Sedetik sesaat Axel menginformasikan bahwa Allison telah berangkat ke Indonesia kemarin dan dijadwalkan untuk mendarat di waktu yang sama ketika Jeno membaca notifikasi tersebut membuat pria itu langsung kalang kabut mengendarai kendaraannya dengan kecepatan di atas batas normal menuju bandara.
Disinilah ia, di pintu kedatangan Terminal 3 Bandara International Soekarno-Hatta, dengan pakaian formalnya yang masih lengkap dan sesekali menatap jam tangannya yang kini menunjukkan pukul 11 malam yang artinya sudah lebih dari satu jam ia berdiri di depan pintu kedatangan.
Dapat dikatakan cukup beruntung baginya sebab ternyata pesawat yang ditumpangi Allison mengalami delay satu jam sehingga ia tidak perlu mengkhawatirkan akan terlambat untuk menjemput Allison pulang. Hal ini dibuktikan dengan status kedatangan yang baru berubah tepat ketika ia berdiri di depan pintu kedatangan.
Lelah? Ya. Bekerja seharian dilanjut dengan pertemuan acara ulang tahun kantor koleganya. Bohong jika ia mengatakan itu tidak melelahkan secara fisik attaupun mental. Namun, semua lelah itu seketika terasa hilang sesaat ia membaca notifikasi yang masuk dua jam yang lalu.
Kini waktu sudah menunjukkan 11.17 yang mana sudah satu jam dari waktu yang terdata di papan dan inderanya masih belum menangkap sosok yang dicari.
Axel tidak mungkin membohonginya kan? Atau tidak mungkin Allison sudah pergi sebelum ia sampai kan? Seharusnya pria itu tidak perlu khawatir sebab Karlie belum menghubunginya.
Matanya menyapu satu persatu wajah orang-orang yang keluar dari dalam sana dan yang ditunggu masih belum keluar. Mungkin masih mengantri imigrasi mengingat Allison berstatus warga Amerika.
Hampir dua jam menunggu lebih lama hingga akhirnya pandangannya berhasil menangkap seseorang yang berjarak cukup jauh darinya dengan penyamaran lengkap dan tangan kiri yang diperban, dari posturnya ia yakin jika itu Allison dengan seorang pria tinggi menjulang di sampingnya yang ia yakini jika itu Karlie.
Jeno menghela nafas lega dan menopang tubuhnya yang tiba tiba melemas ditiang pembatas.
“Thanks god,” bisik Jeno dengan lemah.
Disisi lain, ada Allison yang masih belum menyadari kehadiran suaminya di sana.
“Allison?” Panggil Karlie yang hanya dijawab dengan gumaman.
“Did you already call your husband to pick us up? I thought you forbid me to call him once we arrived and were going to use a cab.” Allison mengernyitkan keningnya dan memberhentikan langkahnya.
“No, I'm not, and yes, we will use a cab. Why?” tanya Allison sambil menatap Karlie di sampingnya.
“Since I'm pretty new with the job, I never met your husband before, but your dad, sent me a picture of him. And the guy over there, really look like the guy from the photo.” Mata Karlie bergerak menunjuk ke arah pintu keluar, lebih tepatnya ke arah seorang pria yang sedang menunduk dan menumpukan tubuhnya pada pembatas besi membuat Allison ikut menatap kearahnya.
Allison hanya terdiam dan seketika merasa ragu untuk melanjutkan langkahnya. Ia tidak siap.
“Am I right? Or—“
“No, you right. He is my husband.” Karlie mengangguk canggung ketika tiba-tiba melihat pria di sana menatap ke arah keduanya.
“So are we still going to your house with a cab or....” Allison menggelengkan kepalanya.
“My husband is here, let's go.” Allison memimpin jalan dengan lambat membuat beberapa orang mengumpat kesal karenanya.
Kekhawatiran kini menyelimuti dirinya. Khawatir jika ia terlalu mengecewakan suaminya, khawatir jika rumah tangganya tidak akan menjadi seharmonis dulu, khawatir dengan keadaan suaminya yang tiba-tiba ada di bandara pukul 11 malam dengan pakaian formal yang sedikit berantakan, dan masih banyak lagi hingga tanpa sadar kini Jeno benar-benar ada di hadapannya.
“Thanks god.” Suara itu terdengar memasuki telinganya berbarengan dengan rasa hangat dari pelukan yang diberikan oleh pria itu.
Ucapan rasa syukur yang bertubi-tubi tidak berhenti ia dengar, sampai kecupan di dahi membuat Allison sadar dari rasa khawatirnya.
“Jeno, ada Karlie,” ucap Allison membuat Jeno melepas pelukan mereka dan menatap pria yang sedang berdiri di belakang istrinya.
“Oh, I'm sorry, and hi i'm Jeno, thank you for helping and accompanying her home, Karlie.” ucap Jeno sembari mengulurkan tangannya dan berjabatan dengan Karlie.
“Karlie, and my pleasure, Sir. That's my job,” balas pria itu sebelum jabatan keduanya terlepas. Jeno pun menyelipkan jemarinya diantara jemari Allison, menggenggam tangan wanitanya dengan erat.
“Jadi ... mau langsung pulang?” Tanya Jeno yang dibalas anggukan kecil oleh Allison.
“Karlie you come with us right?” Karlie menggelengkan kepalanya.
“Thank you, but I can use a cab and go to a hotel nearby, Sir Axel already gave me the money for that.“
“No, just come with us, we have available room at our house, you can use it until you left.” Karlie berniat menolak namun akhirnya menurut setelah beberapa kali Jeno memaksanya.
Selama satu setengah jam di perjalanan, tidak ada percakapan diantara mereka, Allison yang tertidur, dan Karlie yang merasa canggung melihat pemandangan di depannya, Jeno yang menyetir sembari menggenggam tangan Allison dengan erat dan mengecup punggung tangannya sesekali.
Jeno pun mematikan mesin mobil setelah mobil berhasil terparkir di halaman rumahnya.
“She must be really tired,” ucap Karlie membuat Jeno mengalihkan pendang menuju Allison yang masih terlelap pulas di sampingnya sebelum tangannya bergerak membuka seatbelt yang melindungi wanita itu.
“I'm sorry, Karlie. Could you please bring her things inside? I will carry her to bed.” Karlie mengangguk.
“Sure, should I bring yours too? Please be careful with her upper body. Her ribs haven't fully recovered yet. “
“If you don't mind and sure. No worries.” Jeno pun keluar dari mobil. berputar ke sisi satunya dan menggendong Allison ke dalam dengan Karlie di belakangnya.
“You can leave our things here, and the room over there, you can use it. The bathroom is next to it.” Karlie mengangguk paham.
“Thank you, Sir. Good night!“
“Just call me Jeno, and good night to you too,” balas Jeno sebelum naik ke lantai dua.
Setelah meletakkan Allison di kasur dan memposisikannya dengan nyaman, Jeno mengganti bajunya terlebih dahulu. Berlanjut dengan berjalan menuju meja rias Allison, mengambil alat alat yang ia ketahui sebagai penghapus make up sebelum akhirnya kembali duduk di pinggir ranjang samping Allison.
Dituangkannya micellar water ke kapas dan mengusapnya dengan lembut ke wajah Allison membuat wanita itu membuka matanya setelah mengerjapkan mata menyesuaikan penglihatan dengan cahaya lampu tidur.
“Hai,” ucap Jeno sembari tersenyum dengan tangan yang masih bergerak halus di permukaan wajah Allison.
“Ganggu ya? Maaf, aku cuma keinget kamu selalu cuci muka setelah pergi, tapi aku ngga tau cara tepatnya, jadi aku pakein ini aja yang aku tau, ngga apa apa kan?” Allison mengangguk kecil sebelum menatap ke arah tangannya yang di perban.
“Kenapa diliatin? Tangannya sakit?” Wanita itu menggeleng.
“So, how are you doing?” Pertanyaan yang canggung untuk pasangan suami-istri.
“Aku marah kalo kamu jawab fine,” sambung Jeno membuat kekehan kecil keluar dari bibir Allison.
“Then why bother to ask?” Jeno mengedikkan bahunya.
“Kita udah lama ngga ketemu, so ya...” Keduanya terdiam lama sebelum Allison menyadari sesuatu.
“Jeno udah jangan kelamaan,”
“Apanya?”
“Muka aku...” Jeno pun tersentak, terkejut karena dirinya sendiri.
“Ah astaga maaf maaf,” ucap Jeno sembari meletakkan kapas dan botol micellar water di nakas di hadapannya, tangannya tiba tiba bergerak kebingungan membuat Allison menggenggam tangannya. Jeno menatap Allison heran.
“Aku mau cuci muka, bantuin.” Dengan sigap pun Jeno langsung membantu Allison.
Sejam terlewat, setelah Allison membersihkan muka, mengganti pakaian, dan makan(dipaksa Jeno) kini keduanya sudah kembali diatas kasur dengan Jeno yang bersandar pada headboard dengan Allison dipelukannya, bersandar di bahunya. Pria itu benar benar tidak melepas Allison sendirian sejak tadi.
“Kamu kenapa potong rambut?” Tanya Jeno sembari memainkan rambut Allison yang kini menjadi sangat pendek.
“Baru sadar?” Jeno menggeleng.
“Sadar dari tadi cuma baru pengen nanyanya sekarang,” ucap Jeno membuat Allison tertawa pelan.
“Bagus ngga?” Jeno mengangguk.
“Bagus. Bagus banget. Cuma maksudnya aku kira kamu ngga suka kalo rambut pendek? Tapi ngga apa-apa sih kamu jadi keliatan lebih seger, tapi kamu juga jadi kayak anak keciiil gemes banget,” ucap Jeno sembari mencolek colek pipi Allison.
“Sebenernya ngga mau potong, cuma kemarin kemarin pas rambutnya masih panjang tuh keramasnya jadi susah. Jadi yaudah deh potong aja.”
“Ngga apa-apa kok, cantik,” puji Jeno yang hanya dibalas senyuman oleh Allison.
“Jeno,” panggil Allison membuat Jeno menghentikan aksinya yang sedang memainkan rambut pendek wanita itu.
“Kenapa?”
“Maaf,” ucap Allison sambil menunduk.
“I'm truly sorry. Maaf kemarin aku pergi gitu aja without saying anything, maaf aku ngga ngasih kabar sama sekali, maaf aku malah ninggalin kamu ketika keadaan lagi ngga baik-baik aja, maaf aku udah biarin kamu kesusahan sendirian. I'm sorry for being so selfish, sorry for what happened this past three weeks.” Allison meremat genggamannya dengan Jeno menanti jawaban pria tersebut.
“Jeno?” Panggil Allison membuat Jeno tersadar dan menggelengkan kepalanya sebelum tangannya bergerak mengusap lembut rambut wanita itu.
“No, aku yang minta maaf. I'm sorry I can not be a good dad dengan bikin kakak benci kamu kayak kemarin, and I'm sorry karena I can not be a good husband for you.” Mandengar itu Allison langsung menggeleng cepat sebelum merintih kecil sebab rasa ngilu menyerang dadanya.
“No, you are not. I read all the messages yang kamu sama Aro kirim, dan aku bisa simpulin you did great ayah, really great.” Sebuah kelangkaan dari rumah tangga mereka Allison memanggil Jeno dengan sebutan itu membuat Jeno tidak dapat menahan senyumnya. Pujian yang diberikan oleh Allison terkalahkan dengan panggilan itu.
“Can you call me like that, once again? Please.“
“Like what?“
“Yang barusan.”
“Yang Ayah?” Jeno mengangguk membuat Allison tertawa.
“Kamu suka dipanggil itu?” Jeno mengangguk lagi.
“I love it when you call me like that.“
“Ada-ada aja,” ucap Allison sambil tertawa.
“Aaal, ayoo.”
“Iya ayaaah, udah? Puas?” Jeno mengangguk kencang menandakan kalau ia merasa sangat puas.
Tepat setelah itu, keduanya kembali terdiam hingga suara gumaman Allison terdengar.
“Kenapa?”
“I don't know where to start,” ucap Allison sembari tersenyum canggung.
“We already start, just say it.” Allison kembali bergumam.
“You know what happened to kakak dari kemarin.” Jeno mengangguk.
“It makes me realize and think if she is my daughter? Why do I know nothing about her when I thought I knew everything about my kids.” Jeno terdiam. Allison memikirkan hal yang sama dengannya kemarin.
“Aku beneran sedih tau pas mikir kalau ada kemungkinan Aro juga sama. I know nothing about him. So I start to think trying to find what is the reason sampai aku ngga tau apa-apa tentang mereka yang padahal aku sama mereka lebih sering daripada kamu yang sama mereka.”
“Imagine selama ini I acted innocent in front of her dan ternyata she swears at me inside because I gave her the worst life.“
“Should I quit my job?” Tanya Allison membuat Jeno menoleh padanya.
“Why? I thought you loved your job?“
“I love my job. So much. But I love my daughter more,” ucap wanita itu sembari menunduk.
“Kita omongin lagi kapan-kapan ya? Sama kakak, Aro. Biar kita denger pendapat mereka,” ucap Jeno sembari mengusap lembut wajah Allison.
“Oh iya, Aro dari kemaren ngechat kamu juga? Dia chat apa?” tanya Jeno sambil menggenggam tangan kanan Allison dengan erat.
“Banyak. Tapi ada satu yang lucu menurut aku,” ucap Allison sembari menahan tawanya.
“Apa?”
“Dia bilang kamu sama dia ngga bakal berantem ribut lagi, asalkan aku pulang.” Jeno mengernyitkan alisnya.
“Trus lucunya dimana?”
“Kalo kalian ngelanggar, kamu mandi di gorong-gorong pake sendok soup.” Dengan selingan rintihan, tawa Allison meledak ketika dirinya kembali membayangkan jika suaminya benar-benar melakukan hal itu. Sedangkan Jeno, langsung bergerak cepat mengusap sisi tubuh Allison dengan wajah yang tidak dapat menutupi rasa kesalnya.
“Jangan terlalu kenceng ketawanya. Rusuk kamu belum sembuh. Trus dia ngomong apa lagi? Biar aku coret dari KK. “
“Don't do that! He is my baby!” Seru Allison membuat Jeno mendecak sebal.
“Trus dia bilang kamu punya cewe lain, kamu cium cewe lain, trus aku ngga boleh khawatir walaupun kamu udah membelah hati, karena hatinya dia tetep utuh buat aku doang,” ucap Allison sembari terkekeh mengingatnya. Mendengar itu, Jeno langsung menggeleng pelan seakan sudah lelah dengan kelakuan anak laki-lakinya yang selalu mengganggunya.
“Tapi kamu tau kan aku aslinya ngga ada cewe lain?” Allison mengedikkan bahunya.
“Who knows sih kalo itu, tapi yang pasti cewe lain yang Aro maksud itu kakak kan? soalnya cerita dia sama cerita kamu sama, bedanya dia nyebutnya pake cewe lain, kamu nyebutnya kakak.” Jeno mengangguk.
“Oh iya, kakak abis kecopetan gimana? Kok bisa kecopetan?” Tanya Allison penasaran.
“Biasa, ngga hati-hati lagi jalan sama temennya trus diserempet motor hpnya diambil.”
“Kasiaan, trus nangis?” Jeno mengangguk.
“Temennya nge-DM Aro, pas aku jemput dia lagi duduk di warung pinggir jalan nangis kenceng banget sampe ditenangin banyak orang.”
“Tapi kakak ngga apa apa kan? Maksudnya dia ngga luka atau apa gitu kan? Trus dia sekarang pake hp apa?”
“Dengkulnya baret karena hpnya diambil kenceng banget katanya sampe dia jatoh, trus sekarang jadinya pake hp lama aku dulu.” Allison secara tiba tiba memasang wajah sedihnya.
“Aaaa... Poor my baby girl,” ucap Allison seakan sedang berbicara dengan anak perempuannya.
Jeno mengusap rambut Allison lembut sebelum akhirnya teringat sesuatu dan menarik tangannya untuk kembali menggenggam erat tangan Allison.
“Oh ya, Al. I know you must be tired karena baru sampai, tapi ada yang mau aku omongin. Aku takut lupa, kalau nanti-nanti lagi.” Allison menaikkan kedua alisnya melihat raut pria dihadapannya menjadi sangat serius.
“Kenapa?”
“First of all, aku minta maaf banget karena aku ambil keputusan tanpa diskusi ataupun sekedar bilang sama kamu dulu. But about three weeks ago, kakak finally told me everything.” Jeno terlihat berpikir sebentar berusaha agar kalimat yang ia keluarkan tidak berpotensi menjadi beban pikiran Allison.
“Her friends at school bullied her for almost two years.” Allison pun langsung menatap Jeno terkejut.
“Dengerin dulu,” ucap Jeno ketika melihat Allison ingin buka suara.
“Temen-temennya ngga suka sama dia karena ngerasa kakak itu apa ya? Mungkin simplenya, temen temennya iri sama kakak, jadi mereka semua mojokin kakak, bahkan sampai nyuruh kakak ngerjain tugas tugasnya mereka. Nah, temen-temennya ini banyak yang bawa-bawa kamu.”
“Maksudnya? Kok bisa bawa-bawa aku?”
“Mereka tau Scarlett itu anak dari Allison Andrea, jadi mereka pikir semua yang kakak lakuin itu ya karena Allison Andrea. Beberapa kali kakak dibilang ngga bisa apa-apa kalau bukan karena Allison Andrea. Dan kalau yang aku liat, parahnya itu ada di titik ketika mereka being racist ke kakak.”
“Racist gimana?”
“Dibanding kita berempat, yang fisiknya paling bule itu kan kakak ya? Nah, entah kayaknya mereka emang ngga suka aja sama kakak, mereka itu nganggap kalau semua bule itu murahan, dan kakak dianggap begitu.” Raut wajah Allison berubah menjadi tidak menyenangkan.
“Maksudnya kakak dibilang murahan?” Jeno mengangguk.
“Dan kata kakak, mereka juga berkali kali ngatain kamu. Jadi ini emang pada dasarnya mereka ngga suka dan iri aja sama kakak.” Jeno dapat merasakan tangan Allison yang mencengkram kencang genggaman mereka menandakan ia sedang menyalurkan amarahnya.
“Jadi akhirnya aku mutusin untuk pindahin sekolah kakak balik ke sekolah lamanya. Kakak sempet nolak, tapi setelah aku nasihatin dia akhirnya mau.”
“Wait, tapi kamu udah lapor ke sekolahnya kalo kakak di bully? Dan kenapa harus kakak yang pindah?”
“Udah, tapi geraknya lambat. Temen kakak juga bilang kalau dia beberapa kali coba ngasih tau guru. Tapi ya gitu, ngga ada respon. Semua dianggap bercanda. So I thought it is better kalau kakak yang pindah.” Keduanya terdiam.
“Are you ... okay with that?” tanya Jeno melihat Allison yang tidak bereaksi.
“No.” Allison mengerjap sebentar sebelum akhirnya tersadar.
“I mean, ya ... Yes, I am fine with ... No, I am not,” racau Allison diakhiri senyuman masam.
“So you are fine or not?” Tanya Jeno yang kebingungan dengan jawaban Allison barusan.
“I'm fine tentang Scarlett pindah sekolah t—”
“Tapi tentang keadaannya Scarlett ngga kan?” potong Jeno yang dibalas tatapan cemas dan anggukan cepat oleh Allison.
“Scarlett juga udah aku urus, aku udah nawarin dia ke psikolog in case ada sesuatu yang dia pendam dan ngga mau cerita ke kita. Dia ngga mau, tapi tetep aku kasih contactnya. Trus aku juga udah make sure biar dia ngga di-bully lagi kayak sebelumnya, kalau ada yang bully aku minta dia buat lapor ke aku terus, kita kumpulin buktinya, abis itu kita serahin kepihak sekolah nanti.”
“Kakak bisa pindah kapan?”
“Udah pindah dari kemarin. And as expected, she is happier than ever setelah pindah.” Allison mengangguk.
“Udah jam dua, tidur yuk? Atau kamu masih jetlag?”
“Jetlag, but I'll try to sleep. Oh ya!” Seru Allison tiba-tiba membuat pergerakan tangan Jeno yang hendak mematikan lampu tidur di sampingnya terhenti.
“Kenapa?” Tanya Jeno sambil menatap wajah Allison.
“Kata Aro aku disuruh marahin kamu pas udah pulang.” Jeno mengernyitkan keningnya heran.
“Why?“
“Katanya dia sakit hati gara gara kamu marahin dia padahal dia udah baik hati mau rapihin alis kamu,” ucap Allison sambil tertawa berbeda dengan Jeno yang langsung mendengus kesal.
“Sumpah itu anak punya masalah apasih sama aku sebenernya dari dulu? Seneng banget gangguin aku kayaknya. Nih, tapi kamu liat dong alis aku jadi gimana, untung kakak bisa rapihinnya.” Jeno berbicara dengan kesal seperti sedang merajuk pada Allison membuat Allison tertawa.
“Trus kamu sekarang mau marahin aku?” Tanya Jeno dengan muka kesalnya dan dibalas anggukan oleh Allison.
“Yaudah cepet.”
“Nakal,” ucap Allison sambil menusuk pinggang Jeno dengan telunjuknya.
“Udah?” Allison mengangguk.
“Yaudah ayo tidur,” ucap Jeno sembari mematikan lampu dan menidurkan dirinya disamping Allison.
“J, if you want me to sleep, stop kissing my hand!”
“AND MY LIPS!”
“Ugh, and me, J! I'm trying to sleep here.”
“Okay, sorry. I'm just missing you.”