mereka juga berkali kali ngatain kamu. Jadi ini emang pada dasarnya mereka ngga suka dan iri aja sama kakak.” Jeno dapat merasakan tangan Allison yang mencengkram kencang genggaman mereka menandakan ia sedang menyalurkan amarahnya.

“Jadi akhirnya aku mutusin untuk pindahin sekolah kakak balik ke sekolah lamanya. Kakak sempet nolak, tapi setelah aku nasihatin dia akhirnya mau.”

Wait, tapi kamu udah lapor ke sekolahnya kalo kakak di bully? Dan kenapa harus kakak yang pindah?”

“Udah, tapi geraknya lambat. Temen kakak juga bilang kalau dia beberapa kali coba ngasih tau guru. Tapi ya gitu, ngga ada respon. Semua dianggap bercanda. So I thought it is better kalau kakak yang pindah.” Keduanya terdiam.

Are you ... okay with that?” tanya Jeno melihat Allison yang tidak bereaksi.

No.” Allison mengerjap sebentar sebelum akhirnya tersadar.

I mean, ya ... Yes, I am fine with ... No, I am not,” racau Allison diakhiri senyuman masam.

So you are fine or not?” Tanya Jeno yang kebingungan dengan jawaban Allison barusan.

I'm fine tentang Scarlett pindah sekolah t—”

“Tapi tentang keadaannya Scarlett ngga kan?” potong Jeno yang dibalas tatapan cemas dan anggukan cepat oleh Allison.

“Scarlett juga udah aku urus, aku udah nawarin dia ke psikolog in case ada sesuatu yang dia pendam dan ngga mau cerita ke kita. Dia ngga mau, tapi tetep aku kasih contactnya. Trus aku juga udah make sure biar dia ngga di-bully lagi kayak sebelumnya, kalau ada yang bully aku minta dia buat lapor ke aku terus, kita kumpulin buktinya, abis itu kita serahin kepihak sekolah nanti.”

“Kakak bisa pindah kapan?”

“Udah pindah dari kemarin. And as expected, she is happier than ever setelah pindah.” Allison mengangguk.

“Udah jam dua, tidur yuk? Atau kamu masih jetlag?”

Jetlag, but I'll try to sleep. Oh ya!” Seru Allison tiba-tiba membuat pergerakan tangan Jeno yang hendak mematikan lampu tidur di sampingnya terhenti.

“Kenapa?” Tanya Jeno sambil menatap wajah Allison.

“Kata Aro aku disuruh marahin kamu pas udah pulang.” Jeno mengernyitkan keningnya heran.

Why?

“Katanya dia sakit hati gara gara kamu marahin dia padahal dia udah baik hati mau rapihin alis kamu,” ucap Allison sambil tertawa berbeda dengan Jeno yang langsung mendengus kesal.

“Sumpah itu anak punya masalah apasih sama aku sebenernya dari dulu? Seneng banget gangguin aku kayaknya. Nih, tapi kamu liat dong alis aku jadi gimana, untung kakak bisa rapihinnya.” Jeno berbicara dengan kesal seperti sedang merajuk pada Allison membuat Allison tertawa.

“Trus kamu sekarang mau marahin aku?” Tanya Jeno dengan muka kesalnya dan dibalas anggukan oleh Allison.

“Yaudah cepet.”

“Nakal,” ucap Allison sambil menusuk pinggang Jeno dengan telunjuknya.

“Udah?” Allison mengangguk.

“Yaudah ayo tidur,” ucap Jeno sembari mematikan lampu dan menidurkan dirinya disamping Allison.


“J, if you want me to sleep, stop kissing my hand!”

“AND MY LIPS!”

“Ugh, and me, J! I'm trying to sleep here.”

“Okay, sorry. I'm just missing you.”

“Kakak yang buka pintu, kamu yang bawa hadiahnya.”

“Ihhh ngga mauu!”

“Apaan sih kan kamu yang ngasih ide, ya kamu lah yang bawa!”

“Ngga, pokoknya kakak yang bawa.”

“Ya udah, ngga usah aja sekalian biar kita cuma dapet omelannya ayah.”

“IH!”

“AW! DEK APAAN SIH JAMBAK-JAMBAK KAKAK!?”

“AW! KAK SAKIT!”

“Ta, Dek, kalian daripada berantem mending turun sekarang. Abang mau balik main sama temen,” ucap Jardin sembari menatap kakak-beradik yang malah bertengkar di mobilnya.

“Kamu ngga langsung pulang? Ini udah jam 11 lewat, loh?”

“Tadi aku pamitnya cuma pergi sebentar sama yang lain, soalnya beberapa ada yang berangkat sama aku juga.”

“Pulangnya jam berapa? Pagi?”

“Ya sekarang aja udah 11 lewat, makanya kalian turun sekarang biar abang juga ngga kepagian pulangnya,” jelas Jardin sembari membukakan seatbelt gadis di sampingnya.

“Ya udah, kakak yang turunin barangnya,” ucap Aro dan langsung mengacir turun dari mobil membuat Scarlett mengumpatinya.

“Kamu langsung masuk aja, hadiahnya biar aku yang turunin.”

Lima belas menit ketiganya memencet bel rumah namun belum ada yang membukakan.

Ya, yang dikira mereka Scarlett membawa kunci rumah, namun nyatanya gadis itu melupakannya di meja belajar kamar membuat ketiganya harus menunggu Jeno—yang sepertinya sudah terlelap, membukakan pintu untuk mereka.

Jardin yang awalnya berencana langsung pergi juga akhirnya membatalkan niatnya karena dirasa tidak pantas untuk ia meninggalkan dua anak dibawah umur terkunci di luar rumah sendirian pukul 11 malam.

“Kamu kalau mau pergi, pergi aja, aku sama Aro ngga apa apa kok, bentar lagi pasti ayah bukain,” ucap Scarlett yang dibalas gelengan.

“Ngga, aku tungguin sampai dibukain Om Jeno. Aku ngga mungkin ninggalin kalian berdua di luar rumah sendirian jam segini.”

“Ngga ditungguin yang lain?”

“Aku udah ngabarin, bilang ngga jadi balik kayaknya. Jadi yang tadi berangkat sama aku bisa pulang sama yang lain.”

Bertempatan dengan itu terdengar suara kunci terbuka membuat perbincangan mereka terpotong dan ketiganya langsung bergegas berdiri di depan pintu.

“Astaga, adek, kakak, kemana aja jam segini baru pulang? Ayah telfonin kenapa ngga ada yang aktif handphone-nya? Kalian kenapa ngga ngabarin ayah kalau mau pulang larut malam? Ayah nelfonin orang-orang ngga ada yang tau kalian dimana, ayah hampir lapor polisi tau ngga kalau sampe besok pagi kalian belum pulang juga,” ujar Jeno sembari memeluk kedua anaknya dengan khawatir.

“Kita udah pulang dari 15 menit lalu, tapi ayah ngga bukain pintunya,” sanggah Aro membuat Jeno mengusak wajahnya.

“Maaf ayah tadi ketiduran pas nungguin kalian, tapi kalian ngga kenapa-kenapa kan? Kakak ada yang luka? Aro juga pergi malem-malem jaketnya kenapa ngga dipake? Nanti kalau kamu masuk angin gimana?”

We're fine, ayah. Aro juga baru buka jaketnya pas di mobil Jardin. Maaf kita ngga ngabarin ayah,” balas Scarlett membuat Jeno langsung kembali memeluk kedua anaknya dengan erat.

Scarlett dapat merasakan kekhawatiran sang ayah ketika memeluknya, ditambah lagi ketika pelukan mereka terlepas, Jeno langsung menatap Jardin dengan tajam membuat yang ditatap sedikit memundurkan dirinya.

He knows nothing, Ayah. Tadi Jardin cuma kita telfon buat jemput kakak sama Aro. Kamu tadi katanya udah dicariin mama kamu kan? Pulang aja, ini udah dibukain ayah.” Scarlett berbicara menghadap Jardin sembari mengedipkan kedua matanya.

Jardin yang memang sejak awal sudah terintimidasi dengan kehadiran Jeno mau tidak mau mengangguk meski kenyataannya tidak ada yang mencarinya.

“Om, Jardin pamit pulang dulu ya, mama udah nyariin. Sama ini hadiahnya, Om. Selamat Ulang Tahun,” ucap anak itu sembari menyerahkan kantung belanja dan pergi dari hadapan Jeno.

Mendengar ucapan ulang tahun dari Jardin, Aro maupun Scarlett langsung berusaha menahan tawanya, namun ucapan itu juga berhasil membuat Jeno mempercayai bahwa anak dari temannya itu tidak tau menau mengenai hilangnya dua anak ini mengingat hari ini bukanlah ulang tahun Jeno sehingga kini dirinya tidak terlalu memusingkan permasalahan Jardin, bahkan sepertinya ia harus berterima kasih pada anak itu karena sudah mengembalikan anak-anaknya di tengah malam seperti ini.

“Ini apa?” Tanya Jeno sembari membuka kantong plastik di tangannya.

“Itu kita tadinya mau bikin semacam surprise midnight movie time? Ayah keliatan capek kerja dari kemarin, jadi tadinya kita berniat diam diam masuk, dekor ruang keluarga sebentar, dan bangunin ayah untuk nonton bareng kita jam 12 malem pas.”

“Iya, tapi kakak bodoh malah ninggalin kunci rumah di kamar yang bikin kita harus nunggu ayah bukain pintu dan ngga jadi surprise,” kesal Aro membuat Jeno tertawa.

“Ya udah masuk dulu, movie time-nya besok aja hari sabtu, ayah free. Malem ini kalian istirahat aja, oke? Jangan diulangin ya pergi ngga izinnya,” ucap Jeno yang dibalas anggukan.

“Kakaak! Adeek!” Panggil Jeno dengan suara lantangnya.

“Di sini!” Suara sahutan terdengar dari lantai atas membuat pria 40 tahun itu langsung bergerak cepat menuju sumber suara.

Ada kedua anaknya di sana, bersama Kiera yang duduk di sofa mengawasi kegiatan keduanya.

“Mama, lagi pada ngapain?”

“Ngeronda.”

“Hush, Adek!” Tegur Scarlett diikuti tepukan halus di pundak sang adik.

“Lagi lama banget datengnya. Dua soal lagi bantuin Aro, Kaaak!”

“Nungguin kamu, Jen. Kebetulan Aro ada PR fisika, dia minta bantuin deh,” ujar Kiera yang dibalas anggukan.

Jeno duduk di hadapan sang putra, menyaksikan bagaimana Scarlett dengan telaten mengajari sang adik untuk menjawab soal.

“Jeno, mama boleh bicara sebentar?” Jeno yang tengah menyahuti sesekali penjelasan Scarlett langsung mendongak.

“Di bawah ya,” ucap wanita itu yang langsung beranjak dari duduknya.

“Adek, Kakak, kalau udah ayah tunggu di bawah ya,” ujar Jeno sebelum mengekor Kiera turun ke lantai satu.

Kiera dan Jeno, keduanya memasuki perpustakaan kecil milik Kiera. Pemilihan ruangan yang terbilang privat membuat Jeno merasakan bahwa ada topik serius yang ingin Kiera bicarakan padanya.

“Duduk, Jen,” ucap Kiera mempersilahkan.

Tidak ada yang memulia pembicaraan. Jeno yang tengah berdebar menanti apa yang akan dikatakan sang mertua dan Kiera yang hanya diam beberapa waktu memperhatikan menantunya yang tengah menunduk sejak mereka masuk ke ruangan ini.

“Capek ya harus ngimbangin kerjaan dan ngurus dua anak sendirian di rumah?” Tanya wanita itu membuat Jeno terkejut dan menatap Kiera.

Kiera tau?

Axel told me, Allison pergi ke Bandera dan awalnya kalian ngga ada yang tau. Waktu kamu tiba-tiba ke sini, mama ngga curiga. Tapi pas kamu tiba-tiba cukup sering nitipin anak-anak ke sini, mama jadi sadar kalau Allison ngga ada. Biasanya kamu sama Allison tuker-tukeran aja kan buat jagian Scarlett dan Aro? Atau seenggaknya Allison yang ngomong langsung ke mama kalau anak-anak mau ke sini. Eh, trus pas banget Axel keceplosan bilang Allison di Bandera. Tangan sama rusuknya pake patah segala lagi.”

“Dua minggu? Tiga?”

“Dua. Hampir tiga,” sahut Jeno sebelum kembali terdiam.

“Jeno minta maaf karena ngga ngomong apa-apa ke mama. Jeno ngga mau bikin panik semuanya pas Al ngga ada kabar kemarin.”

“Anak-anak tau Allison di Texas?”

“Scarlett tau. Aro, Jeno ngga ngomong. Jeno juga ngelarang Axel sama Scarlett kasih tau Aro. Dia terlalu deket sama Allison, Jeno takut Aro malah kepikiran karena kita ngga ada yang bisa kontak Allison.”

“Tapi malah jadinya kamu yang kepikiran kan?”

Suara pintu diketuk, menginterupsi perbincangan keduanya.

Pelayan Kiera muncul dengan satu cangkir teh dan meletakkannya di hadapan Jeno sebelum pamit ke luar.

“Diminum. Tehnya bagus buat kesehatan, apalagi kalau lagi lelah. Kamu keliatan pucet dari hari ke hari. Makin kurus juga. Allison bisa ngamuk liat kamu gini,” ujar Kiera membuat Jeno sedikit tersenyum dan mulai meminum teh tersebut.

“Udah ada update tentang Allison?” Tanya Kiera.

Jeno meletakkan cangkirnya kembali, “Axel bilang kepulangan Allison harus ditunda seminggu. Anaknya keras kepala, belum sembuh tapi ngerasa kayak udah, jadinya sama dokter malah jadi ngga boleh ngapa ngapain dan harus check-up lagi minggu depan.”

“Allison tuh, Ih! Ngga bisa dibilangin kalau masalah kesehatan. Udah patah tulang berkali-kali masih ngga kapok. Trus kamu sama anak-anak gimana selama Allison ngga ada?”

“Hektik sedikit,” ucap Jeno dengan cengiran halusnya.

Kiera menatap Jeno sedikit prihatin. Sebenarnya ada keinginan untuk ia menasihati atau bahkan memberikan saran yang sekiranya dapat membantu. Namun, ia sadar jika dirinya tidak pernah mengalami alur rumah tangga yang cukup panjang untuk dapat memberi nasihat yang tepat.

“Mama ngga pernah alamin masalah keluarga kayak kalian, tapi mama yakin kamu bisa selesain semuanya pelan-pelan. Apapun yang terjadi antara kamu sama Allison sebelum dia pergi atau Allison dan anak-anak sebelum dia pergi, mama harap kalian bisa selesain itu baik-baik ketika dia pulang. Sekarang, kamu fokus aja ke anak-anak. Ngga perlu khawatirin Allison karena dia sama daddy-nya. Axel selalu tepatin omongannya, dia selalu tau yang terbaik untuk semua orang. Kalau dia bilang dia akan pulangin Allison lagi ke kamu, berarti dia akan bener-bener lakuin itu cepat atau lambat. Allison flies back to Texas because she needs her dad, and so do the kids. They also need their dad.

“Tapi kalau kamu kualahan, Kalian bisa di sini aja, loh? Jadi kamu bisa fokus kerja, ngga usah terlalu mikirin anak-anak karena di sini ada mama, servant dan chef. Scarlett sama Aro juga jadi ngga perlu nungguin kamu pulang kantor sendirian lama-lama, kamu pun jadi ngga perlu khawatir ninggalin mereka kerja sampai malam,” tawar Kiera yang sebenarnya cukup menggoda Jeno.

“Ngga usah, Ma. Nanti Jeno ngerepotin. Lagian sekarang Jeno udah ngga sesibuk itu kok. Kemarin itu karena di kantor ada masalah yang bikin Jeno harus lembur, makanya anak-anak Jeno titip ke sini.”

“Udah ngga sesibuk itu tapi kamu pulangnya masih jam segini?” Tanya Kiera membuat Jeno terdiam.

“Lagian ngga ada yang direpotin, Jen. Mama malah seneng kalau kalian di sini, mama jadi ngga sendirian lagi. Gimana?”

“Nanti mungkin Jeno pikirin lagi ya, Ma. Jeno juga harus tanya dulu pendapat anak-anak gimana.” Kiera mengangguk mengerti.

“Ya udah, mama cuma mau ngomong itu. Kamu jaga kesehatan kalau gitu, jangan sampai sakit. Kasian Aro dan Scarlett kalau sampai ayahnya malah sakit nanti. Kalau jadi mau nginep disini, langsung dateng aja. Kamar kalian selalu dibersihin, jadi bisa langsung tidur,” ujar Kiera sebagai penutup perbincangan mereka malam ini.


“Ngomongin apa sih?! Lama banget?! Aro ngantuk tau mau pulang!”

“Cih, ngantuk apa? Adek kalo kangen atau khawatir sama ayah ngomong aja kali, ngga usah tantrum.”

“KAKAK BERISIIK!!”

Dengan sebelah kaki yang diketukan ke lantai berkali-kali, Jeno kembali melihat jam dinding sebelum matanya mengevaluasi seluruh karyanya di ruang tamu.

Pukul 8.30 malam.

Seharusnya saat ini Aro dan Scarlett sudah dalam perjalanan pulang dari rumah sahabatnya. Tidak ada yang dikhawatirkan tentang mereka sebab ia tau Jardin— putra sahabatnya sekaligus teman bermain kedua anaknya— akan menuruti permintaannya. Salah satunya adalah Jardin yang semestinya sudah mengembalikan kedua anaknya setengah jam yang lalu. Namun, tanpa memberi tahukan alasan, Jeno meminta tolong agar Jardin memulangkan Scarlett dan Aro setengah jam lebih terlambat dan meminta agar rencana ini dirahasiakan dari Scarlett maupun Aro yang tentunya disambut dengan girang oleh anak itu.

“Apa ngga usah pakai 'Baby' ya? Tapi Al selalu manggil dia pake itu. Tapi ngamuk ngga dia kalau bukan Al yang manggil?” Pria itu terus bergumam menimbang-nimbang dekorasi yang sejak tadi sedang ia buat.

Saat ini Jeno tengah mendekorasi ruang tengahnya untuk memberi surprise ulang tahun sang putra. Lebih tepatnya, surprise ulang tahun sekaligus permintaan maaf. Meskipun terlambat, tapi menurutnya ini lebih baik daripada ia benar-benar melewati tahun tanpa merayakan ulang tahun Aro dan tanpa permintaan maaf yang benar sama sekali.

“Udah deh. Aman. Kue udah, pizza juga, ramen — yah dia udah ngembang, kaset PS baru. Kostumnya juga ... demi anak, demi Aro, ngga boleh malu. Amankan ya?”

“Oke, aman. Aman. A—” Omongannya terhenti ketika mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah. Itu Aro dan Scarlett.

Dengan tergesa-gesa Jeno langsung mematikan lampu ruang tamu, mengambil kue dan korek api sebelum masuk ke tempat persembunyian yang sudah ia siapkan.

Samar-samar ia dapat mendengar suara kedua anaknya yang tengah berbincang ribut.

Cklek

“KENAPA KITA PULANG LAMPUNYA MALAH DIMATIIIIIIIIIIIN!” Pekik Aro sesaat masuk ke dalam rumah yang berhasil membuat Jeno berjengit kaget.

“Adek, ih! Jangan teriak. Nyalain lampunya,” pinta Scarlett yang langsung dituruti.

Sesaat lampu menyala, keduanya langsung terdiam dengan mulut yang terbuka.

HBD AND SORRY ARO BABY

WHAT'S WITH THE ARO BABY?!” Pekik anak 15 tahun itu setelah membaca balon huruf yang tersusun di tembok rumah membuat sang ayah keluar dari persembunyiannya secara perlahan dengan tawa yang canggung.

Surprise?

And ... what's with your costume ....” Sambung Scarlett sesaat melihat penampilan ayahnya.

I know it's too late. But, better late than never ... kan? Happy Birthday yang ke-15 anak ayah. Maaf udah ngecewain Aro karena dua hari yang lalu ayah lupa ulang tahun Aro dan janji untuk hadir ke penampilan teater perdana Aro as a main character when you are all excited about it. Kemarin itu Ayah—”

OMG COOKIES AND CREAM CAKE ARO MAU!” Aro berteriak memotong kalimat sang ayah. Tangannya langsung merebut kue itu dengan cepat sebelum memberikan gigitan besar di sisinya membuat kini mulutnya kotor akan whip cream.

“Adek kok kuenya udah dimakan sih? Lilinnya kan belum Ayah nyalain, kamu belum tiup liliin.” Jeno menarik kembali kue Aro, menghindari kehancuran kue itu lebih lanjut.

“ARO LAPEEEEER.”

“Emang kalian ngga makan tadi?”

“Makan, sama Aunty Natta dibikinin ayam lada garam tadi. Aro aja yang cacingan. Adek stop messing up with the cake! Ayo tiup lilin, kakak videoin.”

Dengan kue yang sudah cukup hancur di sisinya, Jeno mulai menyalakan lilin dan Scarlett yang mulai mendokumentasikan.

“Di usia yang ke-15 ini, Ayah harap Aro bahagia selalu, sehat selalu, bisa jadi pribadi yang lebih baik, bisa jadi anak yang sukses di masa depan yang bisa bikin kita semua bangga sama Aro. Semoga main sama junk food-nya dikurangin. Trus juga semoga Aro bisa semakin banyak dapat cinta dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar Aro, dari orang-orang yang Aro sayang. Now, make a wish, Dek,” ucap Jeno sembari mendekatkan kembali kue tersebut membuat Aro juga mulai memejamkan mata.

Entah apa yang Aro doakan, namun baik Scarlett maupun Jeno dapat melihat keseriusan anak itu ketika berdoa. Sedikit lama membuat Scarlett dan Jeno saling melempar tatap.

Mata anak itu mulai terbuka sebelum tiupan halusnya mulai terdengar.

“Sekarang Aro udah bisa makan kuenya kan?” Tanyanya dengan cengiran lebar membuat sang ayah dan kakak tertawa.

“Foto dulu sini, baru Aro makan. Ayah udah ganteng gini masa Aro ngga foto sama ayah,” goda Jeno membuat Aro mengerlingkan matanya.

“Tapi baguskan kostum ayah? Jarang-jarang loh kalian liat ayah begini. Special buat surprise-in Aro.”

“Bagusan Aro kemaren sih. Aro kemarin kayak peterpan beneran. Ayah kayak dadar gulung.”

“Enak aja!”


I wish people could stop giving Bunda a hard time so she can enjoy her life and come back to us. Two weeks is too long for us to be separated.

These days, Ayah looks so tired. Please grant him the healthiest health and a long life. Also, please lighten all the burden he has. It hurt me a lot when I heard his sorry that day.

Kakak. She deserves to live her happiest and lovely life. I wish she could have someone who could protect and respect her someday. Someone like Ayah who can respect Bunda and be all-in when it comes to his family.

And I wish for all of us forever happiness.

Sejam berlalu sejak Jeno memilih untuk duduk di sofa ruang tamu dalam gelap. Dengan satu botol wine dan gelas di hadapannya, pria itu benar-benar hanya terdiam.

Belum ada rasa kantuk yang menghampiri meski kini waktu sudah menunjukkan pukul dua pagi.

Entah apa yang terjadi namun dirinya benar-benar merasa sangat terganggu saat ini.

Tidak ada ketenangan dalam dirinya, kepalanya juga entah mengapa terasa sangat berat seakan banyak pikiran.

Padahal jika ditelaah kembali, masalah yang paling menyita waktunya akhir-akhir ini sudah ia selesaikan semua dua hari yang lalu.

Mulai dari masalah pekerjaan tiga bulan terakhir dimana ia harus mengejar seorang maling dalam perusahaan yang membuatnya harus menghabiskan satu hari penuh di kantor polisi, hingga masalah Scarletta dan Allison yang ia harap kini sudah mulai mendekati titik terang.

Semua sudah mulai memasuki tahap merangkai kembali seperti semula dan seharusnya ia juga sudah dapat lebih santai saat ini.

Namun nyatanya dari tadi pikirannya masih tetap berputar di satu permasalahan yang sama. Memikirkan dua sosok yang sama.

Dua sosok yang paling mendominasi pikirannya akhir-akhir ini.

Ada rasa menyesal yang muncul tiba-tiba ketika otaknya menayangkan kembali kejadian dirinya yang bertengkar hebat dengan sang putri.

Ada rasa khawatir dengan perkembangan keadaan si gadis. Apakah ia sudah merasa tenang? Apakah ia sudah merasa lebih bebas? Apakah masih ada yang menghantuinya?

Ada pula rasa takut akan kemungkinan wanitanya yang tidak kembali padanya.

Sedikit berlebihan, namun memang itu yang ada di kepalanya saat ini.

Meski Axel dan Keira juga sudah memberikan kata-kata yang meyakinkannya kalau semua akan baik-baik saja, dan Allison akan kembali dalam jangka waktu yang sudah ditentukan. Namun, rasanya itu semua masih belum cukup.

Tangannya kembali mengisi gelas kosong dengan wine untuk ke-empat kalinya.

Bibirnya mulai kembali menyisip minuman tersebut beberapa kali. Kebisingan yang sejak tadi ia rasakan kini mulai memudar. Otaknya mulai terasa bebas. Memori lalu secara acak terputar di kepalanya membuat dirinya menyunggingkan senyum kecil.

Senyuman tersebut terpancar cukup lama hingga dirinya menyadari satu hal.

Aro.

Dalam kepingan memorinya, anak itu memang ada dimana-mana.

Ketika dirinya bekerja Aro ada di sana.

Ketika dirinya berdebat dengan Allison, Aro juga ada di sana.

Bahkan ketika dirinya diam diam mengganti peralatan make up Allison karena tidak sengaja memecahkannya — kejadian yang hingga saat ini tidak diketahui oleh Allison— anak itu juga ada di sana.

Anak itu ada di setiap sisi memorinya.

Bertengkar dengan Scarlett kemarin membuat ia sadar bahwa dirinya tidak mengetahui banyak hal tentang apa yang dirasakan dan dialami oleh sang putri. Beruntung dengan perubahan sifat dan pertengkaran mereka kemarin membuat Jeno dapat mengetahuinya lebih banyak.

Namun Aro? Jeno hanya pernah melihat anak itu menangis karena takut dengan dirinya ketika masih kecil dan karena Scarlett yang membentaknya seperti kemarin.

Selain itu? Anak itu hanya tertawa.

Entah mengapa rasa penasaran kini muncul pada dirinya. Tangannya bergerak menyalakan ponsel dan menekan ruang obrolan “Family Kingdom”, nama yang diberikan oleh Scarlett yang saat itu tengah menggilai pangeran berkuda. Matanya membaca ulang semua percakapan akhir-akhir ini.

Tidak ada yang aneh di sana, hanya Aro dengan kekonyolannya sembari beberapa kali menanyakan keberadaannya.

Tunggu.

Jeno mulai merasakan berat di kepalanya.

Aro hanya menanyakan keberadaannya.

Biasanya jika ditinggal oleh sang bunda karena alasan pekerjaan, anak itu akan menyerang ruang obrolan tersebut dengan pertanyaan tentang keberadaan Allison dan kapan wanita itu akan pulang.

Entah dirinya yang bodoh atau bagaimana karena menggunakan alasan Allison memiliki pekerjaan ke luar kota dan berharap sang putra yang sudah berusia 13 tahun itu tidak mengetahui kebenarannya.

Namun Aro yang sama sekali tidak menyinggung Allison dalam beberapa waktu terakhir benar-benar sangat mengganggunya.

Memiliki keluarga yang sangat berbakat dalam bermain peran benar-benar menjadi satu satunya hal yang paling ia benci di hidupnya saat ini.

Ting!

Sebuah notifikasi muncul dalam layar ponselnya.

Notifikasi biasa dari Axel yang memberitahu bahwa Allison yang tidak sengaja melukai lehernya dengan catokan panas.

Jeno hanya menghela nafasnya berat. Tidak bisakah wanita itu diam untuk satu hari dan berhenti membuatnya khawatir?

Meski merasa gelisah, Jeno memilih untuk tidak membalas bahkan membuka notifikasi tersebut demi menghindari Axel yang akan menegurnya karena belum beristirahat.

Matanya menatap notifikasi tersebut cukup lama sebelum dirinya memaku karena menyadari suatu hal.

Sabtu, 17 Oktober.

Tangan Jeno meremat kencang gelas wine di tangan kanannya. Rasa amarah pada dirinya sendiri benar-benar tidak tertahankan saat ini.

Ingin dirinya melempar kencang gelas digenggamannya, namun meski begitu pria itu harus berusaha untuk tetap sadar dan tidak membuat kegaduhan yang dapat membangunkan kedua anaknya.

Dua hari yang lalu, 15 Oktober, hari dimana sang putra dilahirkan.

Dua hari yang lalu, hari dimana ia berjanji akan menyaksikan penampilan perdana sang putra menjadi tokoh utama dalam teater musikal kecilnya.

Dua hari yang lalu, ia melupakan keduanya.

Di ruang tv, seluruh penghuni rumah kini sedang berkumpul. Memenuhi rencana movie night dua kakak-beradik yang sempat tertunda semalam.

There you go. Hang on, Winter,” ucap Aro memimikkan dialog film yang entah sudah berapa kali Scarlett putar di rumah tersebut yang kemudian mengundang tawa dari ayah dan kakaknya.

Ck, Aro masuk ke kamar deh, yah. Mau main. Bosen dolphin tale terus,” ucap anak itu sembari mengemut jarinya yang tersisa bumbu-bumbu makanan ringan.

“Cuci tangan dulu, jangan meper-meper.”

“Bawel.”

Jeno melempar bantal kecil ke arah sang anak.

“Lempar-lempar Aro aduin bunda ya?”

“Kamu yang ayah aduin duluan. Kalo dikasih tau ya, ih,” kesal Jeno.

“Udah ah, Aro masuk kamar, bye kak.” Dengan iseng anak itu mengecup pipi sang kakak dan lari begitu saja.

“AROOOO IHH! Mulut kamu masih ada bumbunyaaa aaaaa muka kakaaak,” rengek Scarlett sembari mengusap pipinya berkali-kali membuat Jeno hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Setelah kepergian Aro, suasana ruangan itu entah mengapa menjadi hening dan canggung. Setelah rengekkan Scarlett barusan, tidak ada suara kunyahan atau bincangan lagi. Hanya suara TV.

“Ayah.” Scarlett membuka suara, memecah keheningan.

“Hm?”

It's been two weeks and two days.

Ah, Jeno tau kemana pembicaraan ini akan mengarah.

“Bunda kenapa belum pulang?” Jeno terdiam.

Selain karena memang tidak mau menjawab, ia juga tidak tau. Axel belum memberinya kabar mengenai kepulangan wanitanya sejak kemarin. Pria itu bahkan sudah jarang mengabari keadaan Allison padanya membuat dirinya mulai ditahap pesimis jika memikirkan tentang kepulangan Allison.

“Atau bunda emang ngga akan pulang?” Jeno mengerjapkan matanya dan menunduk sebentar.

Does she left us, yah?” Tanya gadis itu sembari menatap pria di sampingnya.

The question sounds desperate,” ucap Jeno sembari memberikan senyum kecil.

How can I not be desperate when I saw her bracelet is here?

Tangan Jeno yang sedari tadi sedang bermain dengan gelang putih pun terdiam.

What bracelet?

That bracelet. You told us about you purposing bunda with a bracelet. I bet that is the bracelet.” Scarlett memberi jeda pada kalimatnya.

You have two in hand. Yang putih punya bunda kan? I always saw her using it, but now she left her bracelett here.” Scarlett berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Sedangkan Jeno, pria itu secara tidak sadar langsung mencengkram gelang putih itu dengan kuat, membuat urat tangannya terlihat.

She left the bracelet, doesn't mean she left us, kak. No need to worry.”

But you said bunda will be there only for two weeks. It's already more than two weeks.”

Maybe she need more time, kak. Don't be too pessimist.”

Time apa lagi ayah? Doesn't two weeks enough for her?” Scarlett mulai tidak terkendali. Gadis itu bahkan merubah posisi duduknya menghadap pria di sampingnya.

Sorry,” lirih Scarlett sembari menundukkan kepalanya ketika sadar dirinya terlalu menekan sang ayah.

It's okay. Bunda pasti pulang. Ngga usah ditunggu, kalau ditunggu nanti makin kerasa lamanya.” Jeno mengusap kepala Scarlett dengan lembut.

“Oh, atau kakak telfon grandpa aja ya, yah? I'll ask him to bring back bunda to us secepat mungkin. Disana jam 10 pagi, harusnya grandpa udah bangun kan ya?” Scarlett berbicara dengan semangat sembari mengambil ponsel yang tergeletak di hadapannya yang dengan segera langsung ditahan oleh Jeno.

“Jangan, kak. Ngga usah,” ucap pria itu sebelum tanggannya ditepis oleh Scarlett.

It's okay, yah. Grandpa pasti mau bantu kita. Kakak ngga sabar keluarga kita kumpul lagi kayak dulu. Kakak kangen makan masakan bunda, kakak kangen dress up sama bunda, kakak kangen ngomongin cowo sama bunda. Jadi mending kita langsung telfon grandpa aja, Oke? Oke.”

Sometimes people need their home to fix everything, kak,” ucap Jeno berusaha menghentikan Scarlett. Dan ya, pergerakan Scarlett yang sedang mencari kontak nomor langsung terhenti.

“Maksudnya?”

They also need time to recovery from everything. Time to except what was happening.” Scarlett menatap Jeno dengan heran. Tangannya juga secara perlahan kembali mematikan ponselnya dan meletakkan benda itu ke tempatnya semula.

Maybe bunda lagi ada di fase itu sekarang. So just let her have her time in Texas, until she's feel better. Mind, emotion, energy, everything. Grandpa sering kasih update ke ayah tentang bunda, jadi ngga perlu khawatir.” Scarlett terdiam sampai dirinya menyadari sesuatu.

Home? Kalau bunda emang lagi ada di fase itu, kenapa bunda pergi ke Texas? Her home is here kan? The building, people, and everything she love is here.” Scarlett bertanya dengan nada yang sedikit bergetar, takut-takut bila sang ayah akan memberikan jawaban yang tidak ingin ia dengar.

Why are you so sure that her home is here?” Balas Jeno membuat Scarlett terdiam.

She is from Texas, kak. Her friends, family, occupation, and all is in Texas. Walaupun Lamora ada di sini, tapi pusatnya tetep di Texas. And She is the only American in our family if you forget, she is still American.

She also spent most of her life there. Until I brought her here. She is here because she married me, that's all. That is why I make a promise to bring her back to Texas every year, because I know she will always need her home.

So the reason why we go to Texas every year is cause of you want bunda still feels like she is home?” Jeno mengangguk.

“Ayah ngga bisa misahin bunda dan rumahnya gitu aja.” Scarlett menyenderkan tubuhnya pada beanbag.

So after all, we still not her home ya, yah?” Tanya Scarlett pasrah membuat Jeno merasa bersalah karena mengatakan hal seperti itu pada anaknya.

It's hurt,” lirih gadis itu meski tetap mengahiri dengan tawa kecilnya.

Want some chocolate?” Tawar Jeno berusaha menghibur putrinya.

Scarlett terdiam sebelum kembali tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Maybe one.”

Sepotong coklat kecil diletakan oleh sang ayah di atas telapak tangan gadis itu.

Scarlett sempat terdiam sesaat coklat tersebut masuk ke dalam mulutnya. Pikirannya seketika mulai berempati dengan sang ayah.

Jika dirinya merasa kecewa dengan fakta yang diterima beberapa detik lalu, bagaimana dengan perasaan ayahnya yang terus tersadar dengan fakta tersebut sejak awal?

Ingatan lampau mulai terputar di kepalanya. Memorinya bersama sang bunda ketika mereka berbincang mengenai pria. Setiap kalimat, ekspresi dan suasana secara detail berhasil tergambar ulang di kepalanya membuat bibir cantiknya mengembangkan sebuah senyuman secara perlahan. Kekhawatiran tentang kemungkinan bundanya yang tidak akan kembali seakan musnah begitu saja.

Bunda was right. Ayah selalu berusaha untuk ngehibur semua orang meskipun sebenernya you are the one whose in the worst condition. I get it why she says she love you that much, loves you until no one could understand why,” ucap gadis itu sembari membersihkan kedua tangannya, tanpa memedulikan Jeno yang menatapnya bertanya-tanya.

“Maksudnya? Bunda tell you something about me?” Scarlett mengedikkan bahunya dan beranjak dari beanbag tersebut.

Just ... maybe you fell first, but actually bunda is the one who fell harder. Kakak tidur duluan ya, yah. Good night, ayah. Jangan terlalu khawatir sama bunda, she will be back soon,” ucap gadis itu sembari mengecup pipi sang ayah dan pergi dari sana, meninggalkan Jeno bertanya-tanya ditemani TV yang masih menyala.

Di ruang tv, Jeno dan kedua anaknya kini sedang berkumpul, menyaksikan film kesukaan sang kakak yang selalu dijadikan alternatif ketika sudah tidak tau harus menyaksikan apa lagi.

“There you go. Hang on, Winter,” ucap Aro memimikkan dialog film tersebut, membuat ayah dan kakaknya tertawa.

“Ck, Aro masuk ke kamar deh, yah. Bosen dolphin tale terus,” ucap anak itu sembari mengemut jarinya yang tersisa bumbu-bumbu makanan ringan.

“Cuci tangan dulu, jangan meper-meper.”

“Bawel.”

Jeno melempar bantal kecil ke arah sang anak.

“Lempar-lempar Aro aduin bunda ya?”

“Kamu yang ayah aduin duluan. Kalo dikasih tau ya, ih,” kesal Jeno.

“Udah ah, Aro masuk kamar, bye kak.” Dengan iseng anak itu mengecup pipi sang kakak dan lari begitu saja.

“AROOOO IHH! Mulut kamu masih ada bumbunyaaa aaaaa muka kakaaak,” rengek Scarlett sembari mengusap pipinya berkali membuat Jeno hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Setelah kepergian Aro, suasana ruangan itu entah mengapa menjadi hening dan canggung. Setelah rengekkan Scarlett barusan, tidak ada suara kunyahan atau bincangan lagi. Hanya suara TV.

“Ayah.” Scarlett membuka suara, memecah keheningan.

“Hm?”

“It's been two weeks and two days.” Jeno tau kemana pembicaraan ini mengarah.

“Bunda kenapa belum pulang?” Jeno terdiam.

Selain karena memang tidak mau menjawab, ia juga tidak tau. Axel belum memberinya kabar mengenai kepulangan wanitanya sejak kemarin.

“Atau bunda emang ngga akan pulang?” Jeno mengerjapkan matanya dan menunduk sebentar.

“Does she left us, yah?” Tanya gadis itu sembari menatap pria di sampingnya.

Jeno ikut menatap sang anak sekilas. “The question sounds desperate,” ucapnya sembari memberikan seringai kecil.

“How can I not be desperate when I saw her bracelett is here.” Tangan Jeno yang sedari tadi sedang bermain dengan gelang putih pun terdiam.

“What bracelett?”

“That bracelett. You told us about you purposing bunda with bracelett. I bet that is the bracelett.” Scarlett memberi jeda pada kalimatnya.

“You have two in hand. Yang putih punya bunda kan? I always saw her using it, but now she left her bracelett here.” Scarlett berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Sedangkan Jeno, pria itu secara tidak sadar langsung mencengkram gelang putih itu dengan kuat, membuat urat tangannya terlihat.

“She left the bracelett, doesn't mean she left us, kak. No need to worry.”

“But you said bunda only there for two weeks. It's already more than two weeks.”

“Maybe she need more time, kak. Don't be too pessimist.”

“Time apa lagi ayah? Doesn't two weeks enough for her?” Scarlett mulai tidak terkendali. Gadis itu merubah posisi duduknya menghadap sang ayah.

“Sorry,” lirih Scarlett sembari menundukkan kepalanya ketika sadar dirinya terlalu menekan sang ayah.

“It's okay. Bunda pasti pulang. Ngga usah ditunggu, kalau ditunggu nanti makin kerasa lamanya.” Jeno mengusap kepala Scarlett dengan lembut.

“Oh, atau kakak telfon grandpa aja ya, yah? I'll ask him to bring back bunda to us secepat mungkin. Disana jam 10 pagi, harusnya grandpa udah bangun kan ya?” Scarlett berbicara dengan semangat sembari mengambil ponsel yang tergeletak di hadapannya.

Jeno menggeleng. “No need, kak. Ngga usah,” ucapnya sembari berusaha menahan pergerakan Scarlett yang sedang menyalakan ponsel yang sayangnya ditepis oleh gadis itu.

“It's okay, yah. Grandpa pasti mau bantu kita. Kakak ngga sabar keluarga kita kumpul lagi kayak dulu. Kakak kangen makan masakan bunda, kakak kangen dress up sama bunda, kakak kangen ngomongin cowo sama bunda. Jadi mending kita langsung telfon grandpa aja, Okay? Okay.”

“Sometimes people need their home to fix everything, kak,” ucap Jeno berusaha menghentikan Scarlett. Dan ya, pergerakan Scarlett yang sudah ingin memencet tombol telfon terhenti.

“Maksudnya?”

“They also need time to recovery from everything. Time to except what was happening.” Scarlett menatap Jeno dengan heran. Tangannya juga secara perlahan kembali mematikan ponselnya dan meletakkan benda itu ke tempatnya semula.

“Maybe bunda lagi ada di fase itu sekarang. So just let her have her time in Texas, until she's feel better. Mind, emotion, energy, everything. Grandpa sering kasih update ke ayah tentang bunda, jadi ngga perlu khawatir.” Scarlett terdiam sampai dirinya menyadari sesuatu.

“Home? Kalau bunda emang lagi ada di fase itu, kenapa bunda pergi ke Texas? Her home is here kan? The building, people, and everything she love is here.” Scarlett bertanya dengan nada yang sedikit bergetar, takut-takut bila sang ayah akan memberikan jawaban yang tidak ingin ia dengar.

“Why are you so sure that her home is here?” Balas Jeno membuat Scarlett terdiam.

“She is from Texas, kak. Her friends, family, occupation, and all is in Texas. Walaupun Lamora ada di sini, tapi pusatnya tetep di Texas. And She is the only American in our family if you forget, she is still American.

She also spent most of her life there. Until I brought her here. She is here because she married me, that's all. That is why I make a promise to bring her back to Texas every year, because I know she will always need her home.”

“So the reason why we go to Texas every year is cause of you want bunda still feels like she is home?” Jeno mengangguk.

“Ayah ngga bisa misahin bunda dan rumahnya gitu aja.” Scarlett menyenderkan tubuhnya pada beanbag.

“So after all, we still not her home ya, yah?” Tanya Scarlett pasrah membuat Jeno merasa bersalah karena mengatakan hal seperti itu pada anaknya.

“It's hurt,” lirih gadis itu meski tetap mengahiri dengan tawa kecilnya.

“Want some chocolate?” Tawar Jeno berusaha menghibur putrinya.

Scarlett terdiam sebelum kembali tersenyum dan mengulurkan tangannya, “maybe one.”

Sepotong coklat kecil diletakan oleh sang ayah di atas telapak tangan gadis itu.

Sesaat coklat tersebut masuk ke dalam mulutnya, ingatan lampau muncul di kepalanya. Memorinya bersama sang bunda ketika mereka berbincang mengenai pria. Setiap kalimat, ekspresi dan suasana secara detail berhasil tergambar ulang di kepalanya membuat bibir cantiknya mengembangkan sebuah senyuman secara perlahan.

“Bunda was right. Ayah selalu berusaha untuk ngehibur semua orang meskipun sebenernya you are the one whose in the worst condition. I get it why she says she love you that much, loves you until no one could understand why,” ucap gadis itu sembari membersihkan kedua tangannya, tanpa memedulikan Jeno yang nenatapnya bertanya-tanya.

“Maksudnya? Bunda tell you something about me?” Scarlett mengedikkan bahunya dan beranjak dari beanbag tersebut.

“Just ... maybe you fell first, but actually bunda is the one who fell harder. Kakak tidur duluan ya, yah. Good night, ayah. Jangan terlalu khawatir sama bunda, she will be back soon,” ucap gadis itu sembari mengecup pipi sang ayah dan pergi dari sana, meninggalkan Jeno sendiri bersama TV yang masih menyala.